MB.com OPINI - Hari-hari
ini, halaman muka surat kabar diramaikan oleh berita tentang
fraksi-fraksi di DPR yang berkeras mau mengubah Undang-Undang Pilkada.
Mereka berkeras untuk kembali ke sebelum 2005, yaitu bupati, wali kota,
dan gubernur dipilih oleh DPRD, bukan langsung oleh rakyat.
Dalil
mereka, biaya finansial Pilkada langsung oleh rakyat amat besar, rakyat
belum siap, atau malah masih bodoh, dan menimpakan konflik yang menelan
banyak korban harta, benda, dan nyawa.
Harus
diakui bahwa biaya finasial Pilkada memang amat besar. Dan di beberapa
daerah, menyusul Pilkada memang rusuh meledak. Rusuh ini pun ada yang
sampai menghanguskan bangunan, baik milik pribadi maupun milik negara.
Bahkan ada yang sampai membuat orang wafat.
Tapi kenapa
itu bisa terjadi? Untuk menjadi bakal calon saja, seseorang harus sudah
mengeluarkan dana besar, yang sebagian besarnya untuk partai dan elite
partai. Ketika sudah menjadi calon, kembali dia mesti mengeluarkan dana
yang besar pula, sebagian besarnya untuk partai dan elite partai.
Sementara partai-partai di kita, tidak atau belum memiliki pertalian
dengan rakyat. Pertalian ini hanya ada di hari-hari menjelang Pemilu.
Ini pun diadakan mendadak terutama dengan suap, baik berupa uang dan
barang, maupun janji dapat jabatan.
Karena
dasar utama penetapan calon adalah besaran uang dan kedekatan dengan
elite partai, maka si calon kebanyakan tak punya kedekatan dengan
rakyat. Bahkan tak sedikit calon yang sama sekali tak dikenal oleh
mayoritas rakyat tempatnya akan jadi pemimpin. Karena itu, si calon
mesti kembali mengeluarkan dana besar untuk beriklan memperkanalkan diri
dan membetot hati rakyat sehingga berbondong-bondong mencoblosnya.
Konten
iklan-iklannya bukan uraian visi, misi, dan program dengan bahasa
memikat, padat, dan mudah dicerna rakyat, sehingga bertambahlah modal
pengetahuan rakyat untuk bisa dengan tepat memilih siapa yang akan
mereka beri mandat. Konten-konten iklannya kebanyakan rekaan yang
bertujuan menunjukkan kedekatan primordial seperti darah, daerah,
etnisitas dan agama. Maka pilkada menjadi bukan kompetisi demi
(ke)pemimpin(an) yang lebih baik bagi semua pihak, yang dilakukan secara
berkala, tapi pertarungan para pihak yang menetukan hidup mati
masing-masing pihak. Dari sinilah, utamanya, ketegangan merebak. Konflik
meledak. Korban berserak.
Jika
begitu, sebab utama amat besarnya biaya finansial dan biaya sosial
pilkada, tak pelak adalah partai-partai dan para elitenya. Partai-partai
dan para elitenya pula yang membodohi rakyat, yang menghanguskan akal
waras mereka dengan kobaran emosi primodial, dan yang membuat rakyat
terbelah, berseteru, serta saling tumbuk sampai ada bangunan yang
hancur, ada tubuh yang rubuh, ada nyawa yang putus.
Kecuali
itu, pemilihan bupati, wali kota, dan gubernur yang langsung oleh
rakyat, menjadikan rakyat merasa dipercaya dan dihargai. Kepercayaan dan
penghargaan ini akan menjadikan rakyat peduli pada daerahnya, pada
pemerintahannya, pun pada calon pemimpin yang akan dipilihnya. Maka
rakyat akan mencari tahu siapa dan bagaimana sebenarnya calon yang
meminta dipilihnya. Mereka juga akan berusaha memungkinkan calon
pilihannya mendapatkan suara terbanyak.
Para calon mau tak mau harus pula benar-benar mendekati rakyat. Mereka harus asruk-asrukan
ke kampung-kampung, mendatangi rumah-rumah, mengetuk pintu-pintu,
memasuki ruang-ruang dengan mematuhi tata yang membangunnya,
mendengarkan para pemilik ruang berbicara, dan merespon dengan adab dan
bahasa yang sesuai dengan adab dan bahasa mereka.
Dengan
proses demikian, Pilkada jadi benar-benar ruang partisipasi rakyat.
Pasangan pemimpin yang dihasilkannya benar-benar dikenal oleh dan
mengenal rakyat. Bahkan antara rakyat dan pasangan terpilih sudah ada
hubungan kuat. Jadilah Pilkada merupakan peristiwa demokratik yang
mengawali periode kepemimpinan baru, yang dipilih langsung oleh rakyat,
karena rakyat yakin dan paham bahwa kepemimpinan pasangan itu akan
meningkatkan kemaslahatan hidup bersama.
Tak heran jika “survei terakhir Litbang Kompas
mendapati, mayoritas responden, yaitu 87,6 persen, mengemukakan, kepala
daerah lebih baik dipilih langsung oleh rakyat. Hanya 10,2 persen yang
menilai pemilihan oleh DPRD lebih baik dan sisanya 2,2 persen tidak
menjawab/tidak tahu” (Kompas, 5/9/2014).
Tapi
peristiwa demokratik itu bisa dipastikan hilang, jika bupati, wali kota,
dan gubernur kembali dipilih oleh DPRD. Boleh saja fraksi-fraksi
bersekutu menyerukan bahwa justru demi menghadirkan peristiwa demokratik
itu ke depan bupati, wali kota, dan gubernur tidak lagi dipilih
langsung oleh rakyat, melainkan hanya oleh para wakilnya. Namun, apa
yang mereka dalilkan sebagai cacat-cacat Pilkada justru muasal utamanya
adalah parta-partai dan para elitenya. Dan para legislator mayoritas
lebih sebagai wakil partai dan para elitenya, bukan wakil rakyat.
Karenanya,
jika tuntutan fraksi-fraksi itu dipenuhi, peluasan dan pendalaman
demokrasi akan mandeg. Demokrasi kita akan kian menjadi demokrasi
partokratik. Partai akan kian menjadi aktor utama penyelenggara
kekuasaan. Penyelenggaraannya terutama demi kepentingan mereka sendiri.
Praktik politik akan kian eksklusioner dan tertutup, yang ujungnya
membuat kompetisi politik kian elitis, mengeksklusi isu-isu dan
kepentingan-kepentingan khalayak. Untuk bertahan dan menang, dibelilah
suara. Untuk membiayai partai, mereka bersekutu dan berseteru
memperebutkan sumber daya negara melalui kolusi dan korupsi. Pelanggaran
hukum ini harus dijaga dan ditutupi. Maka kontrol dan partisipasi
rakyat mesti disingkirkan.
Ketika
kontrol dan partisipasi rakyat disingkirkan, rakyat hanya massa. Demos
tak ada. Demokrasi tanpa demos hanya prosedur pembungkus oligarki. Di
berbagai bidang merebaklah monopoli. Tentu bukan itu cita-cita
reformasi dan demokrasi. Maka, amat beralasan bagi kita untuk
mempertahankan pemilihan bupati, wali kota, dan gubernur yang langsung
oleh rakyat. Memang harus diakui masih ada kekurangan di sana-sini dalam
penyelenggaraan Pilkada. Namun memperbaikinya bukan dengan cara seperti
yang dipaksakan oleh fraksi-fraksi tadi. Bukankah memperbaiki jembatan
tidak dengan menghilangkan jembatan yang mau diperbaiki itu?