Logo

Logo
Latest News
Wednesday, September 10, 2014

Demokrasi Partokratik

MB.com OPINI - Hari-hari ini, halaman muka surat kabar diramaikan oleh berita tentang fraksi-fraksi  di DPR yang berkeras mau mengubah Undang-Undang Pilkada. Mereka berkeras untuk kembali ke sebelum 2005, yaitu bupati, wali kota, dan gubernur dipilih oleh DPRD, bukan langsung oleh rakyat.

Dalil mereka, biaya finansial Pilkada langsung oleh rakyat amat besar, rakyat belum siap, atau malah masih bodoh, dan menimpakan konflik yang menelan banyak korban harta, benda, dan nyawa.

Harus diakui bahwa biaya finasial Pilkada memang amat besar. Dan di beberapa daerah, menyusul Pilkada memang rusuh meledak. Rusuh ini pun  ada yang sampai menghanguskan bangunan, baik milik pribadi maupun milik negara. Bahkan ada yang sampai membuat orang wafat.

Tapi kenapa itu bisa terjadi? Untuk menjadi bakal calon saja, seseorang harus sudah mengeluarkan dana besar, yang sebagian besarnya untuk partai dan elite partai. Ketika sudah menjadi calon, kembali dia mesti mengeluarkan dana yang besar pula, sebagian besarnya untuk partai dan elite partai. Sementara partai-partai di kita, tidak atau belum memiliki pertalian dengan rakyat. Pertalian ini hanya ada di hari-hari menjelang Pemilu. Ini pun diadakan mendadak terutama dengan suap, baik berupa uang dan barang, maupun janji dapat jabatan.

Karena dasar utama penetapan calon adalah besaran uang dan kedekatan dengan elite partai, maka si calon kebanyakan tak punya kedekatan dengan rakyat. Bahkan tak sedikit calon yang sama sekali tak dikenal oleh mayoritas rakyat tempatnya akan jadi pemimpin. Karena itu, si calon mesti kembali mengeluarkan dana besar untuk beriklan memperkanalkan diri dan membetot hati rakyat sehingga berbondong-bondong mencoblosnya.

Konten iklan-iklannya bukan uraian visi, misi, dan program dengan bahasa memikat, padat, dan mudah dicerna rakyat, sehingga bertambahlah modal pengetahuan rakyat untuk bisa dengan tepat memilih siapa yang akan mereka beri mandat. Konten-konten iklannya kebanyakan rekaan yang bertujuan menunjukkan kedekatan primordial seperti darah, daerah, etnisitas dan agama. Maka pilkada menjadi bukan kompetisi demi (ke)pemimpin(an) yang lebih baik bagi semua pihak, yang dilakukan secara berkala, tapi pertarungan para pihak yang menetukan hidup mati masing-masing pihak. Dari sinilah, utamanya, ketegangan merebak. Konflik meledak. Korban berserak.

Jika begitu, sebab utama amat besarnya biaya finansial dan biaya sosial pilkada, tak pelak adalah partai-partai dan para elitenya. Partai-partai dan para elitenya pula yang membodohi rakyat, yang menghanguskan akal waras mereka dengan kobaran emosi primodial, dan yang membuat rakyat terbelah, berseteru, serta saling tumbuk sampai ada bangunan yang hancur, ada tubuh yang rubuh, ada nyawa yang putus.

Kecuali itu, pemilihan bupati, wali kota, dan gubernur yang langsung oleh rakyat, menjadikan rakyat merasa dipercaya dan dihargai. Kepercayaan dan penghargaan ini akan menjadikan rakyat peduli pada daerahnya, pada pemerintahannya, pun pada calon pemimpin yang akan dipilihnya. Maka rakyat akan mencari tahu siapa dan bagaimana sebenarnya calon yang meminta dipilihnya. Mereka juga akan berusaha memungkinkan calon pilihannya mendapatkan suara terbanyak.

Para calon mau tak mau harus pula benar-benar mendekati rakyat. Mereka harus asruk-asrukan ke kampung-kampung, mendatangi rumah-rumah, mengetuk pintu-pintu, memasuki ruang-ruang dengan mematuhi tata yang membangunnya, mendengarkan para pemilik ruang berbicara, dan merespon dengan adab dan bahasa yang sesuai dengan adab dan bahasa mereka.

Dengan proses demikian, Pilkada jadi benar-benar ruang partisipasi rakyat. Pasangan pemimpin yang dihasilkannya benar-benar dikenal oleh dan mengenal rakyat. Bahkan antara rakyat dan pasangan terpilih sudah ada hubungan kuat. Jadilah Pilkada merupakan peristiwa demokratik yang mengawali periode kepemimpinan baru, yang dipilih langsung oleh rakyat, karena rakyat yakin dan paham bahwa kepemimpinan pasangan itu akan meningkatkan kemaslahatan hidup bersama.

Tak heran jika “survei terakhir Litbang Kompas mendapati, mayoritas responden, yaitu 87,6 persen, mengemukakan, kepala daerah lebih baik dipilih langsung oleh rakyat. Hanya 10,2 persen yang menilai pemilihan oleh DPRD lebih baik dan sisanya 2,2 persen tidak menjawab/tidak tahu” (Kompas, 5/9/2014).

Tapi peristiwa demokratik itu bisa dipastikan hilang, jika bupati, wali kota, dan gubernur kembali dipilih oleh DPRD. Boleh saja fraksi-fraksi bersekutu menyerukan bahwa justru demi menghadirkan peristiwa demokratik itu ke depan bupati, wali kota, dan gubernur tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan hanya oleh para wakilnya. Namun, apa yang mereka dalilkan sebagai cacat-cacat Pilkada justru muasal utamanya adalah parta-partai dan para elitenya. Dan para legislator mayoritas lebih sebagai wakil partai dan para elitenya, bukan wakil rakyat.

Karenanya, jika tuntutan fraksi-fraksi itu dipenuhi, peluasan dan pendalaman demokrasi akan mandeg. Demokrasi kita akan kian menjadi demokrasi partokratik. Partai akan kian menjadi aktor utama penyelenggara kekuasaan. Penyelenggaraannya terutama demi kepentingan mereka sendiri. Praktik politik akan kian eksklusioner dan tertutup, yang ujungnya membuat kompetisi politik kian elitis, mengeksklusi isu-isu dan kepentingan-kepentingan khalayak. Untuk bertahan dan menang, dibelilah suara. Untuk membiayai partai, mereka bersekutu dan berseteru memperebutkan sumber daya negara melalui kolusi dan korupsi. Pelanggaran hukum ini harus dijaga dan ditutupi. Maka kontrol dan partisipasi rakyat mesti disingkirkan.

Ketika kontrol dan partisipasi rakyat disingkirkan, rakyat hanya massa. Demos tak ada. Demokrasi tanpa demos hanya prosedur pembungkus oligarki. Di berbagai bidang merebaklah monopoli. Tentu  bukan itu cita-cita reformasi dan demokrasi. Maka, amat beralasan bagi kita untuk mempertahankan pemilihan bupati, wali kota, dan gubernur yang langsung oleh rakyat. Memang harus diakui masih ada kekurangan di sana-sini dalam penyelenggaraan Pilkada. Namun memperbaikinya bukan dengan cara seperti yang dipaksakan oleh fraksi-fraksi tadi. Bukankah memperbaiki jembatan tidak dengan menghilangkan jembatan yang mau diperbaiki itu?
 
(Hikmat Gumelar, Koordinator Institut Nalar Jatinangor)  
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Demokrasi Partokratik Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi