Khazanah budaya masyarakat Ende Lio sungguh sangat sempurna jika kita menggali lagi lebih mendalam. Unsur - unsur historisnya telah menyibakkan dan mengajarkan kepada kita bahwa sepatutnya kita merasa terpacuh untuk lebih memahami, menghayati sekaligus menjiwai akar dari istiadat kita supaya kita dapat mengetahui siapa kepribadian kita sesungguhnya. Hal ini tentu sangat berkaitan erat dengan rasa religiositas kita sendiri terhadap khazanah budaya yang dimiliki. Jika kita mempelajari teori PLATO dan KANT, yang dibesarkan dalam pemikiran Yunani, Romawi oleh alam pemikiran Ras Semit orang Yahudi yang memperoleh dasar perbaikan pemikiran yang sangat diperluhkan untuk membuat rasa religiositas kita lebih sempurna, lebih universal bahkan lebih menyerupai kehidupan yang sungguh-sungguh manusiawi, bukan hanya hidup untuk sekarang ini tetapi juga untuk hidup abadi. Ada beberapa klasifikasi mengenai rasa religiositas yang patut kita ketahui bersama yaitu;
1. Rasa religiositas terhadap Agama.
2. Rasa religiositas terhadap ritualitas adat istiadat.
3. Rasa religiositas terhadap nilai - nilai estetika suatu warisan
budaya.
Dari beberapa klasifikasi mengenai rasa religiositas tadi, kita akan mencoba memahami, menghayati dan menjiwai rasa religiositas terhadap nilai estetika warisan budaya, dalam hal ini berkaitan dengan Rasa Religiositas Seni Tari Ule Lela Nggewa. Dalam beberapa dekade terakhir ini, tarian Ule Lela Nggewa sudah sangat dikenal oleh masyarakat Ende Lio sendiri maupun bukan Ende Lio. Ini membuktikan bahwa tarian Ule Lela Nggewa tersebut banyak diminati oleh masyarakat luar maupun Ende Lio sendiri. Konon tarian Ule Lela Nggewa diambil dari nama burung Walet (Lela Nggewa), sehingga terinspirasilah menjadi sebuah tarian sekaligus judul lagu. Judul tarian ini identik dengan judul lagunya yang sangat khas, bila orang mendengar atau menyanyikan lagu Ule lela Nggewa pasti akan ingat tariannya. Dalam tarian ini penarinya terdiri dari para gadis dan musik pengiringnya hanya sebuah gendang, pada zaman dahulu para leluhur menggunakan batu sebagai musik pengiringnya. Tarian ini telah membawa nama NTT dalam tingkat nasional di Jakarta dibawakan oleh sanggar seni Budaya NTT dan Festival Seni Budaya diberbagai negara dibawakan oleh yayasan budaya bangsa. Dalam beberapa perhelatan, tarian ini sering digunakan untuk upacara penyambutan tamu dan dilanjutkan dengan pengalungan bunga sebagai wujud penghormatan terhadap tamu. Hal ini menggambarkan, betapa masyarakat Ende Lio sangat ramah terhadap siapapun yang dianggap tamu. Berikut ini, penggalan dari syair lagu Ule Lela Nggewa;
Jeku jana jole
Lima pigu pole
ha'i so pali role
Hoja menggo dedo reoe
Mai bego ga'ie
Toja Nggo wanie
Toja wanda kita sama le
Reff.
Ule lela nggewa
Ule lela nggewa
neni, neni pere tei 2X
Bele mite
Jeku jana le
Ule gha lela
ma'e bewa
Lagu ini mengisahkan bahwa Tarian yang dibawahkan oleh gadis - gadis cantik Ende Lio, syarat akan makna yang diungkapkan kepada kita. Gerakan jemari tangan yang gemulai dan kelincahan hentakan kaki serta liukan pinggul yang lentur bagai walet yang sedang menari - nari diudara, mengajak kita untuk ikut menari sembari melirik sana - sini untuk mengundang perhatian siapapun yang menyaksikannya. Busana Khas yang dikenakan oleh para gadis - gadis penari tentunya terdiri dari sarung Ende Lio, didominasi dua latar/dasar warna, yaitu tiga bagian berlatar gelap (cokelat hitam) dan satu bagian berlatar merah menyimbolkan warna bulu burung walet. Temah tarian ini telah tersurat dan tersirat kepada kita bahwa menjadi pantaslah tarian ini kerap di tampilkan pada perhelatan penerimaan tamu khsusus. Ini adalah salah satu dari sekian warisan budaya yang kita miliki dan harus kita lestarikan oleh karena itu, seyogyanya kita memahami, menghayati dan menjiwai unsur - unsur historis yang mengadung keluhuran dari budaya itu sendiri.
Sekian,
Penulis; Marlin Bato
Mahasiswa Univ. Bung Karno
Fak. Hukum
Jakarta Indonesia.
1. Rasa religiositas terhadap Agama.
2. Rasa religiositas terhadap ritualitas adat istiadat.
3. Rasa religiositas terhadap nilai - nilai estetika suatu warisan
budaya.
Dari beberapa klasifikasi mengenai rasa religiositas tadi, kita akan mencoba memahami, menghayati dan menjiwai rasa religiositas terhadap nilai estetika warisan budaya, dalam hal ini berkaitan dengan Rasa Religiositas Seni Tari Ule Lela Nggewa. Dalam beberapa dekade terakhir ini, tarian Ule Lela Nggewa sudah sangat dikenal oleh masyarakat Ende Lio sendiri maupun bukan Ende Lio. Ini membuktikan bahwa tarian Ule Lela Nggewa tersebut banyak diminati oleh masyarakat luar maupun Ende Lio sendiri. Konon tarian Ule Lela Nggewa diambil dari nama burung Walet (Lela Nggewa), sehingga terinspirasilah menjadi sebuah tarian sekaligus judul lagu. Judul tarian ini identik dengan judul lagunya yang sangat khas, bila orang mendengar atau menyanyikan lagu Ule lela Nggewa pasti akan ingat tariannya. Dalam tarian ini penarinya terdiri dari para gadis dan musik pengiringnya hanya sebuah gendang, pada zaman dahulu para leluhur menggunakan batu sebagai musik pengiringnya. Tarian ini telah membawa nama NTT dalam tingkat nasional di Jakarta dibawakan oleh sanggar seni Budaya NTT dan Festival Seni Budaya diberbagai negara dibawakan oleh yayasan budaya bangsa. Dalam beberapa perhelatan, tarian ini sering digunakan untuk upacara penyambutan tamu dan dilanjutkan dengan pengalungan bunga sebagai wujud penghormatan terhadap tamu. Hal ini menggambarkan, betapa masyarakat Ende Lio sangat ramah terhadap siapapun yang dianggap tamu. Berikut ini, penggalan dari syair lagu Ule Lela Nggewa;
Jeku jana jole
Lima pigu pole
ha'i so pali role
Hoja menggo dedo reoe
Mai bego ga'ie
Toja Nggo wanie
Toja wanda kita sama le
Reff.
Ule lela nggewa
Ule lela nggewa
neni, neni pere tei 2X
Bele mite
Jeku jana le
Ule gha lela
ma'e bewa
Lagu ini mengisahkan bahwa Tarian yang dibawahkan oleh gadis - gadis cantik Ende Lio, syarat akan makna yang diungkapkan kepada kita. Gerakan jemari tangan yang gemulai dan kelincahan hentakan kaki serta liukan pinggul yang lentur bagai walet yang sedang menari - nari diudara, mengajak kita untuk ikut menari sembari melirik sana - sini untuk mengundang perhatian siapapun yang menyaksikannya. Busana Khas yang dikenakan oleh para gadis - gadis penari tentunya terdiri dari sarung Ende Lio, didominasi dua latar/dasar warna, yaitu tiga bagian berlatar gelap (cokelat hitam) dan satu bagian berlatar merah menyimbolkan warna bulu burung walet. Temah tarian ini telah tersurat dan tersirat kepada kita bahwa menjadi pantaslah tarian ini kerap di tampilkan pada perhelatan penerimaan tamu khsusus. Ini adalah salah satu dari sekian warisan budaya yang kita miliki dan harus kita lestarikan oleh karena itu, seyogyanya kita memahami, menghayati dan menjiwai unsur - unsur historis yang mengadung keluhuran dari budaya itu sendiri.
Sekian,
Penulis; Marlin Bato
Mahasiswa Univ. Bung Karno
Fak. Hukum
Jakarta Indonesia.