Sumber: Lee Man Fong, Oil Painting Volume II karya Agus Dermawan T. Ilustrasi: Micha Rainer Pali
MB.com, Artikel - Soekarno mengangkatnya menjadi pelukis Istana. Gerakan 30 September
membuatnya hijrah ke Singapura dan dianggap sebagai pelukis besar
Singapura.
Perjalanan hidup membawanya tinggal di
Indonesia. Ini bermula ketika Lee Ling Khai, ayahnya, seorang pejuang
kemerdekaan China, membawa istri dan anak-anaknya, termasuk Lee Man Fong
yang masih berusia empat tahun, meninggalkan negeri leluhur untuk
merantau ke Singapura. Di sana Ling Khai merintis bisnis dagang dan
berhasil meraih sukses berkat bantuan seorang sahabat bernama Dr Sun
Chung-Shan –nama lain dari Dr Sun Yat Sen.
Lee Man Fong, lahir di kota Guangzhou,
China, pada 14 November 1913, sempat mengenyam pendidikan di
Anglo-Chinese School dan belajar melukis pada seorang guru bernama
Lingnan. Tapi jiwa pejuang ayahnya sepertinya belum padam meski tinggal
di negeri orang. Ling Khai terlibat dalam dunia politik yang
membangkrutkan bisnisnya, dan akhirnya meninggal dunia karena sakit pada
1929. Hidup menjadi pertarungan sesungguhnya bagi Man Fong, yang
menggunakan keahliannya menggambar untuk menafkahi ibu dan ketujuh
saudaranya. Sayang, hasilnya tak pernah mencukupi.
Terlilit kesulitan hidup di Singapura,
pada 1932 Man Fong memutuskan hijrah ke Batavia. Dia bekerja sebagai
editor seni sebuah majalah China lalu desainer di Kolf and Co., sebuah
perusahaan Belanda di bidang percetakan dan penerbitan. Dua tahun
kemudian dia mendirikan agen advertensi dan bekerja sebagai seniman
komersial. Karena bakat melukisnya, Man Fong mendapat undangan dari
pemimpin asosiasi Hindia Belanda Timur pada 1936 untuk ikut berpameran
di Belanda. Ini menyulut kemarahan anggota komunitas seniman Belanda,
karena biasanya hanya anggota komunitas merekalah yang boleh ikut
berpameran.
Bukan hanya karier yang lebih baik, Man
Fong juga menemukan pasangan hidupnya di Batavia. Dia menikahi seorang
pianis bernama Lie Muk Lan dan memiliki seorang putra bernama Lee Ramm.
Man Fong akhirnya menggeluti seni lukis
secara total sejak 1940. Demi menggapai impian untuk pameran tunggal,
dia meninggalkan seni komersial untuk melukis di Bali. Selama periode
tersebut, alam dan kehidupan masyarakat Bali terekam di atas kanvasnya.
Setelah tiga bulan dia kembali ke Jawa dan menggelar pameran di Jakarta
pada Mei 1941 lalu diikuti pameran di Bandung. Kariernya terhenti sesaat
ketika pada 1942 dia mendekam di hotel prodeo akibat turut menentang
kolonialisme Jepang. Enam bulan jadi tahanan, atas jasa Takahashi Masao,
seorang opsir-cum-seniman ikebana (seni merangkai bunga bunga) yang
terpikat kecakapan lukis Man Fong, dia dibebaskan. Man Fong kembali
melakoni rutinitasnya sebagai pelukis.
Pada 1949 dia mendapat beasiswa Malino
dari Gubernur Jenderal Belanda Van Mook untuk memperdalam seni rupa di
Negeri Kincir Angin. Tiga dari karyanya diterima dengan baik. Selama
tinggal di Eropa, dia mengunjungi Inggris, Prancis, Switzerland, Italia,
Luxemburg, dan Belgia.
Kembali ke Indonesia pada akhir 1952, Man Fong sempat berprofesi sebagai editor seni di Nanyang Post,
majalah bergambar yang terbit di Jakarta. Pada tahun yang sama,
Presiden Sukarno mengunjungi studionya di Jalan Gedong. Pameran-pameran
yang digelar Yin Hua, organisasi pelukis Tionghoa yang didirikan Man
Fong pada 1955 dan bermarkas Prinsenpark (sekarang Lokasari), Jakarta,
juga kerap disambangi Soekarno.
Soekarno jatuh hati. Karya-karya Man Fong
yang “menyejukkan” hati lewat tampilan gambar-gambar realis bernuansa
alam, hewan, dan aktivitas kehidupan sederhana masyarakat diibaratkan Soekarno sebagai ventilasi di tengah sibuknya Revolusi.
“Lukisan Lee Man-Fong yang realistik
bukan salinan realitas yang mencari kebenaran. Lee Man-Fong sendiri
menyatakan bahwa lukisan realistiknya adalah hasil transformasi
observasi realitas yang sangat mendalam. Observasi ini memerlukan
penghayatan dan kejujuran. Tentang teknik melukis yang disebutnya
‘rendering’, ia menyatakan teknik ini harus mencapai tingkat kemampuan
yang sophesticated untuk bisa merekam hasil observasi
realitas,” tulis kurator Jim Supangkat, “Chusin’s Realistic Painting. A
Thesis”, dalam katalog pameran tunggal pelukis Chusin Setiadikara di
Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Maret 2011.
Bersama seniman Yin Hua lainnya, Man
Fong memenuhi undangan dari Republik Rakyat China pada pertengahan 1956.
Mereka berkunjung selama lima bulan serta mengatur pameran di Peking
dan Kanton. Di China, Man-Fong bertemu pelukis Ch’i Pai-Shih, yang
dikenal sebagai salah seorang pembaharu seni lukis tradisional, di
Beijing, bahkan membuat potretnya. Di sinilah lukisan realistik Man Fong
mendapat pengakuan. Sekembali ke Indonesia, Man Fong menggelar pameran
di Jakarta yang menampilkan lebih dari 80 karyanya.
“Kerbau”, “Tiga Kuda”, “Merpati Putih di
Senja Hari’, “Gadis Bali (Nude)”, dan “Sepasang Kuda” adalah sebagian
kecil judul lukisan terkenal garapan Man Fong. Seperti terbaca dari
judulnya, Man Fong memang senang mengangkat tema-tema sederhana, dari
binatang hingga pemandangan alam. Dalam hal pencapaian artistik,
karya-karyanya disetarakan dengan karya maestro lukis seperti Affandi,
Hendra Gunawan, dan Sudjojono.
“Lukisan-lukisan Lee Man Fong bersifat
orisinil, dengan figur-figur realistik dan penerapan warna yang matang.
Dia menggabungkan antara gaya lukis Barat dan gaya Chinese art. Karya Man Fong memberi warna baru bagi dunia seni lukis Indonesia saat ini,” kata Kuss Indarto, kurator seni rupa asal Yogya.
Pada 1961, atas anjuran pelukis Dullah,Soekarno mengangkat Man Fong menjadi pelukis istana sekaligus memberinya
kewarganegaraan Indonesia. Man Fong menunjuk kawannya, Lim Wasim,
sebagai asistennya. Lim pelukis kelahiran Bandung, 9 Mei 1929, yang
pernah menempuh pendidikan di Institut Seni Sentral Beijing tahun 1950,
selain sempat mengajar di Perguruan Seni Xian di Kota Xian, China.
Selain melukis, Man Fong menguratori
benda-benda seni koleksi Soekarno. Meski berat menyesuaikan diri dengan
pekerjaan yang terjadwal dan urusan protokoler, Man Fong menjalaninya
dengan baik. Pada 1964, Man Fong ditunjuk Presiden Soekarno untuk membuat
koleksi karya seni Presiden Soekarno. Terbitlah “Lukisan-lukisan dan
Parung dari Koleksi Presiden Soekarno dari Republik Indonesia” dalam lima
jilid.
Keadaan mulai tak menentu bagi Man Fong
saat Soekarno lengser. Terkurung dalam ingar-bingar politik, Man Fong
bersama keluarganya terpaksa hijrah ke Singapura. Lama tinggal di sana,
Man Fong mendapat status penduduk tetap dan akhirnya dianggap sebagai
salah satu tokoh dan pelukis besar Singapura.
[Historia]