MB.com, Resensi - Dia baru berusia dua tahun ketika dinobatkan sebagai kaisar, dalam suasana kerajaan yang penuh intrik dan gejolak.
Pada 2 Desember 1908, Aula Kedamaian
Istana Terlarang. Ribuan orang berkumpul menghadiri upacara penobatan
kaisar baru. Upacara biasanya memakan waktu sepanjang hari. Sebelum
penobatan, kaisar baru harus menerima para pemimpin tentara istana,
menteri, pejabat sipil dan militer, raja kecil, serta gubernur untuk
melakukan kowtow (penghormatan).
Belum juga usai, sang kaisar sudah
kelelahan. Dia menjerit, menangis, dan meraung-raung. Wali kaisar, yang
tak lain adalah ayahnya, gelisah. Setengah berbisik dia membujuk
anaknya: “Jangan nangis. Yang sabar ya. Semuanya segera selesai.
Semuanya akan usai.” Beberapa orang yang mendengar bisikan itu berkata:
“Ini adalah pertanda buruk.”
Henry Pu Yi, kaisar baru itu, yang lahir
pada 7 Februari 1906, baru berusia dua tahun. Dia menggantikan kaisar
lama yang mati dibunuh pendukung republik.
Pu Yi jadi penerus Dinasti Qing dalam
situasi penuh prahara. Kaum revolusioner republik sedang gencar
mengupayakan perubahan sistem pemerintahan China dari monarki menjadi
republik. Seorang penasihat istana bernama Yuan Shih Kai menjadi musuh
dalam selimut dalam pemerintahan Pu Yi.
Pada 12 Februari 1912 Yuan berhasil
mempengaruhi janda permaisuri Lung Yu untuk menjatuhkan pemerintahan Pu
Yi. Yuan lalu membentuk pemerintahan republik sementara dengan dia
sebagai presidennya. Segala urusan politik dan ekonomi kerajaan berada
di bawah pengaturan Yuan.
“Aku kaisar yang berkuasa dalam suasana
seperti itu selama tiga tahun lamanya, tanpa adanya kesadaran yang nyata
akan situasi politik,” kata Pu Yi dalam otobiografinya.
Pu Yi jadi kaisar tanpa titah. Dia
menjalani hidup sebagai seorang interniran di Istana Terlarang. Tapi dia
masih memperoleh hak pelayanan sebagai kaisar dan menjalankan tradisi
kerajaan berdasarkan Perjanjian Perlakuan Baik yang dibuat ayahnya dan
Departemen Rumah Tangga dengan pihak republik. Di sisi lain keluarga
Qing berjanji akan terus mendukung Yuan sebagai kaisar bila dia memegang
teguh perjanjian itu. Tapi Yuan keburu meninggal dunia, hanya 83 hari
setelah memegang kekuasaan sebagai kaisar.
Banyak orang percaya itu adalah kutukan
langit karena dia telah merebut kepemimpinan “Putra Langit” secara tidak
sah. Berita kematiaannya disambut penuh suka cita oleh para penduduk
Kota Terlarang. Kematian Yuan memunculkan kembali kerinduan masyarakat
Kota Terlarang, bahkan sebagian masyarakat China, terhadap pemerintahan
Dinasti Qing. Mereka menuntut restorasi pemerintahan. Pada 1917
restorasi Dinasti Qing mencapai puncaknya. Pu Yi kembali menjadi kaisar
penuh.
Tapi masa-masa indah itu hanya
berlangsung sesaat. Kaum revolusioner republik kembali menyerang Istana
Yu Ching milik Dinasti Qing dengan menggunakan kekuatan udara –yang
pertama dalam sejarah China. Setelah itu pemerintahan republik
mengeluarkan dekrit yang menurunkan tahta Pu Yi sebagai kaisar. Kecuali
di Istana Terlarang, Pu Yi kembali kehilangan kekuasaannya.
Beruntung Pu Yi memiliki banyak tutor
yang kelak mempengaruhi pikiran-pikirannya. Salah satunya Reginald
Fleming Johnstone, alumnus Universitas Oxford Inggris. Melalui dirinya
Pu Yi belajar berbagai hal mengenai dunia Barat. Keduanya kerap
berdiskusi soal kondisi dan sistem politik di sejumlah negara, kekuatan
negara setelah Perang Dunia I, hingga kebiasaan keluarga kerajaan
Inggris.
“Kurasa dia tak pernah menyadari
seberapa dalam pengaruh dirinya terhadap diriku; bahwa stelan wolnya
membuatku mempertanyakan nilai kain sutera dan brokat China; dan pulpen
di dalam sakunya membuatku malu menggunakan kuas dan kertas Chinaku,”
kenang Pu Yi.
Kekuasannya yang terbatas hilang ketika
pemerintahan republik mengumumkan berakhirnya Perjanjian Perlakuan Baik.
Kedudukan Pu Yi sebagai kaisar dicabut; hanya rakyat biasa. Pu Yi
kemudian melarikan diri ke Tietsin, sebuah daerah yang masih menjadi
wilayah konsesi Jepang atas China. Di sini Pu Yi berusaha
mengonsilidasikan kembali sisa-sisa pengikut setianya. Tutor-tutor Pu Yi
meyakinkannya bahwa restorasi hanya bisa terwujud dengan bantuan
Jepang.
Jepang sendiri mendekati Pu Yi dengan
mengundangnya berkunjung ke sebuah sekolah untuk anak-anak Jepang dan
pesta ulang tahun Kaisar Jepang. Bahkan pada 1934 Jepang mengangkat Pu
Yi sebagai kaisar boneka di Machukuo di utara China untuk memuluskan
berbagai kepentingan Jepang di China. Pada masa ini, melalui stempel Pu
Yi, Jepang menggulirkan kerja paksa hingga puluhan ribu rakyat China
tewas. Jepang juga kemudian berhasil menduduki wilayah Beijing. Tapi,
ibarat kacang lupa kulitnya, Jepang lalu mencabut kekuasaan Pu Yi.
Pernah bekerjasama dengan Jepang, Pu Yi
dicap sebagai kolaborator. Pada 1945, dalam suasana Perang Dunia II, Pu
Yi ditangkap pasukan Soviet dan dibawa ke Chita, Siberia. Selama tujuh
hari berturut-turut Pu Yi diperiksa di pengadilan penjahat perang.
China sendiri sudah berubah. Pada 1
Oktober 1949, Mao Tse Tung resmi membentuk Republik Rakyat China. Pu Yi
sendiri baru menikmati kemerdekaan dirinya sepuluh tahun kemudian ketika
Mao mengumumkan pemberian amnesti kepada para tahanan perang, termasuk
Pu Yi.
Buku ini ditulis oleh Pu Yi di dalam penjara. The Last Emperor,
otobiografi Henry Pu Yi ini, menceritakan pengalaman hidupnya yang luar
biasa: penobatannya sebagai kaisar pada usia sangat muda, hubungannya
dengan orang-orang di sekitarnya, korupsi yang menggerogoti kerajaan,
menjadi “boneka” penguasa Jepang, mendekam di penjara sebagai tawanan
perang, hingga menjadi tukang kebun di mana hanya sedikit orang yang
mengenalnya sebagai “Putra Langit”. Selain itu, buku ini menjelajahi
perjalanan sejarah China dalam memasuki era modern. Buku ini mengilhami
film dengan judul sama, disutradarai Bernardo Bertolucci, yang meraih 9
Piala Oscar.
[Historia]