Seorang mantan kanibal dari pedalaman Sumatera Utara, 1905. Foto: KITLV
MB.com, Artikel - Kanibalisme di masyarakat primitif Nusantara berhubungan dengan ritual keyakinan dan hukuman.
KETIKA mengunjungi Nusantara pada 1292,
Marco Polo, seorang penjelajah asal Venesia, Italia, sempat menyusuri
pesisir Sumatra. Di tengah perjalanannya, dia terkejut karena
menyaksikan adanya masyarakat yang mengkonsumsi daging manusia.
Ketika berada di kerajaan Dagroian,
daerah Pidie (Aceh), Marco Polo menyaksikan masyarakat kanibal di sana
yang memakan daging kerabatnya yang sakit parah dan sudah tidak bisa
diselamatkan.
“Ketika salah satu kerabat mereka jatuh
sakit, mereka akan memanggil penyihir untuk datang dan mencari tahu
apakah si sakit bisa sembuh atau tidak. Jika penyihir itu berkata bahwa
si sakit akan mati, kerabat si sakit akan memanggil orang tertentu yang
secara khusus membunuh si sakit. Ketika dia sudah mati, mereka akan
memasaknya. Kemudian para kerabat akan berkumpul dan menyantap seluruh
badan orang itu,” tulis Marco Polo, “Para Kanibal dan Raja-raja:
Sumatera Utara pada 1290-an,” dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe karya Anthony Reid.
“Menurut kepercayaan mereka,” catat
Marco Polo, “jika ada satu bagian saja yang tertinggal, bagian tersebut
akan mengeluarkan cacing-cacing yang akan mati kelaparan. Bersamaan
dengan kematian cacing-cacing itu, jiwa orang mati tadi akan
mendatangkan dosa besar dan kesengsaraan. Itulah sebabnya mereka
menyantap seluruh tubuh orang mati tadi.”
Pengalaman senada dialami arkeolog
Friedrich Schnitger. Ketika melakukan penelitian di Padang Lawas,
Sumatra Selatan pada 1935, dia menemukan peninggalan berupa sebuah candi
yang dipercaya merupakan sisa-sisa kerajaan Poli abad ke-12.
Menurutnya, kerajaan ini berasal dari
sebuah sekte yang sangat mengerikan bernama Sekte Bhairawa. Sekte ini
memuja dewa-dewa yang berwujud mengerikan, mirip iblis. Mereka memiliki
ritual memakan daging manusia pada upacara pemujaan di kuburan.
Menurut Schnitger dalam “Reruntuhan
Kerajaan Tak Bernama,” biasanya upacara ini dimulai beberapa jam setelah
matahari terbenam. Manusia-manusia hidup yang akan dikorbankan
dibaringkan. Kemudian sang pendeta akan mengambil jantungnya, dan
menuangkan darah ke sebuah tengkorak dan meminumnya sampai habis.
“Sebelum kedatangan bangsa Eropa, kanibalisme adalah hal lazim,” tulis Friedrich Schnitger, termuat dalam Sumatera Tempo Doeloe.
“Seperti kami, siapa pun yang kenal betul dengan negeri dan penduduk
Sumatera Utara pasti paham bagaimana ilmu sihir, jampi-jampi, dan
sejenisnya, memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat ini.”
Menurut Bernard HM Vlekke, kanibalisme
sebagai ritual karena unsur utama dalam animisme adalah panteistik,
bahwa segala sesuatu dan segala makhluk punya “jiwa” dan “energi
kehidupan.” “Kebiasaan kanibalisme dan pengayauan yang kini sudah punah
bertujuan untuk mengambil-alih ‘energi kehidupan’ dari musuh yang
terbunuh tersebut,” tulis Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia.
Selain sebagai sebuah ritual,
kanibalisme juga dilakukan sebagai hukuman bagi yang kalah perang atau
melanggar peraturan. Seorang peneliti bernama Oscar von Kessel,
melakukan penelitian tentang masyarakat Batak pada 1844.
Menurutnya, masyarakat Batak menganggap
kanibalisme sebagai perbuatan hukum bagi pelanggaran seperti pencurian,
perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, merica merah dan lemon
harus disediakan oleh keluarga korban sebagai tanda menerima keputusan
hukuman itu dan tidak lagi memikirkan balas dendam.
Dalam kasus lain, kanibalisme berlaku
untuk seorang yang dituduh mata-mata dan tawanan perang. “Mereka dapat
menangkap orang asing yang bukan berasal dari daerahnya, mereka akan
menahan orang itu. Jika orang itu tidak sanggup menebus dirinya sendiri,
mereka akan membunuhnya dan memakannya langsung di tempat,” tulis Marco
Polo. “Itu adalah kebiasaan yang sangat buruk dan menjijikan.”