Ebbie ketika mengabadikan Puncak Cartenz Jayawijaya
Tidak ada kata terlambat bagi Ebbie Vebri Adrian untuk menunaikan mimpinya membuat buku yang mendokumentasikan ribuan destinasi wisata dan budaya di 34 provinsi di Indonesia lengkap dengan gambar yang indah. Beragam resiko dan tantangan harus dia lalui pada awalnya untuk menuntaskan misi ini, diantaranya dimarahi oleh keluarga, dianggap pahlawan kesiangan, sok nasionalis, hingga diputuskan oleh pacar tercinta.
Banyak resiko besar dihadapi selama diperjalanan baik itu karna faktor alam ataupun faktor dari manusia tidak membuatnya gentar dan menyurutkan nyali untuk terus menjelajah Indonesia. Semua dia jalani dengan sepenuh hati untuk mewujudkan satu tujuan, memenuhi rasa penasaran, hasrat dan cita-cita menghasilkan buku Indonesia yang komplit memuat keindahan alam, flora fauna dan keberagaman budaya yang dicintainya. Ia bertutur, seandainya saja sudah ada fotografer yang melakukannya dulu, maka ia tidak akan bersusah payah berkeliling Indonesia untuk melakukan ini semua.
Cartenz Papua
Kenapa buku-buku yang dibelinya itu semua ditulis oleh orang “bule” alias orang asing? Orang Indonesia dengan 250 juta penduduk pada kemana kok nggak ada yang bikin buku Indonesia yang lengkap?
Sejuta pertanyaan berputar dibenaknya.. Apa kendalanya sehingga tidak ada yg mau membuatnya? Apa karna malas? Butuh biaya yg sangat besar? atau sebab lainnya?
Sehingga muncul kesimpulan yg Ebbie temukan “mungkin” orang-orang bule itu berfikir, tidak ada orang Indonesia yang membuatnya maka “kami akan membuatkannya”.
Seandainya sedari dulu orang-orang Indonesia sangat produktif membuat buku tentang kekayaan negeri sendiri, rasanya orang-orang bule tersebut akan berpikir ulang untuk ikut membuat buku tentang Indonesia.
Di satu sisi, karya bule-bule ini sangat membantu terutama untuk mengisi kekosongan karya tulis tentang Indonesia. Namun mungkin karena tujuannya komersial, selalu saja ada yang kurang dan itu membuat Ebbie tidak pernah puas menikmati buku tentang Indonesia yang ditulis oleh mereka.
TN Tanjung Puting
Upaya mendokumentasikan Indonesia dalam bentuk buku menurutnya masih
sepotong-potong dan tidak lengkap, beberapa tahun lalu saat Indonesia
masih 33 provinsi, paling banyak hanya kisaran 20-25 provinsi saja yang
diwujudkan dalam 1 buku. Ada upaya lainnya untuk mendokumentasikan buku
foto Indonesia yang dilakukan oleh 30-50 orang, tetapi itupun masih
belum lengkap juga. Menurutnya baru sebatas memajang sekumpulan foto
bagus.
Taman Nasional Teluk Cenderawasih
Memulai dari minus
Bagaimana membangun dan merealisasikan mimpi tersebut? Bagimana bisa Ebbie yang tidak menyukai foto berani membuat sebuah buku yang lengkap dengan pendekatan fotografi yang prima. Akhir 2004 dia mengatakan tidak menyukai memotret, bahkan kamera sakupun tidak punya. “Apa di dunia ini yang tidak bisa dipelajari?”. Filosofi ini yang kemudian membawa Ebbie berani untuk memulai langkah pertamanya di awal tahun 2005.
Curug Sewu, Kendal dan Laut Karimun Jawa
Belajar fotografi melalui kursus tidak ditempuh olehnya. Menurutnya,
belajar melalui kursus itu terlalu mudah, dia menginginkan yang lebih
sulit, dia ingin susah. Cara termudah adalah dengan otodidak, alias
belajar trial dan error sendiri. Melalui buku panduan kamera, internet,
semua dipelajari, meskipun diamini pada saat itu belajar melalui
metode ini banyak keterbatasan, tidak seperti mudahnya belajar
fotografi saat ini yang bisa diakses dan gratis terutama melalui
internet.
Tahun 2004 ia memutuskan menjual usahanya di bidang komputer dan internet, termasuk mengumpulkan uang tabungannya dan menjual segala yang ia punya untuk modal perjalanan berkeliling Indonesia. Dengan modal tersebut, salah satunya dialokasikan untuk membeli perlengkapan fotografi. 5 hingga 6 bulan pertama hasil fotonya benar-benar tidak bagus malah bisa dibilang hancur. Ia berujar semua memang dilakukannya sendiri tanpa bertanya kepada satu orangpun tentang fotografi. Setelah mengotak-atik dan tekun belajar setiap hari, akhirnya hasil fotografinya sudah relatif stabil.
Tahun 2004 ia memutuskan menjual usahanya di bidang komputer dan internet, termasuk mengumpulkan uang tabungannya dan menjual segala yang ia punya untuk modal perjalanan berkeliling Indonesia. Dengan modal tersebut, salah satunya dialokasikan untuk membeli perlengkapan fotografi. 5 hingga 6 bulan pertama hasil fotonya benar-benar tidak bagus malah bisa dibilang hancur. Ia berujar semua memang dilakukannya sendiri tanpa bertanya kepada satu orangpun tentang fotografi. Setelah mengotak-atik dan tekun belajar setiap hari, akhirnya hasil fotografinya sudah relatif stabil.
Museum-museum di Bali
Semua keahlian fotografinya berjalan seiring waktu, termasuk
kemampuannya mendokumentasikan bawah laut juga tidak instan meskipun
keahlian menyelam sudah dikuasainya ketika menjadi anak pencinta alam.
Dengan modal “Bismillah” Ebbie memulai perjalanan panjang ini. Tidak ada rencana dan arah yang baik bagaimana ia harus memulai perjalanan ini. Dia tahu, uang yang dimilikinya tidak akan cukup. Tapi Ia berfikir nekat, meski sadar bahwa biaya mengelilingi Indonesia akan sangat mahal sekali.
Dugaannya benar, dalam 3 tahun pertama, uang yang dikumpulkannya habis. Perjalanan non stop yang panjang ini membuatnya terkadang lelah dan jenuh. Untuk mengatasi itu, sesekali Ia beristirahat di rumahnya di Yogyakarta untuk sekedar memulihkan stamina dan mempersiapkan penjelajahan berikutnya.
Untuk destinasi yang dikunjungi oleh Ebbie dilakukan tidak terstruktur karna mengikuti iklim di Indonesia antara barat dan timur yang tidak sama. Dimana provinsi yang sedang “musim panas” maka ia akan menuju kesana. Apabila di provinsi tersebut sudah mulai hujan ia akan pindah ke provinsi lainnya yang cerah.
Rencana awalnya sangat sederhana, ingin membuat buku yang lengkap per
provinsi, sisanya akan mengalir. Apapun keunikan alam, budaya dan hal
lainnya dia dokumentasikan dengan lengkap. Yang unik, hanya wisata
kuliner yang tidak dia masukan dalam buku, karena takutnya jomplang,
karena nanti akan merembet ke nama restoran, hotel, dan lain-lain.
Untuk memudahkan kerja dalam membuat list pemotretan obyek foto, Ebbie menggunakan bermacam buku dan brosur-brosur wisata, salah satunya buku Lonely Planet. Destinasi apa saja yang ada di buku tersebut dia dokumentasikan, tapi sudah pasti apa yang dia punya belum tentu ada di dalam Lonely Planet.
Pilihan membuat buku fotografi
Lalu apa beda buku Indonesia yang Ebbie buat dengan buku sejenis Lonely Planet yang mencoba memberikan panduan lengkap tentang Indonesia? Kalau Lonely Planet lebih banyak informasi tapi sedikit dan bahkan minim foto. Karena menggunakan pendekatan tulisan inilah ia menemukan banyak hal yang tidak update lagi. Banyak hal yang ditulis di buku itu sudah berubah banyak di lapangan. Pengalaman tersebut membuatnya merasa “dibohongi”, karena buku yang dia bawa keliling Indonesia tersebut tidak update baik soal rute, akomodasi, hotel yang sudah tutup, tarif yang berbeda, hingga informasi yang katanya untuk mencapai suatu tempat harus mendaki 3 hari ternyata sudah ada jalan mobil.
Untuk alasan inilah ia memposisikan diri sebagai kurator untuk memilih
destinasi yang menurutnya sangat baik dan layak dibagikan kepada semua
orang. Kurasi inilah yang akhirnya memudahkan pembaca memilih
destinasi yang menurutnya sesuai dengan kesukaannya. Tidak suka gunung
ada laut, bisa menjajal wisata sejarah, bahari hingga museum.
Karena didasarkan dengan pilihan obyek yang menurutnya terbaik berdasarkan pengalaman langsung, maka Ebbie otomatis tidak memasukan semua obyek wisata yang ada di setiap provinsi, hanya yang terbaik yang terpilih. Misalnya dari ratusan pantai di sebuah provinsi hanya beberapa pantai terbaik yang dia pilih, ia ingin orang yang sudah jauh-jauh datang berkunjung tidak merasa tertipu.
Ebbie bisa memastikan pilihannya terbaik karena Ia mengunjungi obyek tersebut satu persatu dan merasakannya langsung. Karena itulah perjalanan membutuhkan waktu yang sangat panjang dan menguras tenaga juga memakan biaya yang mahal. Lebih dari 2000 destinasi wisata ia jelajahi dan menghasilkan ratusan ribu foto yang bisa dibuktikan dan dipertanggungjawabkan keasliannya.
Lalu apa hal yang membuatnya sedih dalam pengerjaan buku ini? Yaitu
ketika hardisk foto yang belum sempat dibackupnya crash. Hilang,
meskipun ada beberapa foto yang masih bisa diselamatkan, namun
kehilangan momen, biaya dan juga semangat mungkin akan sulit dia bangun
kembali apabila hasil fotonya hilang. Berdasarkan pengalaman itu,
Ebbie kemudian sangat berhati-hati menyimpan datanya. Beberapa hardisk
dia siapkan termasuk menyebarnya tidak hanya di satu tempat untuk
mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
Hal seru lainnya yang berkesan selama pembuatan buku ini? Terhitung 4 kali Ebbie baku hantam dengan warga lokal yang menjadi fixernya, lebih ke perdebatan terkait dengan bayaran atas jasa transport atau porter yang sudah disepakati.
Atau pengalaman nyaris mati, seperti kram setengah badan ketika
berenang di Pink Beach Pulau Komodo dan terseret ombak palung di
Sumbawa. Tapi ada satu tempat yang membuatnya berfikir berkali-kali
untuk dikunjungi apabila dia mendapatkan kesempatan lagi, WAKATOBI.
Di Wakatobi dia mengalami 2 kali “apes” yang membuatnya kapok datang kembali. Pertama tahun 2007 ketika kapal motor yang ditumpangi mesinnya pecah di tengah lautan tanpa makanan dan hanya ada air mineral satu botol kecil dan memaksanya bertahan hidup dilautan dengan terombang-ambing selama tiga hari sebelum diselamatkan oleh tim SAR. Apes ke-2 yaitu tahun 2012 ketika mencoba kembali ke Wakatobi untuk diving selama seminggu disana dan memotret underwater. Baru hari pertama sampai disana Ebbie sudah kecelakaan parah saat dibonceng motor sesudah memotret sunset di atas bukit!
Semua pengalaman ini tak menyurutkan dirinya untuk mundur, pantang untuk berhenti di tengah jalan. Seluruh pengalaman ini membuatnya memiliki intuisi yang kuat untuk bisa membaca problem sebelum melakukan perjalanan menelusuri suatu daerah.
Dengan penyajian foto yang secara teknis memiliki standar kualitas
fotografer National Geographic Anda pasti akan puas dan betah
berlama-lama menikmati halaman demi halaman buku ini. Meskipun Ebbie
menyadari masih banyak kekurangan, setidaknya dia berhasil
merealisasikan mimpi dan cita-citanya membuat buku ini.
Sumbangsihnya sangat berharga untuk kemajuan dunia pariwisata dan buku fotografi di Indonesia. Imaji dalam buku ini akan menjadi saksi dan tidak akan lekang dan akan menjadi bagian dari sejarah. Tugas kita bersama untuk mengapresiasinya dan mendapatkan inspirasi untuk lebih cinta kepada Indonesia.
Foto: Ebbi Vebri Adrian & Purwo Subagiyo (repro buku foto Indonesia “The World Treasure”)
Dengan modal “Bismillah” Ebbie memulai perjalanan panjang ini. Tidak ada rencana dan arah yang baik bagaimana ia harus memulai perjalanan ini. Dia tahu, uang yang dimilikinya tidak akan cukup. Tapi Ia berfikir nekat, meski sadar bahwa biaya mengelilingi Indonesia akan sangat mahal sekali.
Dugaannya benar, dalam 3 tahun pertama, uang yang dikumpulkannya habis. Perjalanan non stop yang panjang ini membuatnya terkadang lelah dan jenuh. Untuk mengatasi itu, sesekali Ia beristirahat di rumahnya di Yogyakarta untuk sekedar memulihkan stamina dan mempersiapkan penjelajahan berikutnya.
Untuk destinasi yang dikunjungi oleh Ebbie dilakukan tidak terstruktur karna mengikuti iklim di Indonesia antara barat dan timur yang tidak sama. Dimana provinsi yang sedang “musim panas” maka ia akan menuju kesana. Apabila di provinsi tersebut sudah mulai hujan ia akan pindah ke provinsi lainnya yang cerah.
Ebbi mengabadikan goa Jomblang
Goa Grubuk Jomblang
Untuk memudahkan kerja dalam membuat list pemotretan obyek foto, Ebbie menggunakan bermacam buku dan brosur-brosur wisata, salah satunya buku Lonely Planet. Destinasi apa saja yang ada di buku tersebut dia dokumentasikan, tapi sudah pasti apa yang dia punya belum tentu ada di dalam Lonely Planet.
Pilihan membuat buku fotografi
Lalu apa beda buku Indonesia yang Ebbie buat dengan buku sejenis Lonely Planet yang mencoba memberikan panduan lengkap tentang Indonesia? Kalau Lonely Planet lebih banyak informasi tapi sedikit dan bahkan minim foto. Karena menggunakan pendekatan tulisan inilah ia menemukan banyak hal yang tidak update lagi. Banyak hal yang ditulis di buku itu sudah berubah banyak di lapangan. Pengalaman tersebut membuatnya merasa “dibohongi”, karena buku yang dia bawa keliling Indonesia tersebut tidak update baik soal rute, akomodasi, hotel yang sudah tutup, tarif yang berbeda, hingga informasi yang katanya untuk mencapai suatu tempat harus mendaki 3 hari ternyata sudah ada jalan mobil.
Ebbie bersama motornya ketika tiba di Toraja
Tempat yang katanya indah ketika ia temui dilapangan ternyata biasa
sekali. Menurutnya mata orang asing dan dirinya sangat berbeda. Tulisan
bisa saja membohongi pembaca karna tanpa dilengkapi dengan foto-foto.
Di titik inilah Ebbie memutuskan bahwa fotolah yang harus lebih
berbicara dan mendapatkan porsi yang banyak. Tulisan menjadi nomor 2
dalam buku ini, hanya sebagai pelengkap yang menjelaskan foto.
Melalui foto, pembaca di ajak menilai apakah tempat tersebut bagus atau
tidak. Karena bagus itu menurutnya relative bagi setiap orang. Dia
ingin foto yang berbicara. Silakan pilih foto yang menurutnya sesuai
dengan pilihannya, dari kota hingga pedalaman. Dari bawah laut hingga
atas gunung.
Taman-Safari
Karena didasarkan dengan pilihan obyek yang menurutnya terbaik berdasarkan pengalaman langsung, maka Ebbie otomatis tidak memasukan semua obyek wisata yang ada di setiap provinsi, hanya yang terbaik yang terpilih. Misalnya dari ratusan pantai di sebuah provinsi hanya beberapa pantai terbaik yang dia pilih, ia ingin orang yang sudah jauh-jauh datang berkunjung tidak merasa tertipu.
Ebbie bisa memastikan pilihannya terbaik karena Ia mengunjungi obyek tersebut satu persatu dan merasakannya langsung. Karena itulah perjalanan membutuhkan waktu yang sangat panjang dan menguras tenaga juga memakan biaya yang mahal. Lebih dari 2000 destinasi wisata ia jelajahi dan menghasilkan ratusan ribu foto yang bisa dibuktikan dan dipertanggungjawabkan keasliannya.
Benteng-benteng di Jawa Tengah
Untuk pengerjaan bukunya, awalnya semua dilakukan sendirian. Mulai dari
memotret, mengkurasi, konsep, mendesign layout hingga text. Namun
akhirnya dengan beberapa pertimbangan Ebbie menurunkan idealismenya.
Untuk layout dan peta dia meminta rekannya untuk membantunya.
Sementara kurasi ia tetap menjadi kurator sendiri, karena memang hanya
dia yang tahu foto yang diambilnya dengan segala pertimbangan dan
cerita dibaliknya, jadi bukan hanya sekedar foto yang indah.
Cartenz, dan “Near Death Experience”
Dari seluruh foto yang dia kumpulkan selama 9 tahun, ada beberapa obyek yang sangat sulit sekali dia abadikan. Tidak lain dan tidak bukan, Puncak Cartenz di pegunungan Jayawijaya. Bukan hanya sulit karena harus diambil dari atas udara dengan menggunakan helikopter tetapi juga sulitnya mengurus perizinan. Untuk bisa mengambil gambar puncak Cartenz, kita memasuki wilayah sebuah pertambangan. Untuk itu sejumlah perizinan dan kesiapan teknis harus disiapkan dan itu membutuhkan biaya yang besar.
Dari seluruh foto yang dia kumpulkan selama 9 tahun, ada beberapa obyek yang sangat sulit sekali dia abadikan. Tidak lain dan tidak bukan, Puncak Cartenz di pegunungan Jayawijaya. Bukan hanya sulit karena harus diambil dari atas udara dengan menggunakan helikopter tetapi juga sulitnya mengurus perizinan. Untuk bisa mengambil gambar puncak Cartenz, kita memasuki wilayah sebuah pertambangan. Untuk itu sejumlah perizinan dan kesiapan teknis harus disiapkan dan itu membutuhkan biaya yang besar.
Beruntung, lewat sebuah penantian panjang, dia mendapatkan akses
memotret menggunakan helikopter berkeliling pegunungan Jayawijaya dari
perusahaan tambang tersebut. Ganjarannya adalah foto itu menjadi salah
satu foto pembuka buku INDONESIA The World Treasure.
Cartenz-Papua
Hal seru lainnya yang berkesan selama pembuatan buku ini? Terhitung 4 kali Ebbie baku hantam dengan warga lokal yang menjadi fixernya, lebih ke perdebatan terkait dengan bayaran atas jasa transport atau porter yang sudah disepakati.
Taman Nasional Komodo
Di Wakatobi dia mengalami 2 kali “apes” yang membuatnya kapok datang kembali. Pertama tahun 2007 ketika kapal motor yang ditumpangi mesinnya pecah di tengah lautan tanpa makanan dan hanya ada air mineral satu botol kecil dan memaksanya bertahan hidup dilautan dengan terombang-ambing selama tiga hari sebelum diselamatkan oleh tim SAR. Apes ke-2 yaitu tahun 2012 ketika mencoba kembali ke Wakatobi untuk diving selama seminggu disana dan memotret underwater. Baru hari pertama sampai disana Ebbie sudah kecelakaan parah saat dibonceng motor sesudah memotret sunset di atas bukit!
Semua pengalaman ini tak menyurutkan dirinya untuk mundur, pantang untuk berhenti di tengah jalan. Seluruh pengalaman ini membuatnya memiliki intuisi yang kuat untuk bisa membaca problem sebelum melakukan perjalanan menelusuri suatu daerah.
Cover Buku Foto Indonesia
Pengalaman dan cerita panjang mengumpulkan foto yang indah dari seluruh
Indonesia sesaat lagi akan tiba ditangan kita. Buku INDONESIA The
World Treasure setebal 530 halaman hard cover, berisi 1400 foto-foto di
34 provinsi Indonesia. Dengan ukuran 24 x 33 cm, total berat buku
hampir 4 kg ini layak untuk dikoleksi bagi kita khususnya fotografer
dan traveler yang ingin mengenal Indonesia secara dekat dan lengkap.
Gua Tewet Sangkulirang Kaltim
Sumbangsihnya sangat berharga untuk kemajuan dunia pariwisata dan buku fotografi di Indonesia. Imaji dalam buku ini akan menjadi saksi dan tidak akan lekang dan akan menjadi bagian dari sejarah. Tugas kita bersama untuk mengapresiasinya dan mendapatkan inspirasi untuk lebih cinta kepada Indonesia.
Foto: Ebbi Vebri Adrian & Purwo Subagiyo (repro buku foto Indonesia “The World Treasure”)