Logo

Logo
Latest News
Tuesday, August 19, 2014

Kisah Seorang Fotografer: Penjelajah Nusantara

 Ebbie ketika mengabadikan Puncak Cartenz Jayawijaya

MB.com,  Jakarta -
Tidak ada kata terlambat bagi Ebbie Vebri Adrian untuk menunaikan mimpinya membuat buku yang mendokumentasikan ribuan destinasi wisata dan budaya di 34 provinsi di Indonesia lengkap dengan gambar yang indah. Beragam resiko dan tantangan harus dia lalui pada awalnya untuk menuntaskan misi ini, diantaranya dimarahi oleh keluarga, dianggap pahlawan kesiangan, sok nasionalis, hingga diputuskan oleh pacar tercinta.

Banyak resiko besar dihadapi selama diperjalanan baik itu karna faktor alam ataupun faktor dari manusia tidak membuatnya gentar dan menyurutkan nyali untuk terus menjelajah Indonesia. Semua dia jalani dengan sepenuh hati untuk mewujudkan satu tujuan, memenuhi rasa penasaran, hasrat dan cita-cita menghasilkan buku Indonesia yang komplit memuat keindahan alam, flora fauna dan keberagaman budaya yang dicintainya. Ia bertutur, seandainya saja sudah ada fotografer yang melakukannya dulu, maka ia tidak akan bersusah payah berkeliling Indonesia untuk melakukan ini semua.

 Cartenz Papua


Semua berawal di akhir tahun 2004, Ebbie yang merupakan seorang anak pencinta alam yang tidak suka foto dan difoto gemar sekali membaca dan mengoleksi buku terutama buku-buku tentang Indonesia yg bertemakan alam, petualangan, flora fauna, yang pada akhirnya membawa dia kepada sebuah pertanyaan besar.

Kenapa buku-buku yang dibelinya itu semua ditulis oleh orang “bule” alias orang asing?  Orang Indonesia dengan 250 juta penduduk pada kemana kok nggak ada yang bikin buku Indonesia yang lengkap?

Sejuta pertanyaan berputar dibenaknya.. Apa kendalanya sehingga tidak ada yg mau membuatnya? Apa karna malas? Butuh biaya yg sangat besar? atau sebab lainnya?
Sehingga muncul kesimpulan yg Ebbie temukan “mungkin” orang-orang bule itu berfikir, tidak ada orang Indonesia yang membuatnya maka “kami akan membuatkannya”.
Seandainya sedari dulu orang-orang Indonesia sangat produktif membuat buku tentang kekayaan negeri sendiri, rasanya orang-orang bule tersebut akan berpikir ulang untuk ikut membuat buku tentang Indonesia.

Di satu sisi, karya bule-bule ini sangat membantu terutama untuk mengisi kekosongan karya tulis tentang Indonesia. Namun mungkin karena tujuannya komersial, selalu saja ada yang kurang dan itu membuat Ebbie tidak pernah puas menikmati buku tentang Indonesia yang ditulis oleh mereka.
 
 TN Tanjung Puting

Upaya mendokumentasikan Indonesia dalam bentuk buku menurutnya masih sepotong-potong dan tidak lengkap, beberapa tahun lalu saat Indonesia masih 33 provinsi, paling banyak hanya kisaran 20-25 provinsi saja yang diwujudkan dalam 1 buku. Ada upaya lainnya untuk mendokumentasikan buku foto Indonesia yang dilakukan oleh 30-50 orang, tetapi itupun masih belum lengkap juga. Menurutnya baru sebatas memajang sekumpulan foto bagus.

 Taman Nasional Teluk Cenderawasih


Alasan itulah yang memaksanya untuk membuat sebuah buku destinasi Indonesia yang lengkap berisi wisata, alam, budaya, underwater, flora, dan fauna hingga aerial atau foto udara apapun tentang Indonesia yang unik dan lengkap per provinsi dalam 1 buku utuh. Upayanya mencari buku ini membuatnya jalan-jalan berkeliling dunia dan ketika dia memastikan bahwa buku tersebut tidak ada yang pernah membuat, tekadnya semakin bulat.

Memulai dari minus

Bagaimana membangun dan merealisasikan mimpi tersebut? Bagimana bisa Ebbie yang tidak menyukai foto berani membuat sebuah buku yang lengkap dengan pendekatan fotografi yang prima. Akhir 2004 dia mengatakan tidak menyukai memotret, bahkan kamera sakupun tidak punya. “Apa di dunia ini yang tidak bisa dipelajari?”. Filosofi ini yang kemudian membawa Ebbie berani untuk memulai langkah pertamanya di awal tahun 2005.

Curug Sewu, Kendal dan Laut Karimun Jawa
Belajar fotografi melalui kursus tidak ditempuh olehnya. Menurutnya, belajar melalui kursus itu terlalu mudah, dia menginginkan yang lebih sulit, dia ingin susah. Cara termudah adalah dengan otodidak, alias belajar trial dan error sendiri. Melalui buku panduan kamera, internet, semua dipelajari, meskipun diamini pada saat itu belajar melalui metode ini banyak keterbatasan, tidak seperti mudahnya belajar fotografi saat ini yang bisa diakses dan gratis terutama melalui internet.
Tahun 2004 ia memutuskan menjual usahanya di bidang komputer dan internet, termasuk mengumpulkan uang tabungannya dan menjual segala yang ia punya untuk modal perjalanan berkeliling Indonesia. Dengan modal tersebut, salah satunya dialokasikan untuk membeli perlengkapan fotografi. 5 hingga 6 bulan pertama hasil fotonya benar-benar tidak bagus malah bisa dibilang hancur. Ia berujar semua memang dilakukannya sendiri tanpa bertanya kepada satu orangpun tentang fotografi. Setelah mengotak-atik dan tekun belajar setiap hari, akhirnya hasil fotografinya sudah relatif stabil.
 Museum-museum di Bali
  Semua keahlian fotografinya berjalan seiring waktu, termasuk kemampuannya mendokumentasikan bawah laut juga tidak instan meskipun keahlian menyelam sudah dikuasainya ketika menjadi anak pencinta alam.

Dengan modal “Bismillah” Ebbie memulai perjalanan panjang ini. Tidak ada rencana dan arah yang baik bagaimana ia harus memulai perjalanan ini. Dia tahu, uang yang dimilikinya tidak akan cukup. Tapi Ia berfikir nekat, meski sadar bahwa biaya mengelilingi Indonesia akan sangat mahal sekali.
Dugaannya benar, dalam 3 tahun pertama, uang yang dikumpulkannya habis. Perjalanan non stop yang panjang ini membuatnya terkadang lelah dan jenuh. Untuk mengatasi itu, sesekali Ia beristirahat di rumahnya di Yogyakarta untuk sekedar memulihkan stamina dan mempersiapkan penjelajahan berikutnya.

Untuk destinasi yang dikunjungi oleh Ebbie dilakukan tidak terstruktur karna mengikuti iklim di Indonesia antara barat dan timur yang tidak sama. Dimana provinsi yang sedang “musim panas” maka ia akan menuju kesana. Apabila di provinsi tersebut sudah mulai hujan ia akan pindah ke provinsi lainnya yang cerah.

 
 Ebbi mengabadikan goa Jomblang

 Goa Grubuk Jomblang


Rencana awalnya sangat sederhana, ingin membuat buku yang lengkap per provinsi, sisanya akan mengalir. Apapun keunikan alam, budaya dan hal lainnya dia dokumentasikan dengan lengkap. Yang unik, hanya wisata kuliner yang tidak dia masukan dalam buku, karena takutnya jomplang, karena nanti akan merembet ke nama restoran, hotel, dan lain-lain.

Untuk memudahkan kerja dalam membuat list pemotretan obyek foto, Ebbie menggunakan bermacam buku dan brosur-brosur wisata, salah satunya buku Lonely Planet. Destinasi apa saja yang ada di buku tersebut dia dokumentasikan, tapi sudah pasti apa yang dia punya belum tentu ada di dalam Lonely Planet.

Pilihan membuat buku fotografi

Lalu apa beda buku Indonesia yang Ebbie buat dengan buku sejenis Lonely Planet yang mencoba memberikan panduan lengkap tentang Indonesia? Kalau Lonely Planet lebih banyak informasi tapi sedikit dan bahkan minim foto. Karena menggunakan pendekatan tulisan inilah ia menemukan banyak hal yang tidak update lagi. Banyak hal yang ditulis di buku itu sudah berubah banyak di lapangan. Pengalaman tersebut membuatnya merasa “dibohongi”, karena buku yang dia bawa keliling Indonesia tersebut tidak update baik soal rute, akomodasi, hotel yang sudah tutup, tarif yang berbeda, hingga informasi yang katanya untuk mencapai suatu tempat harus mendaki 3 hari ternyata sudah ada jalan mobil.

 Ebbie bersama motornya ketika tiba di Toraja

Tempat yang katanya indah ketika ia temui dilapangan ternyata biasa sekali. Menurutnya mata orang asing dan dirinya sangat berbeda. Tulisan bisa saja membohongi pembaca karna tanpa dilengkapi dengan foto-foto. Di titik inilah Ebbie memutuskan bahwa fotolah yang harus lebih berbicara dan mendapatkan porsi yang banyak. Tulisan menjadi nomor 2 dalam buku ini, hanya sebagai pelengkap yang menjelaskan foto.

Melalui foto, pembaca di ajak menilai apakah tempat tersebut bagus atau tidak. Karena bagus itu menurutnya relative bagi setiap orang. Dia ingin foto yang berbicara. Silakan pilih foto yang menurutnya sesuai dengan pilihannya, dari kota hingga pedalaman. Dari bawah laut hingga atas gunung.

Taman-Safari

Untuk alasan inilah ia memposisikan diri sebagai kurator untuk  memilih destinasi yang menurutnya sangat baik dan layak dibagikan kepada semua orang. Kurasi inilah yang akhirnya memudahkan pembaca memilih destinasi yang menurutnya sesuai dengan kesukaannya. Tidak suka gunung ada laut, bisa menjajal wisata sejarah, bahari hingga museum.

Karena didasarkan dengan pilihan obyek yang menurutnya terbaik berdasarkan pengalaman langsung, maka Ebbie otomatis tidak memasukan semua obyek wisata yang ada di setiap provinsi, hanya yang terbaik yang terpilih. Misalnya dari ratusan pantai di sebuah provinsi hanya beberapa pantai terbaik yang dia pilih, ia ingin orang yang sudah jauh-jauh datang berkunjung tidak merasa tertipu.

Ebbie bisa memastikan pilihannya terbaik karena Ia mengunjungi obyek tersebut satu persatu dan merasakannya langsung. Karena itulah perjalanan membutuhkan waktu yang sangat panjang dan menguras tenaga juga memakan biaya yang mahal. Lebih dari 2000 destinasi wisata ia jelajahi dan menghasilkan ratusan ribu foto yang bisa dibuktikan dan dipertanggungjawabkan keasliannya.

 Benteng-benteng di Jawa Tengah


Untuk pengerjaan bukunya, awalnya semua dilakukan sendirian. Mulai dari memotret, mengkurasi, konsep, mendesign layout hingga text. Namun akhirnya dengan beberapa pertimbangan Ebbie menurunkan idealismenya. Untuk layout dan peta dia meminta rekannya untuk membantunya.
Sementara kurasi ia tetap menjadi kurator sendiri, karena memang hanya dia yang tahu foto yang diambilnya dengan segala pertimbangan dan cerita dibaliknya, jadi bukan hanya sekedar foto yang indah.

Cartenz, dan “Near Death Experience”

Dari seluruh foto yang dia kumpulkan selama 9 tahun, ada beberapa obyek yang sangat sulit sekali dia abadikan. Tidak lain dan tidak bukan, Puncak Cartenz di pegunungan Jayawijaya. Bukan hanya sulit karena harus diambil dari atas udara dengan menggunakan helikopter tetapi juga sulitnya mengurus perizinan. Untuk bisa mengambil gambar puncak Cartenz, kita memasuki wilayah sebuah pertambangan. Untuk itu sejumlah perizinan dan kesiapan teknis harus disiapkan dan itu membutuhkan biaya yang besar.

Beruntung, lewat sebuah penantian panjang, dia mendapatkan akses memotret menggunakan helikopter berkeliling pegunungan Jayawijaya dari perusahaan tambang tersebut. Ganjarannya adalah foto itu menjadi salah satu foto pembuka buku INDONESIA The World Treasure.

 Cartenz-Papua


Lalu apa hal yang membuatnya sedih dalam pengerjaan buku ini? Yaitu ketika hardisk foto yang belum sempat dibackupnya crash. Hilang, meskipun ada beberapa foto yang masih bisa diselamatkan, namun kehilangan momen, biaya dan juga semangat mungkin akan sulit dia bangun kembali apabila hasil fotonya hilang. Berdasarkan pengalaman itu, Ebbie kemudian sangat berhati-hati menyimpan datanya. Beberapa hardisk dia siapkan termasuk menyebarnya tidak hanya di satu tempat untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

Hal seru lainnya yang berkesan selama pembuatan buku ini? Terhitung 4 kali Ebbie baku hantam dengan warga lokal yang menjadi fixernya, lebih ke perdebatan terkait dengan bayaran atas jasa transport atau porter yang sudah disepakati.

 Taman Nasional Komodo


Atau pengalaman nyaris mati, seperti kram setengah badan ketika berenang di Pink Beach Pulau Komodo dan terseret ombak palung di Sumbawa. Tapi ada satu tempat yang membuatnya berfikir berkali-kali untuk dikunjungi apabila dia mendapatkan kesempatan lagi, WAKATOBI.

Di Wakatobi dia mengalami 2 kali “apes” yang membuatnya kapok datang kembali. Pertama tahun 2007 ketika kapal motor yang ditumpangi mesinnya pecah di tengah lautan tanpa makanan dan hanya ada air mineral satu botol kecil dan memaksanya bertahan hidup dilautan dengan terombang-ambing selama tiga hari sebelum diselamatkan oleh tim SAR. Apes ke-2 yaitu tahun 2012 ketika mencoba kembali ke Wakatobi untuk diving selama seminggu disana dan memotret underwater. Baru hari pertama sampai disana Ebbie sudah kecelakaan parah saat dibonceng motor sesudah memotret sunset di atas bukit!

Semua pengalaman ini tak menyurutkan dirinya untuk mundur, pantang untuk berhenti di tengah jalan. Seluruh pengalaman ini membuatnya memiliki intuisi yang kuat untuk bisa membaca problem sebelum melakukan perjalanan menelusuri suatu daerah.

 Cover Buku Foto Indonesia 

Pengalaman dan cerita panjang mengumpulkan foto yang indah dari seluruh Indonesia sesaat lagi akan tiba ditangan kita. Buku INDONESIA The World Treasure setebal 530 halaman hard cover, berisi 1400 foto-foto di 34 provinsi Indonesia. Dengan ukuran 24 x 33 cm, total berat buku hampir 4 kg ini layak untuk dikoleksi bagi kita khususnya fotografer dan traveler yang ingin mengenal Indonesia secara dekat dan lengkap.

 Gua Tewet Sangkulirang Kaltim


Dengan penyajian foto yang secara teknis memiliki standar kualitas fotografer National Geographic Anda pasti akan puas dan betah berlama-lama menikmati halaman demi halaman buku ini. Meskipun Ebbie menyadari masih banyak kekurangan, setidaknya dia berhasil merealisasikan mimpi dan cita-citanya membuat buku ini.

Sumbangsihnya sangat berharga untuk kemajuan dunia pariwisata dan buku fotografi di Indonesia. Imaji dalam buku ini akan menjadi saksi dan tidak akan lekang dan akan menjadi bagian dari sejarah. Tugas kita bersama untuk mengapresiasinya dan mendapatkan inspirasi untuk lebih cinta kepada Indonesia.

Foto: Ebbi Vebri Adrian & Purwo Subagiyo (repro buku foto Indonesia “The World Treasure”)
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Kisah Seorang Fotografer: Penjelajah Nusantara Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi