Lukisan karya: herianto maidil
judul :perangkap merangkap
media : acrilyk on kanvas
ukuran 140 x 170 cm
tahun : 2012
judul :perangkap merangkap
media : acrilyk on kanvas
ukuran 140 x 170 cm
tahun : 2012
Oleh: Dewi Indra Puspitasari
Awalnya Ningsih-nama perempuan itu-menolak pinangan lelaki itu, karena merasa belum mengenal lelaki itu seutuhnya. Tapi simbah berpendapat lain, pantang bagi orang penduduk di dusun itu menolak pinangan yang datang, karena jika itu dilakukan, maka tidak akan lagi pinangan yang akan datang. Selain simbah sendiri merasa sudah waktunya seseorang hadir di antara mereka. Maklum selama belasan tahun, mereka hidup hanya berdua. Ningsih dititipkan ayahnya ketika ia masih berusia 1 hari, setelah ibunya meninggal saat melahirkannya. Bagi ayahnya, Ningsih adalah anak pembawa sial, pembawa kematian.
Menatap bayangannya di cermin, Ningsih kembali menghela napas. Selama 3 tahun usia pernikahannya, ia tak pernah berubah menjadi lebih baik. Ia justru menjadi itik yang lebih buruk lagi. Tubuhnya menyusut hingga kulitnya nampak begitu menempel di tulang. Matanya cekung berongga dengan lingkaran hitam yang kian jelas. Rambutnya yang tipis kini bisa ia hitung dalam waktu sebulan saja. Ada pelangi di tubuhnya, karena hujan pukulan yang ia terima dari suaminya. Ada bilur bekas pukulan rantai gembok, ada bekas sundutan rokok, ada bekas siraman kopi panas, dan ada banyak bekas luka lain yang ia sudah lupa disebabkan oleh apa. Ia hanya mengingat suaminyalah yang memberikannya bekas-bekas luka itu.
Belum lagi, sepanjang usia pernikahan mereka, perempuan itu tidak pernah menikmati indahnya perkawinan. Lelaki berbadan 5 kali berat tubuhnya itu pun menderanya ketika mereka bersetubuh. Bahkan perlakuan kasar itu harus ia terima sebelum mereka memulai persetubuhan. Ningsih pernah dijambak dan dibenturkan ke dinding hingga ia menangis meraung-raung. Suaminya bukannya menghentikan perlakuan kasarnya, justru tangisan Ningsih membuatnya semakin membabi buta menyiksa Ningsih. Lelaki itu tak jarang tertawa meringkik menikmati tangisan istrinya. Ketika Ningsih meringkuk menekuk tubuhnya, lelaki itu segera mengambil tubuh perempuannya dan melemparkannya ke atas kasur. Kemudian memulai persetubuhan.
Dan ketika persetubuhan terjadi pun, Ningsih masih harus menerima penyiksaan. Pernah suatu ketika, suaminya menggigit kulitnya hingga cuil dan darah mengucur deras dari lukanya. Lelaki yang berada di atas tubuhnya itu, tidak berusaha menghentikan kucuran darah itu. Ia justru menjilatinya dengan nikmat. Ningsih jijik melihat pemandangan itu, tapi ia diam saja. Karena ketika ia menangis, atau berteriak, atau meraung, suaminya akan menjadi lebih buas lagi. Ia tak ingin lelakinya menjadi lebih buas lagi. Cukup sudah kebuasan yang ia terima untuk hari itu.
Perlakuan buruk suaminya kepadanya tidak hanya itu. Ningsih pun tidak boleh keluar rumah. Lelakinya itu mengunci semua pintu dan jendela dari luar. Otomatis Ningsih hidup dalam kegelapan dan kesunyiannya sendiri. Setiap pagi, suaminya pergi yang Ningsih sendiri tidak tahu kemana dan pulang ketika malam telah gelap. Pernah suatu ketika, saat usia pernikahan mereka baru beberapa minggu, tapi jawaban suaminya membuatnya tak akan lagi menanyakan hal tersebut seumur hidupnya. Lelaki yang ia sebut Kang itu menjawab pertanyaan Ningsih dengan pukulan alu yang terbuat dari kayu (alat penumbuk, red). Jawaban suaminya membuat bocor kepala perempuan itu.
Kembali Ningsih mengingat pertemuannya dengan lelaki yang kini menjadi suaminya itu. Suatu hari, ketika ia mencari kayu bakar di sekitar hutan dekat tempat tinggalnya, tiba-tiba seeorang lelaki bertubuh tambun muncul dari hadapannya tanpa ia tahu dari mana. Lelaki itu memperkenalkan dirinya sebagai Wahyu sambil berkata, “Aku akan menjadi Wahyumu.”, entah apa maksudnya mengatakan hal itu, Ningsih tidak memahaminya. Maklum karena kemiskinan, Ningsih hanya mampu mengenyam pendidikan sampai sekolah dasar. Itu pun ia tak sampai tamat.
. Ningsih dan simbahnya hanya tinggal berdua di sebuah kampung yang jauh dekat gunung purba di kota mereka. Rumah mereka di luar perkampungan penduduk. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil yang berbatasan dengan hutan yang terkenal cukup angker di kota mereka. Ini membuat Ningsih tidak memiliki kawan. Semua kawan semasa sekolahnya enggan menggunjungi Ningsih. Ningsih suka agak sinting karena sering berbicara sendiri. Mungkin karena lama tinggal di rumah dekat hutan, begitu mereka menjawab ketika ditanya mengapa mereka tak mengunjungi Ningsih.
Suatu ketika, Ningsih secara tiba-tiba membawa pulang seorang laki-laki. Ia memperkenalkan lelaki itu sebagai calon suaminya kepada sang simbah. Sang simbah terkejut, karena ia tak pernah mengenal lelaki itu dan ia tak pernah melihat Ningsih berhubungan dengan orang lain, selain mencari kayu bakar di sekitar tempat tinggal mereka. Lelaki itu adalah lelaki berambut lurus, dengan tatapan mata tajam. Ia bertubuh gempal dengan warna kulit yang hitam mengkilat. Katanya kepada si simbah, “Saya Wahyu, mbah. Saya berasal dari kota yang berjarak ratusan kilo dari sini. Saya bertemu dengan Ningsih ketika ia sedang mencari kayu bakar. Entah mengapa saya ingin menikahinya. Boleh saya menikahi Ningsih, mbah?”
Sang simbah tidak berpikir panjang untuk menolak lamaran Wahyu untuk Ningsih. Ia berpikir, mungkin Wahyu bisa membantu meringankan beban mereka. Sudah terlalu lama mereka hidup tanpa lelaki, jadi mungkin dengan adanya Wahyu hidup mereka sedikit lebih ringan. Mereka bertiga kemudian segera membicarakan tentang rencana pernikahan yang akan diadakan 3 hari ke depan. Karena Ningsih dan simbahnya hidup serba kekurangan, mereka tidak akan mngadakan pesta pernikahan. Cukup memanggil modin yang akan menikahkan. Beberapa tetangga pun telah diberitahu, jika beberapa hari ke depan Ningsih akan menikah dengan Wahyu.
Hari yang ditunggu Ningsih pun tiba. Ia tampak cantik dengan mengenakan kebaya putih yang dihibahkan kepadanya oleh seorang tetangga. Sementara Wahyu mengenakan kemeja dan celana warna hitam yang satu-satunya ia miliki. Ia tak mengenakan peci. Pak Modin pun telah tiba dan segera menggelar ijab kabul. Di depannya nampak duduk Ningsih dan Wahyu. Di belakang pengantin, simbah duduk dengan wajah pias. Saat itu, cuaca di sekitar rumah mereka sangat terang. Tidak ada mendung atau angin kencang. Namun tiba-tiba langit menggelap dan angin ribut datang. Hujan turun deras tiba-tiba. Lalu tiba-tiba terdengar bunyi, gedebuk! Ternyata sang simbah terjatuh dari kursinya dan ketika salah seorang tetangga memeriksanya, simbah telah meninggal. Mendapati kenyataan itu keriuhan segera terjadi. Ada yang meminta upacara pernikahan Ningsih dibatalkan, karena harus mengurus kematian simbah. Tapi ada yang mengatakan, pernikahan Ningsih tidak boleh dibatalkan. Akhirnya Pak Modin mengambil jalan tengah, mereka mengurus jenasah simbah terlebih dahulu baru kemudian meneruskan upacara pernikahan Ningsih. Akhirnya Ningsih dan Wahyu menikah di depan jenasah simbah yang telah dikafani. Setelah menyelesaikan pembacaan ijab kabul, para tetangga dan pak Modin termasuk Ningsih dan Wahyu bergegas mengubur jenasah simbah di perkuburan yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal Ningsih.
Lamunan Ningsih dibuyarkan oleh suara geluduk di luar. Hujan yang turun dengan deras sejak tadi siang belum juga reda. Ia melirik jam dinding yang ia lihat samar. Jarum pendeknya menunjuk angka 10. Suaminya belum juga datang. Perempuan itu menekuk kakinya di atas kursi. Ia tak pernah lagi menunggu suaminya pulang, bahkan berharap suaminya tak akan pulang. Selalu keinginan yang sama setiap malamnya dan selalu pula keinginan itu tak pernah terwujud. Ningsih tak lagi menangis. Air matanya telah kering seperti mata air di belakang rumahnya.
Seperti malam ini, ia mendengar suara kunci diputar. Suaminya datang dalam keadaan sempoyongan dan basah kuyub. Tanpa mengganti baju, lelaki itu mendatangi Ningsih yang duduk dalam diam. Ningsih melihat bayangan tubuh suaminya meliuk-liuk terpias cahaya lampu minyak yang tergantung di dinding bambu rumah mereka. Entah mengapa, Ningsih melihat tubuh suaminya membesar lalu mengecil lalu meninggi kemudian memendek. Ia melihat suaminya berubah menjadi sosok yang tak ia kenali sebelumnya. Ningsih ketakutan, ia panik dan berlari menuju dapur. Suaminya memburunya dari belakang, menjambak rambut Ningsih. Ningsih mengelak dan terus berlari.
Dalam ketakutannya, Ningsih meringkuk di sudut dapur. Lelaki itu masih mencarinya. Ia berteriak-teriak memanggil nama istrinya. Ningsih melirik sesuatu yang berkelebat. Ia mengambil sesuatu itu, lalu berjalan menuju suaminya. Tanpa banyak kata, ia menghunuskan benda itu ke tubuh suaminya. Terus dan terus. Ia mendengar suaminya berteriak lalu mengerang panjang kemudian diam.
Keesokan paginya, penduduk desa itu dikejutkan dengan pemandangan yang mengerikan. Mereka melihat Ningsih sedang memotong-motong tubuh suaminya hingga berkeping sambil tersenyum. Dialah perempuan yang telah menikahi iblis dan menjadi iblis.
Jogjakarta, 31 Januari 2013
Tentang Penulis:Dewi sekarang tinggal di Yogyakarta. Aktif di Dewan Teater Yogyakarta sebagai pemain. Editor beberapa buku antologi puisi dan novel. Sekarang sedang mengerjakan antologi puisi karyanya yang berjudul: “Tetirah yang Sempurna.”
Tentang Ilustator Lukisan:
Maidil selain sebagai perupa juga sebagai gitaris grup musik revolusioner asal Yogyakarta: Gestapu. Tema-tema lukisannya seputar kondisi sosial aktual.