Foto ini hanya ilustrasi, adalah gambar patung pahlawan Marilonga di Ende
Oleh: Marlin Bato
Jakarta, 6 Februari 2014
Selayang Pandang
Adalah serangkaian ceritera-ceritera rakyat yang diangkat berdasarkan jejak hidup sosok legenda-legenda suku Lio tentang riwayat kepahlawanan [raju ria]. Raju ria merupakan sari kata dalam bahasa Lio yang berarti tokoh pahlawan, tokoh yang mempunyai kesaktian, kharisma besar yang mempengharuhi khalayak ramai, dengan menggerakan kekuatan-kekuatan magis pendukungnya. Mereka mampu menciptakan friksi maupun diksi. Dengan kata lain; Kata-kata mereka adalah jurus paling mematikan melumpuhkan kekuatan seterunya, apalagi kekuatan fisiknya. Dibelahan dunia manapun, rangkaian cerita kepahlawanan kerap diabadikan melalui literatur-literatur tertulis sehingga sangat muda dipelajari. Namun di Lio, cerita-cerita ini sangat sulit sekali dipelajari sebab tradisi purba Lio mewariskan sejarah berdasarkan tuturan lisan.
Cerita raju ria suku bangsa Lio, bukan merupakan suatu rangkaian cerita yang tercipta secara kebetulan, melainkan melalui penghayatan yang tinggi terhadap segala bentuk peristiwa sejarah, simbol dan wujud-wujud transendens yang mampu menggerakan panca indera manusia untuk melakukan penghormatan, ujud syukur dan lain-lain. Di Indonesia, ada berbagai macam kisah kepahlawanan yang sangat tersohor misalnya La Galigo, Hang Tuah, Mahabharata, Ramayana, dan lain sebagainya. Di Lio pun ada pula kisah kepahlawanan yang memiliki nilai historis misalnya; kisah Sanggu Ratu Rabu & Nusa Telu, kisah Bajo Wawo, kisah Lise Tana Pire, kisah Nggaji Gabe, kisah Woda & Wangge, kisah Tani Senda, kisah Toda Wiwiria, juga figur Lio yang dipercaya sebagai pengasal dari suku bangsa Lio, dan masih banyak lagi kisah-kisah yang tidak teridentifikasi dalam artikel ini. Riwayat-riwayat ini kemudian di wiri secara lisan oleh masing-masing clan di tanah Lio sehingga secara berkesinambungan tetap lestari dari generasi ke generasi.
Era kekuasaan Hindia Belanda di tanah Lio, kisah raju ria [pahlawan] yang sangat terkenal adalah tentang ketokohan Marilonga, seorang pejuang masa penjajahan kolonial Belanda. Makna ketokohan beliau sangat menginspirasi masyarakat Lio secara khusus dan masyarakat Flores secara umum, sebab perjuangan beliau tidak hanya meliputi wilayah Lio melainkan mencapai tanah Ende, Sikka, bahkan Tana Rea [di Ngada]. Tokoh-tokoh inilah yang menjadi penegak pilar utama eksistensi masyarakat Lio menjadi manusia-manusia prestis dalam sejarah peradaban Lio. Marilonga adalah tokoh prestis yang dikenang sepanjang masa, bahkan mungkin namanya akan terus hidup seribu tahun lagi sebab dialah tokoh immortality paling agresif melawan kolonial Belanda. Pun di Ende hadir seorang tokoh pejuang Baranuri yang memimpin pertempuran melawan agresi Belanda pada tahun 1887-1891 di Ngalupulo, meski kemudian beliau berhasil ditangkap karena diperdaya oleh muslihat Belanda. Demikian pula memasuki prakemerdekaan pada tahun 1939, hadir pulah tokoh prestisius Raja Pius Rasi Wangge di Lio yang mencoba mengorganisir penduduk lokal untuk bertempur melawan Belanda setelah berkolaborasi dengan Jepang hingga akhirnya beliau dijebloskan di penjarah di Kupang.
Jati Diri Suku Bangsa Lio
Suku bangsa Lio, merupakan suku bangsa yang mengutamakan kehormatan. Demi untuk menjaga kehormatan clan [marga], leluhur, adat istiadat serta teritory [negeri-nya] mereka siap mengorbankan jiwanya, tanpa pamrih. Karena itu, klaim keakuan orang Lio sangat kontras mengamini jati diri orang Lio sebagai pahlawan bagi negerinya. Legenda dan mitos, juga religi dan ritus sudah diresapi sebagai kekuatan bahasa simbolik yang berubah ujud melampuai kekuatan logos [logika]. Legenda, mitos dan religi magi dan ritus adalah sebuah kepercayaan yang ada sejak berabad-abad yang lalu. Mereka percaya bahwa wujud keilahian senantiasa turun ke bumi dipersonifikasi melalui tubu musu berinkarnasi dalam pribadi manusia Lio dan melahirkan pria-pria perkasa. Orang-orang inilah yang menjadi pahlawan, sekaligus menjadi pemimpin bagi kaumnya. Karena jiwa suku bangsa Lio sudah sejak awal memiliki jiwa kepahlawanan, maka tidak mengherankan kolonial Belanda memberi predikat kepada orang Lio sebagai; "Land In Oorlog", artinya wilayah perang, sebab orang Lio bermental perang. Jika orang Belanda berperang demi materi, upeti dan lain-lain, sebaliknya orang Lio berperang demi kehormatan negerinya.
Suku Lio, adalah satu dari ribuan suku-suku di muka bumi memiliki banyak cerita-certia sejarah, legenda, hikayat, mitos maupun epos-epos yang di wiri melalui tuturan lisan dari generasi kegenerasi [mata sa pi-welu sa pi]. Kendati diturunkan melalui tuturan lisan, cerita-cerita tersebut mampu bertahan dan beradaptasi bersama jaman dari waktu-ke waktu. Suku Lio, mengungkapkan jati dirinya melalui interaksi dengan suku-suku lain. mereka mampu menetapkan identitas sosialnya dan menentukan batas antara kebiasaan-kebiasaan konservatif maupun kebiasaan terbarukan yang datang dari luar. Batas itu nampak oleh keterikatan adat yang dibangun diatas tata kerja, kekerabatan, juga hukum-hukum warisan lisan.
Jika meneropong dunia luar, terdapat beberapa kesamaan meski berbeda ritus. Kesamaan-kesamaan itu tampak nyata ketika melakukan berbagai ritual pemujaan seperti pemujaan terhadap wujud tertinggi yang dielaborasikan ditempat-tempat menjulang, puncak-puncak gunung yang diyakini sebagai persemayaman kekuatan Ilahi. Jika penduduk Jepang, percaya bahwa para dewa mereka bersemayam di Gunung Fuji atau Fujiyama, orang Yunani percaya bahwa dewa-dewa mereka bertahta di Gunung Olympus, sebaliknya suku bangsa Lio percaya bahwa wujud tertinggi yang mereka yakini bermukim di tempat-tempat tinggi seperti gunung Kelimutu sebagai tempat persemayaman para arwah, gunung Kelindota sebagai locus utama ibu Padi dan lain sebagainya. Demikian pula masyarakat Ngada, yang menetapkan legitimasi wujud tertingginya di puncak Inerie sebagai ibu Agung dalam legenda ibu yang bernama Roka. Jelas antara suku bangsa Lio dan Ngada mempunyai kesamaan pandangan bermula dari jejak-jejak hinduisme. [Paul Andt SVD]
Fondasi Ketokohan
Di Lio, fondasi ketokohan mula-mula dibangun melalui persahabatan dan kekerabatan. Ikatan persahabatan dan kekerabatan masyarakat Lio tergolong sangat kuat. Hal ini juga tercurah melalui perjanjian abadi yang dibangun atas fondasi kokoh adat istiadat yang disebut Tura Jaji. Dalam hubungan internal, orang Lio mengenal istilah: "Moke Gera Pebi - Uma Langi Duri", yang berarti persahabatan dibangun berdasarkan etika tata krama dengan batas-batas otority tertentu dan tidak boleh saling bermusuhan. Moke gera pebi menandakan persahabatan karib melalui minuman tradisional yang disebut tuak sebagai simbol tegur sapa harian. Sedangkan uma langi duri sebagai penanda tapal batas yang tidak boleh dilanggar. Disini lebih ditekankan saling menghargai satu sama lain dalam otoritas yang sama. Kemudian, ada fase menuju pematangan jati diri menjadi tokoh presitis yang cukup disegani dengan jargon-jargon yang tersemat sebagimana contoh yang melekat pada sosok Marilonga yang berbunyi: "Watu Mite Le'u Lowo - Ae Bere Iwa Sele", artinya beliau adalah sosok berpendirian teguh sekaligus mempunyai kekuatan spiritual tak tertanding.
Kemunculan figur-figur ketokohan di Lio dari generasi ke generasi selalu mempunyai jejak sejarah fantastis berbeda-beda di masing-masing zaman. Akan tetapi kelestarian sejarah legendaris para tokoh di Lio senantiasa bergerak dinamis dan dikenang melalui percikan-percikan spirit yang di wiri pada setiap generasi. Proses untuk mencapai tahap kematangan para tokoh [raju ria] tidak serta merta terjadi begitu saja, melainkan ada beberapa fase yang dilalui yaitu penempahan batin, pembelajaran moralitas, termasuk juga melalui upacara religiositas mopo. Upacara Mopo merupakan serangkaian getaran ibadah meminta kekuatan langit dan bumi agar mengurapi figur-figur yang dianggap pahlawan [raju ria]. Sehingga dapatlah disebut bahwa kekuatan spiritual raju ria [pahlawan] merupakan manifestasi sosok transendens melalui 'pengurapan ujud' [saka raju] kepada raju ria [pahlawan], sebagaimana kisah dewa-dewa di Yunani berbentuk wujud manusia. Atau kisah dewa-dewa Hindu kuno di negeri Hindustan..
Penutup
Setiap manusia, sejatinya adalah pahlwan bagi dirinya sendiri. Ia dapat menaklukan nasib melalui refleksi hidup, meluluhlantakan nurani yang dengki, picik, ketidakadilan dan lain sebagainya. Ia juga harus mempunyai keteguhan, ketekunan, kekokohan iman atas nilai kebenaran. Ketokohan seorang pahlawan tidak dibentuk dalam batu yang bisu, tapi dalam hati yang berkata jujur, rela mendengar, melindasi dimensi waktu yang berubah kreatif dalam ungkapan dan legenda, sebab ia adalah akar dari segala kebijaksanaan. Ketenangan seorang pahlawan, ibarat rembulan yang sungguh sejuk, penuntun jalan bagi kaum papa, realitas keharmonisan antara surga dan bumi. "Deus Revelatus Atque Absconditus", menampakan ketulusan pada sebuah harapan yang tak pernah mati dan selembar cinta kasih yang merangkul semua sebagai gambaran alamiah dan metafora hidup sang raju ria.
Oleh: Marlin Bato
Jakarta, 6 Februari 2014
Selayang Pandang
Adalah serangkaian ceritera-ceritera rakyat yang diangkat berdasarkan jejak hidup sosok legenda-legenda suku Lio tentang riwayat kepahlawanan [raju ria]. Raju ria merupakan sari kata dalam bahasa Lio yang berarti tokoh pahlawan, tokoh yang mempunyai kesaktian, kharisma besar yang mempengharuhi khalayak ramai, dengan menggerakan kekuatan-kekuatan magis pendukungnya. Mereka mampu menciptakan friksi maupun diksi. Dengan kata lain; Kata-kata mereka adalah jurus paling mematikan melumpuhkan kekuatan seterunya, apalagi kekuatan fisiknya. Dibelahan dunia manapun, rangkaian cerita kepahlawanan kerap diabadikan melalui literatur-literatur tertulis sehingga sangat muda dipelajari. Namun di Lio, cerita-cerita ini sangat sulit sekali dipelajari sebab tradisi purba Lio mewariskan sejarah berdasarkan tuturan lisan.
Cerita raju ria suku bangsa Lio, bukan merupakan suatu rangkaian cerita yang tercipta secara kebetulan, melainkan melalui penghayatan yang tinggi terhadap segala bentuk peristiwa sejarah, simbol dan wujud-wujud transendens yang mampu menggerakan panca indera manusia untuk melakukan penghormatan, ujud syukur dan lain-lain. Di Indonesia, ada berbagai macam kisah kepahlawanan yang sangat tersohor misalnya La Galigo, Hang Tuah, Mahabharata, Ramayana, dan lain sebagainya. Di Lio pun ada pula kisah kepahlawanan yang memiliki nilai historis misalnya; kisah Sanggu Ratu Rabu & Nusa Telu, kisah Bajo Wawo, kisah Lise Tana Pire, kisah Nggaji Gabe, kisah Woda & Wangge, kisah Tani Senda, kisah Toda Wiwiria, juga figur Lio yang dipercaya sebagai pengasal dari suku bangsa Lio, dan masih banyak lagi kisah-kisah yang tidak teridentifikasi dalam artikel ini. Riwayat-riwayat ini kemudian di wiri secara lisan oleh masing-masing clan di tanah Lio sehingga secara berkesinambungan tetap lestari dari generasi ke generasi.
Era kekuasaan Hindia Belanda di tanah Lio, kisah raju ria [pahlawan] yang sangat terkenal adalah tentang ketokohan Marilonga, seorang pejuang masa penjajahan kolonial Belanda. Makna ketokohan beliau sangat menginspirasi masyarakat Lio secara khusus dan masyarakat Flores secara umum, sebab perjuangan beliau tidak hanya meliputi wilayah Lio melainkan mencapai tanah Ende, Sikka, bahkan Tana Rea [di Ngada]. Tokoh-tokoh inilah yang menjadi penegak pilar utama eksistensi masyarakat Lio menjadi manusia-manusia prestis dalam sejarah peradaban Lio. Marilonga adalah tokoh prestis yang dikenang sepanjang masa, bahkan mungkin namanya akan terus hidup seribu tahun lagi sebab dialah tokoh immortality paling agresif melawan kolonial Belanda. Pun di Ende hadir seorang tokoh pejuang Baranuri yang memimpin pertempuran melawan agresi Belanda pada tahun 1887-1891 di Ngalupulo, meski kemudian beliau berhasil ditangkap karena diperdaya oleh muslihat Belanda. Demikian pula memasuki prakemerdekaan pada tahun 1939, hadir pulah tokoh prestisius Raja Pius Rasi Wangge di Lio yang mencoba mengorganisir penduduk lokal untuk bertempur melawan Belanda setelah berkolaborasi dengan Jepang hingga akhirnya beliau dijebloskan di penjarah di Kupang.
Jati Diri Suku Bangsa Lio
Suku bangsa Lio, merupakan suku bangsa yang mengutamakan kehormatan. Demi untuk menjaga kehormatan clan [marga], leluhur, adat istiadat serta teritory [negeri-nya] mereka siap mengorbankan jiwanya, tanpa pamrih. Karena itu, klaim keakuan orang Lio sangat kontras mengamini jati diri orang Lio sebagai pahlawan bagi negerinya. Legenda dan mitos, juga religi dan ritus sudah diresapi sebagai kekuatan bahasa simbolik yang berubah ujud melampuai kekuatan logos [logika]. Legenda, mitos dan religi magi dan ritus adalah sebuah kepercayaan yang ada sejak berabad-abad yang lalu. Mereka percaya bahwa wujud keilahian senantiasa turun ke bumi dipersonifikasi melalui tubu musu berinkarnasi dalam pribadi manusia Lio dan melahirkan pria-pria perkasa. Orang-orang inilah yang menjadi pahlawan, sekaligus menjadi pemimpin bagi kaumnya. Karena jiwa suku bangsa Lio sudah sejak awal memiliki jiwa kepahlawanan, maka tidak mengherankan kolonial Belanda memberi predikat kepada orang Lio sebagai; "Land In Oorlog", artinya wilayah perang, sebab orang Lio bermental perang. Jika orang Belanda berperang demi materi, upeti dan lain-lain, sebaliknya orang Lio berperang demi kehormatan negerinya.
Suku Lio, adalah satu dari ribuan suku-suku di muka bumi memiliki banyak cerita-certia sejarah, legenda, hikayat, mitos maupun epos-epos yang di wiri melalui tuturan lisan dari generasi kegenerasi [mata sa pi-welu sa pi]. Kendati diturunkan melalui tuturan lisan, cerita-cerita tersebut mampu bertahan dan beradaptasi bersama jaman dari waktu-ke waktu. Suku Lio, mengungkapkan jati dirinya melalui interaksi dengan suku-suku lain. mereka mampu menetapkan identitas sosialnya dan menentukan batas antara kebiasaan-kebiasaan konservatif maupun kebiasaan terbarukan yang datang dari luar. Batas itu nampak oleh keterikatan adat yang dibangun diatas tata kerja, kekerabatan, juga hukum-hukum warisan lisan.
Jika meneropong dunia luar, terdapat beberapa kesamaan meski berbeda ritus. Kesamaan-kesamaan itu tampak nyata ketika melakukan berbagai ritual pemujaan seperti pemujaan terhadap wujud tertinggi yang dielaborasikan ditempat-tempat menjulang, puncak-puncak gunung yang diyakini sebagai persemayaman kekuatan Ilahi. Jika penduduk Jepang, percaya bahwa para dewa mereka bersemayam di Gunung Fuji atau Fujiyama, orang Yunani percaya bahwa dewa-dewa mereka bertahta di Gunung Olympus, sebaliknya suku bangsa Lio percaya bahwa wujud tertinggi yang mereka yakini bermukim di tempat-tempat tinggi seperti gunung Kelimutu sebagai tempat persemayaman para arwah, gunung Kelindota sebagai locus utama ibu Padi dan lain sebagainya. Demikian pula masyarakat Ngada, yang menetapkan legitimasi wujud tertingginya di puncak Inerie sebagai ibu Agung dalam legenda ibu yang bernama Roka. Jelas antara suku bangsa Lio dan Ngada mempunyai kesamaan pandangan bermula dari jejak-jejak hinduisme. [Paul Andt SVD]
Fondasi Ketokohan
Di Lio, fondasi ketokohan mula-mula dibangun melalui persahabatan dan kekerabatan. Ikatan persahabatan dan kekerabatan masyarakat Lio tergolong sangat kuat. Hal ini juga tercurah melalui perjanjian abadi yang dibangun atas fondasi kokoh adat istiadat yang disebut Tura Jaji. Dalam hubungan internal, orang Lio mengenal istilah: "Moke Gera Pebi - Uma Langi Duri", yang berarti persahabatan dibangun berdasarkan etika tata krama dengan batas-batas otority tertentu dan tidak boleh saling bermusuhan. Moke gera pebi menandakan persahabatan karib melalui minuman tradisional yang disebut tuak sebagai simbol tegur sapa harian. Sedangkan uma langi duri sebagai penanda tapal batas yang tidak boleh dilanggar. Disini lebih ditekankan saling menghargai satu sama lain dalam otoritas yang sama. Kemudian, ada fase menuju pematangan jati diri menjadi tokoh presitis yang cukup disegani dengan jargon-jargon yang tersemat sebagimana contoh yang melekat pada sosok Marilonga yang berbunyi: "Watu Mite Le'u Lowo - Ae Bere Iwa Sele", artinya beliau adalah sosok berpendirian teguh sekaligus mempunyai kekuatan spiritual tak tertanding.
Kemunculan figur-figur ketokohan di Lio dari generasi ke generasi selalu mempunyai jejak sejarah fantastis berbeda-beda di masing-masing zaman. Akan tetapi kelestarian sejarah legendaris para tokoh di Lio senantiasa bergerak dinamis dan dikenang melalui percikan-percikan spirit yang di wiri pada setiap generasi. Proses untuk mencapai tahap kematangan para tokoh [raju ria] tidak serta merta terjadi begitu saja, melainkan ada beberapa fase yang dilalui yaitu penempahan batin, pembelajaran moralitas, termasuk juga melalui upacara religiositas mopo. Upacara Mopo merupakan serangkaian getaran ibadah meminta kekuatan langit dan bumi agar mengurapi figur-figur yang dianggap pahlawan [raju ria]. Sehingga dapatlah disebut bahwa kekuatan spiritual raju ria [pahlawan] merupakan manifestasi sosok transendens melalui 'pengurapan ujud' [saka raju] kepada raju ria [pahlawan], sebagaimana kisah dewa-dewa di Yunani berbentuk wujud manusia. Atau kisah dewa-dewa Hindu kuno di negeri Hindustan..
Penutup
Setiap manusia, sejatinya adalah pahlwan bagi dirinya sendiri. Ia dapat menaklukan nasib melalui refleksi hidup, meluluhlantakan nurani yang dengki, picik, ketidakadilan dan lain sebagainya. Ia juga harus mempunyai keteguhan, ketekunan, kekokohan iman atas nilai kebenaran. Ketokohan seorang pahlawan tidak dibentuk dalam batu yang bisu, tapi dalam hati yang berkata jujur, rela mendengar, melindasi dimensi waktu yang berubah kreatif dalam ungkapan dan legenda, sebab ia adalah akar dari segala kebijaksanaan. Ketenangan seorang pahlawan, ibarat rembulan yang sungguh sejuk, penuntun jalan bagi kaum papa, realitas keharmonisan antara surga dan bumi. "Deus Revelatus Atque Absconditus", menampakan ketulusan pada sebuah harapan yang tak pernah mati dan selembar cinta kasih yang merangkul semua sebagai gambaran alamiah dan metafora hidup sang raju ria.