Logo

Logo
Latest News
Monday, January 20, 2014

PRANATAMANGSA SUKU BANGSA LIO

                                                            Gambar hanya ilustrasi


Oleh: Marlin Bato
Jakarta, 20 Januari 2014

Pendahuluan,

Pola hidup tradisional manusia Lio untuk mengetahui neraca perkembangan iklim merupakan sebuah pengetahuan yang timbul sebagai respons terhadap gejala alam yang sejatinya dialami sebagai pengalaman dalam kehidupan. Berbagai sifat dan perubahan gejala alam sangat mempengaruhi perkembangan akal dan pemikiran setiap manusia dalam sejarah hidupnya. Melalui pengalaman hidup itulah, berbagai sifat dan perubahan gejala alam tersebut sangat muda kenali dan dipahami sehingga mereka dapat menyesuaikan dan mengatur pola kegiatan dalam kehidupannya untuk memperoleh manfaat dari alam demi kelangsungan hidupnya.

Pengetahuan mengenai alam sekitarnya meliputi berbagai pengetahuan seperti asal mula alam dan kehidupan, gejala-gejala alam, musim, dan perbintangan (astronomi). Dalam beberapa hal, pengetahuan tentang alam sekitarnya, seperti yang berkenaan dengan konsep asal mula alam dan kehidupan, gejala-gejala alam seperti terjadinya pelangi, gerhana dan gempa, sering bersinggungan dengan bidang pengetahuan religi (Koentjaraningrat, 1990:373).

Masyarakat Lio, pada tataran religiositas, senantiasa menaruh harapan hidupnya pada kekuatan magi serta menuruti ramalan-ramalan bintang, ramalan bulan, maupun gejalah alam lainnya. Konsep klasik seperti ini telah muncul sejak hadirnya beradaban Sumeria dan bertahan hingga kini. Di Lio, ada empat unsur dasar kehidupan manusia yaitu: Tanah, Api, Udara dan Air.

* Tanah - Tanah tau lita [Tanah untuk dipijak]
* Api - Api tau hara [Api untuk menghangatkan]
* Udara - Angi tau rupi ngai [Udara pemberi nafas]
* Air - Ae tau keta [Air untuk menyejukan]


Pada proses pembentukan awal bumi, manusia Lio meyakini adanya kekuasaan Maha Agung "Du'a Ngga'e" [Tuhan], menghadirkan empat unsur dasar yang kerap disebut dalam sastra-sastra Lio yaitu:

-Nebu Tana Baru Sa Paga : Sejak Ukuran Tanah/ Bumi baru sejengkal
-Nebu Liru Baru Sa Siku : Sejak Ukuran Langit/ Bumi Baru Se hasta
-Tana Tu’u-Watu Maja : Tanah dan Batu masih mengering
-Unga Sula : Uap muncul
-Nu Nai : Asap Naik
-Rubu Nu : Awan Mengepul
-Angi Mai : Muncullah angin
-Uja Poa : Turunnya Hujan


Unsur dasar ini kemudian menjadi pedoman yang disempurnakan pula melalui ilmu-ilmu falak [perbintangan] yaitu gejalah-gejalah semesta atau perilaku benda-benda langit sebab keyakinan akan fenomena alam semesta sangat terkait erat lewat perkawinan cosmic langit dan bumi. Keyakinan ini timbul melalui pendarasan butir-butir doa seperti yang terungkap; "Du'a Lulu Wula Wa'u No'o Tangi Su'a Teda Lima Rua - Ngga'e Wena Tana Nai No'o Tangi Gela Teda Tere'esa". Oleh sebab itu, terdapat pula berbagai macam gejalah alam dalam sebutan mitos-mitos Lio misalnya: Nipamoa, Wula ja ji'e, Wula Kera, Wula Mata, Leja Mata, Wunu Wawi Toro, Tegu Nggu dan lain sebagainya tidak terlepas dari adanya hubungan vertikal cosmic langit dan bumi.

Pandangan Primal Masyarakat Lio Tentang Fenomena Alam Semesta

Masyarakat Lio yang hidup di enklav-enklav persekutuan tanah Lio cenderung menerapkan konsep religi magi dalam melihat fenomena-fenomena yang terjadi di alam dan semesta, sebab hal ini menjadi inti terpadu kelangsungan hidup dari generasi ke generasi. Mereka mampu bertahan hidup diatas kemurahan alam yang didalamnya tercipta sebuah dialektika dan penyatuan [inkarnasi] secara kosmic. Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa ada tujuh unsur yang menjelma dalam tiga wujud kebudayaan. Sebagai contoh Koentjaraningrat menjelaskan bahwa sistem religi dapat dibagi menjadi tiga wujud kebudayaan.

Dalam wujud kebudayaan yang pertama atau ide atau gagasan, sistem religi memiliki gagasan tentang Tuhan, dewa-dewi, roh-roh halus, surga dan neraka, reinkarnasi, dan sebagainya. Lalu sebagai wujud kebudayaan yang kedua atau sistem sosial, sistem religi juga mempunyai pola-pola aktifitas atau tindakan seperti upacara atau ritual, baik yang diadakan musiman atau setiap hari. Kemudian sistem religi juga mempunyai benda-benda yang dianggap suci, sakral, atau religius sebagai bentuk wujud kebudayaan ketiga yaitu kebudayaan fisik atau artefak. Pandangan Koentjaraningrat ini menggarisbawahi unsur-unsur sebagaimana tercurah dalam ritual-ritual magi budaya Lio. [Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I].

Polarisasi budaya Lio menggambarkan dunia primal asli sebagai satu kesatuan homogen yang utuh, yang terdapat dalam tata ekonomi-agraris, tata kerabatan sosial, serta kepercayaan terhadap Yang Ilahi terpadu dalam kesatuan jaringan sosio-budaya yang sulit terpisahkan. Oleh sebab itu fenomena alam semesta secara otomatis terintegral menjadi garis linier bersamaan dengan tata perladangan suku Lio sehingga ketergantungan manusia Lio cukup erat dengan kondisi alam dimana ia berhabit.

Orang Lio memandang segala sesuatu yang muncul di muka bumi merupakan efek transendens yang terjadi bukan secara kebetulan, melainkan ada kekuatan lain yang mengatur alam semesta yaitu kekuatan yang datang dari Tuhan Maha Kuasa sejak semula bumi diciptakan, seperti ungkapan dalam manik-manik sastra Lio yang berbunyi : "Ema Du’a Ra'i Nebu Liru Ngendo Mesi Deso - Bapa Ilahi sudah lebih dahulu ada di saat langit terbuka, air laut turun". Pandangan masyarakat Lio ini sudah hidup jauh sebelum masuknya pengaruh Brahmanisme di bumi Nusantara. Sebab pandangan sifat-sifat keilahian Du'a Ngga'e telah ada ketika suku Lio berkontak dengan suku purba, India Muka pada masa ekspansi bangsa Aria. [Paul Arndt SVD - Du'a Ngga'e Wujud Tertinggi Masyarakat Lio].

Sistem Penanggalan Masyarakat Lio

Masyarakat Lio adalah masyarakat agraris yang hidup tersebar di jantung Nusa Nipa [Di tengah-tengah Pulau Flores]. Mereka hidup menantang dalam topografi yang ganas dilereng-lereng bukit, lembah-lembah dan ngarai-ngarai terisolir yang sangat sulit terjangkau oleh peradaban luar. Masyarakat Lio baru bersinggungan dengan peradaban luar ketika terjadi pembukaan isolasi fisik yang ditandai dengan pembukaan jalur protokol jalan lintas Flores tahun 1915-1925 oleh Hindia Belanda. [Paul Arndt SVD]. Kendati demikian, pembukaan isolasi fisik tersebut tidak serta merta mempengaruhi kecenderungan hidup mereka untuk bermigrasi dari tanah-tanah terjal, lereng-lereng bukit, lembah-lembah lalu menetap didataran terbuka, justru sebaliknya mereka tetap berhabit meski dengan kondisi topografi yang ganas, sehingga tidak dapat dipungkiri hal ini membentuk karakter mereka sebagai pekerja-pekerja tulen yang mampu bertahan di segala iklim maupun musim.

Untuk memenuhi kebutuhan primer demi bertahan hidup, suku bangsa Lio mengenal tata berladang warisan leluhur yang dipengaruhi oleh religi dan magi. Kegiatan-kegiatan ini dilakukan secara terus menerus dengan takdir keganasan geografi. Namun demikian, mereka menyadari bahwa keberadaan kolektif menjadikan mereka berhimpun dalam sebuah ikatan emosional suku bangsa Lio yang saling terkait dari unit-unit sosial terkecil yang membentuk tanah persekutuan dengan hak ulayat di masing-masing teritory, sehingga timbul kepatuhan fondasi tata berladang yang dirasionalisasikan dalam upacara-upacara tata berladang.

Dalam penerapan konsep tata berladang [pertanian], masyarakat suku bangsa Lio mengenal sistem penanggalan adat dengan penetapan perhitungan bulan yang dimulai dengan ritual Ka Po'o [Po'o Bhoro]. Ritual Ka Po'o [Po'o Bhoro] adalah ritual pemurnian tanah menjelang musim tanam tiba. Ritual Ka Po'o menjelang musim tanam adalah penanggalan tahun baru bagi petani Lio yang biasanya dimulai pada bulan September. Siklus ini terjadi terus-menerus berpusar pada orbit bintang Pleiades. Berikut ini nama-nama bulan dan urutan waktu dalam bahasa Lio:

- Wula Mapa & Wula Mapa More : Bulan September & Oktober  [Pemurnian alam]Di bulan ini masyarakat Lio masing-masing diberbagai wilayah persekutuan melakukan ritual pemurnian tanah garapan seperti: Upacara Ka Po'o di Mbuli, Upacara Po'o Bhoro di Lise, Upacara Po'o Api Te'u di wilayah Kunemara dan masih banyak ritual lainnya yang belum teridentifikasi dalam artikel ini. Tujuan ritual-ritual ini semata-mata hanya untuk pemurnian tanah, tolak bala sekaligus media koherensi wujud tertinggi Du'a Lulu Wula - Ngga'e Wena Tana melalui perkawinan cosmic, sebab prinsip kejantanan Du'a atau Bapa di langit merupakan partner lekat dengan prinsip feminimisme Ngga'e  sebagai Ibu bumi yang disebut pertiwi. Pada peristiwa inilah, masyarakat Lio menerapkan tanda larangan yang disebut; pire [pantangan] selama satu minggu penuh.

- Wula More & Wula Duru : Bulan November & Desember [Musim Tanam]
Pada bulan ini, dilakukan upacara gewu wini sebelum menanam untuk mengundang daya magi protektif demi menjauhkannya dari segala macam hama tanaman.

- Wula Beke Ria & Beke Lo'o : Bulan Januari & Februari  [Musim Tanam Selesai]
Setelah melalui musim tanam, masyarakat Lio menyiangi ladang, menyanyikan syair-syair tentang ibu padi dan peristiwa-peristiwa pembunuhan ibu padi. Pada bulan februari, masyarakat mulai memetik sayur-mayur dan jagung untuk dikonsumsi.

- Wula Fowo : Bulan Maret [Musim Wabah Penyakit]
Di bulan maret, adalah masa tenang, masa dimana masyarakat Lio melakukan ritual "pesa uta [nggua uta]" untuk menghalalkan sayur dan jagung yang dipetik agar bisa dikonsumsi.

- Wula Balu Re'e & Balu Ji'e : Bulan April & Mei
Bulan april menjelang masa panen, masa yang memberi harapan, dan padi pun mulai menguning. Namun pada bulan ini masyarakat dihantui wabah penyakit yang akan menjadi momok menyeramkan. Kendati demikian, masyarakat sedikit legah ketika memasuki bulan mei sebab wabah penyakit telah berkurang sehingga mereka melakukan ritual 'ka poka' untuk menghalalkan kegiatan panen padi.

- Wula Base & Base Ae  : Bulan Juni & Juli
Masyarakat Lio mulai secara serentak memanen padi dan melakukan upacara 'Mi Are'. untuk menghalalkan padi agar bisa dimakan.

- Wula Base Gega : Bulan Agustus
Musim kemarau namun pohon randu [kapuk] mulai berbunga dan  merekah yang diasosiasikan sebagai musim kematangan muda-mudi. Fenomena ini disebut iklim pancaroba dalam tradisi masyarakat Lio.

Fenomena Benda Langit

P. Sareng Orinbao mengungkapkan, dalam hubungan dengan tata berladang, ada kategori manusia dianggap mempunyai kekuatan magi antara lain para dukun dan pawang. Sejatinya, mereka inilah yang mempunyai kemampuan dan pengetahuan khusus untuk mengusut gejala alam juga gejala benda-benda langit. Karena itu terdapat pula gejalah-gejalah alam semesta yang menjadi acuan masyarakat Lio untuk beraktivitas, misalnya:

* Lowo Liru,
Adalah gugusan galaksi bima sakti yang diyakini oleh masyarakat Lio sebagai pertanda kecukupan curah hujan.

* Noa Pai
adalah arwah langit yang diyakini sebagai pengatur cuaca dan segala kejadian di atmosfer, diantaranya; bulan, bintang, angin, awan, guntur, kilat, dan hujan. Karena itu "Noa Pai" juga dapat mendatangkan bencana.

* Nipa Moa
adalah ular langit [pelangi] yang diartikan phalus [kelamin laki-laki] sebaga kekuatan seksual langit untuk menyuburi bumi. Karena itu, pelangi merupakan sebuah fenomena yang pertanda baik.

* Leja Mata
adalah fenomena gerhana matahari yang diartikan sebagai pertanda buruk.

* Wula Mata
adalah fenomena gerhana bulan yang juga dapat diartikan sebagai pertanda buruk. Karena itu, jika terjadi fenomena ini, masyarakat Lio lekas membuat kegaduhan dengan cara memukul benda apa saja sekeras mungkin.

* Wunu Wawi Toro
Wunu dan wawi toro adalah kedua benda langit atau bintang yang berbeda, yang pertanda baik juga pertanda buruk. Kedua bintang ini oleh masyarakat Lio dianggap bersuami istri. Dalam bahasa ilmiah, wunu disebut juga bintang Pleiades yang terang benderang terletak di rasi bintang taurus dalam gugusan kartika sedangkan wawi toro disebut bintang antares, bintang super raksasa merah yang paling terang, terletak di gugusan scorpio dalam bima sakti.

Kesimpulan

Di banyak negara seperti benua Eropa, Amerika dan Afrika, dalam hal ini juga di wilayah Lio, musim pertanian dimulai ketika muncul bintang Pleiades. Beberapa kalender peradaban kuno dan dunia baru juga diatur melalui Pleiades. Masyarakat Lio, mengawalinya dengan melaksanakan ritual-ritual menjelang musim tanam sebagai pemulaan perhitungan tahun baru. Selama jaman kuno, sebelum umat manusia hidup berkoloni dan sebelum adanya tata tulis dimuka bumi, pengetahuan tentang perubahan posisi bulan, matahari dan objek langit sangatlah berguna. Hal tersebut digunakan untuk memprediksi perubahan musim, menentukan cara hidup, sebagai tuntunan kepercayaan atas dewa-dewa.

Kebudayaan Lio, seperti kebudayaan-kebudayaan lain di muka bumi merupakan kebudayaan yang dibentuk melalui imajinasi kreatif dalam kesunyian fajar penuh harapan, yang melekat dibawah akar rumput melalui ritus credo warisan bijaksana religius para leluhur, yang terus mengikuti alur hidup transendens ibarat matahari terbit, sejak semula hingga akhir jaman. Manusia Lio telah menciptakan kebudayaan luhur, religius, meskipun pada kekinian berangsur rapuh oleh degradasi moral akibat kultur modern, karena generasi-generasi kini tidak lagi memaknai nilai budaya Lio sebagai jati diri. Namun fajar harapan budaya Lio itu tetap kokoh ibarat pejuang yang tertindas dalam gempuran inkuturasi budaya-budaya yang datang silih berganti.

Penutup

Sepenggal kalimat bijak,
Akar suatu kebudayaan ialah paradigma dasar. Paradigma dasar tersebut tidak nampak namun memberi hidup, bentuk, makna serta keseluruhannya. Batang suatu kebudayaan adalah simbol-simbol dominan, kelihatan, berpengaruh, dan dapat melengkung dalam deru angin tanpa patah atau berubah secara mendadak. Daun dan dahan suatu kebudayaan ialah pola tingkah laku sehar-hari yang bervariasi dari generasi ke generasi. [Victor Turner]

Simogemi - Terimakasih
  • Facebook Comments
Item Reviewed: PRANATAMANGSA SUKU BANGSA LIO Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi