[bertolak dari metode Na'u Nua]
Oleh: Marlin Bato
Jakarta, 24/07/2013
Gambar ini hanya ilustrasi, adalah contoh Kuwu di kampung Nua Bhari
Tipologi masyarakat suku Lio adalah masyarakat yang hidup dengan harkat dan martabat yang tinggi. Hal itu dapat terlihat dari konsep-konsep spiritualitas dan religi magi yang direalisasikan melalui model interaksi sosial kekerabatan warisan leluhur, sehingga setiap individu masyarakat Lio selalu mengedepankan corak dan pola hidup yang berpedoman pada dogma dan akar budaya Lio yang diajarkan oleh para leluhur. Masyarakat suku Lio sejak dulu tidak memandang hidup itu hanya suatu kebetulan, melainkan ada keterkaitan dan keterikatan antara manusia dengan sesama juga manusia dengan wujud tertinggi yang dipersonifikasikan melalui gejala atau fenomena alam dan lingkungan sekitar. Standar utama dalam hidup masyarakat suku Lio tidak terletak pada keberhasilan bertahan hidup, tetapi juga keberhasilan memenuhi kebutuhan siraman rohani dalam setiap ritus - ritus adat.
Siraman rohani menurut pandangan penulis, adalah metode "Na'u Nua" [petuah dan nasihat] dari sesepuh kampung, merupakan konsep sederhana "Lika Moke Fara Api" [perbincangan seputar peristiwa-peristiwa penting maupun perbincangan ringan tentang perilaku masyarakat atau keluarga yang hidup koloni di wilayah (kampung) clan/sub suku tersebut]. Lika Moke fara Api juga merupakan penyebutan khiasan nomenklatur yang dapat terjadi dimana saja. Metode "Na'u Nua" ini, biasanya dilakukan oleh masyarakat Lio di dalam Kuwu [pondok]. Kuwu dalam tradsi lokal masyarakat Lio adalah tempat berkumpul para orang-tua/tokoh masyarakat juga kaum muda untuk membicarakan masalah-masalah penting dalam kampung. Pastor Paul Arndt SVD ethnolog pionir kebangsaan Polandia [dahulu: wilayah Jerman] dalam kamus Lio - Jerman menjabarkan definisi dari kuwu secara detail diantaranya:
* Kuwu Ria adalah rumah permenungan generasi muda pencipta yang kreatif, terhormat namun juga mempunyai nalar yang bijaksana sejati.
* Kuwu Lo'o adalah bagian klasifikasi ruang bagi kaum pria maupun wanita
* Kuwu Lewa adalah tempat untuk memasak daging
* Kuwu Nasu adalah tempat pemanasan/penghangatan bahan makanan
* Kuwu Moke merupakan tempat penyulingan arak
* Kuwu Bhaku adalah rumah arwa
* Kuwu Jopo adalah rumah hunian
* Kuwu Lepa Jawa adalah jenis pondok yang beratap lurus
* Kuwu Mbe'i adalah pondok untuk beristiharat
Dari penjelasan ringkas oleh Paul Arndt tersebut diatas, penulis menangkap siratan daya imajinasi yang luar biasa bahwa ditempat inilah munculnya inspirasi bagi generasi muda yang mengalir laksana air sehingga dapat memasuki permenungan ruang batin untuk menghasilkan pikiran-pikiran bernas. Oleh karena itu, menurut pandangan penulis, tempat ini merupakan media awal proses pembentukan pemimpin-pemimpin adat yang berwibawah, adil dan bijaksana. Atau boleh juga dikatakan sebagai laboratorium dan pusat ilmu pengetahuan bagi masyarakat suku Lio dari sesepuh-sesepuh adat, maka terjadilah proses "Na'u Nua" yang telah diwariskan secara turun temurun. Selain itu, Kuwu juga merupakan tempat untuk beristirahat, tidur, hiburan, dan tempat persemayaman jasad serta roh para leluhur [House of Dead]. Artinya ada proses dimana terjadi penyatuan antara manusia yang hidup dan mati atau dalam bahasa Lio disebut; "Embu Mamo Meli". Sebab itu, menjadi sangat wajar jika penurunan cerita-cerita sejarah tentang peradaban Lio dapat diwariskan dengan tuturan lisan tanpa literatur tertulis. Ini merupakan salah satu fenomena yang sulit terjadi ditempat lain.
Metode Na'u Nua tersebut telah hidup dan menjadi cara masyarakat Lio berinteraksi antara satu dengan yang lain. Tak ada sekat dan perbedaan ketika terjadi interaksi di dalam kuwu tersebut. Biasanya, interaksi di kuwu ini dibarengi juga dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat menghangatkan badan dengan membakar api unggun di waktu pagi maupun malam hari apabila iklim dikampung itu sedang dingin, atau ketika musim tanam telah berlalu, sehingga di waktu senggang masyarakat Lio mengisi ruang batin mereka dengan hiburan-hiburan sekenahnya sambil membakar pisang, talas, ubi dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, pola-pola seperti ini disebut juga "Lika Moke Fara Api", yang menjadi taraf kehidupan dasar pembentukan karakter [character building] pada generasi-generasi selanjutnya agar menjadi patuh pada nilai luhur dan kearifan lokalnya. Pada peristiwa "Lika Moke Fara Api" ini, untuk sekedar makan minum, biasanya anak-anak muda selalu mengambil dari rumah-rumah [dalam bahasa Lio disebut 'Lo - Pati'] seperti yang kerap terjadi di kampung Likanaka-Wolowaru. Kebiasaan masyarakat Likanaka-Wolowaru ini dapat dilustrasikan misalnya: Keluarga Embu Ngera menanggung ubikayu, keluarga Embu Mali menanggung ikan, keluarga ana Mbete menanggung talas, keluarga ana Senda menanggung ubi jalar, dan seterusnya. Setelah itu, semua sama-sama mengkonsumsinya sambil berbincang. [narasumber : Lionis Herman]
Jika dikomparasikan, penulis berhipotesis bahwa metode Na'u Nua dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masyarakat suku Lio dalam kuwu melalui Lika Moke Fara Api ini dapat dianalogikan merupakan suatu proses yang tidak jauh berbeda terjadi pula dalam diri filsuf-filsuf Yunani kuno seperti Plato, Aristoteles, Emanuel Kant dan sebagainya, sebab melalui konsep permenungan seperti ini setiap manusia mampu meretas daya nalar dan mampu menemukan visi [dream] yang sulit dijangkau oleh akal sehat. Hipotesis ini muncul lantaran pada masa abad ke-7 SM di negeri Yunani telah terjadi sebuah tradisi tidak lazim yang disebut Agora dimana agora merupakan tempat pertukaran informasi dan pertemuan terbuka bagi orang-orang yang merdeka terhadap Raja atau Dewan.
Di negeri Yunani, agora ditemukan sejak abad ke-7 SM adalah kebudayaan mimbar bebas sehingga bangsa Yunani dibiasakan untuk berpikir bebas dan berpendapat terbuka, bahkan dilakukan di hadapan Raja. Peristiwa-peristiwa pembangkangan seperti ini juga kerap terjadi di wilayah Lio terhadap balatentara Gowa, Bima, Portugis dan juga kolonial Belanda pada masa penjajahan. Oleh karena sikap pembangkangan masyarakat suku Lio itulah sehingga kolonial Belanda baru berhasil menahklukan wilayah Lio pada tahun 1907 sekaligus menstigmakan wilayah Lio sebagai "Land Is Orloog" yang berarti Wilayah Perang [Tanah Peperangan].
TABE PAWE, SEMOGA BERMANFAAT. SIMOGEMI---
Oleh: Marlin Bato
Jakarta, 24/07/2013
Gambar ini hanya ilustrasi, adalah contoh Kuwu di kampung Nua Bhari
Tipologi masyarakat suku Lio adalah masyarakat yang hidup dengan harkat dan martabat yang tinggi. Hal itu dapat terlihat dari konsep-konsep spiritualitas dan religi magi yang direalisasikan melalui model interaksi sosial kekerabatan warisan leluhur, sehingga setiap individu masyarakat Lio selalu mengedepankan corak dan pola hidup yang berpedoman pada dogma dan akar budaya Lio yang diajarkan oleh para leluhur. Masyarakat suku Lio sejak dulu tidak memandang hidup itu hanya suatu kebetulan, melainkan ada keterkaitan dan keterikatan antara manusia dengan sesama juga manusia dengan wujud tertinggi yang dipersonifikasikan melalui gejala atau fenomena alam dan lingkungan sekitar. Standar utama dalam hidup masyarakat suku Lio tidak terletak pada keberhasilan bertahan hidup, tetapi juga keberhasilan memenuhi kebutuhan siraman rohani dalam setiap ritus - ritus adat.
Siraman rohani menurut pandangan penulis, adalah metode "Na'u Nua" [petuah dan nasihat] dari sesepuh kampung, merupakan konsep sederhana "Lika Moke Fara Api" [perbincangan seputar peristiwa-peristiwa penting maupun perbincangan ringan tentang perilaku masyarakat atau keluarga yang hidup koloni di wilayah (kampung) clan/sub suku tersebut]. Lika Moke fara Api juga merupakan penyebutan khiasan nomenklatur yang dapat terjadi dimana saja. Metode "Na'u Nua" ini, biasanya dilakukan oleh masyarakat Lio di dalam Kuwu [pondok]. Kuwu dalam tradsi lokal masyarakat Lio adalah tempat berkumpul para orang-tua/tokoh masyarakat juga kaum muda untuk membicarakan masalah-masalah penting dalam kampung. Pastor Paul Arndt SVD ethnolog pionir kebangsaan Polandia [dahulu: wilayah Jerman] dalam kamus Lio - Jerman menjabarkan definisi dari kuwu secara detail diantaranya:
* Kuwu Ria adalah rumah permenungan generasi muda pencipta yang kreatif, terhormat namun juga mempunyai nalar yang bijaksana sejati.
* Kuwu Lo'o adalah bagian klasifikasi ruang bagi kaum pria maupun wanita
* Kuwu Lewa adalah tempat untuk memasak daging
* Kuwu Nasu adalah tempat pemanasan/penghangatan bahan makanan
* Kuwu Moke merupakan tempat penyulingan arak
* Kuwu Bhaku adalah rumah arwa
* Kuwu Jopo adalah rumah hunian
* Kuwu Lepa Jawa adalah jenis pondok yang beratap lurus
* Kuwu Mbe'i adalah pondok untuk beristiharat
Dari penjelasan ringkas oleh Paul Arndt tersebut diatas, penulis menangkap siratan daya imajinasi yang luar biasa bahwa ditempat inilah munculnya inspirasi bagi generasi muda yang mengalir laksana air sehingga dapat memasuki permenungan ruang batin untuk menghasilkan pikiran-pikiran bernas. Oleh karena itu, menurut pandangan penulis, tempat ini merupakan media awal proses pembentukan pemimpin-pemimpin adat yang berwibawah, adil dan bijaksana. Atau boleh juga dikatakan sebagai laboratorium dan pusat ilmu pengetahuan bagi masyarakat suku Lio dari sesepuh-sesepuh adat, maka terjadilah proses "Na'u Nua" yang telah diwariskan secara turun temurun. Selain itu, Kuwu juga merupakan tempat untuk beristirahat, tidur, hiburan, dan tempat persemayaman jasad serta roh para leluhur [House of Dead]. Artinya ada proses dimana terjadi penyatuan antara manusia yang hidup dan mati atau dalam bahasa Lio disebut; "Embu Mamo Meli". Sebab itu, menjadi sangat wajar jika penurunan cerita-cerita sejarah tentang peradaban Lio dapat diwariskan dengan tuturan lisan tanpa literatur tertulis. Ini merupakan salah satu fenomena yang sulit terjadi ditempat lain.
Metode Na'u Nua tersebut telah hidup dan menjadi cara masyarakat Lio berinteraksi antara satu dengan yang lain. Tak ada sekat dan perbedaan ketika terjadi interaksi di dalam kuwu tersebut. Biasanya, interaksi di kuwu ini dibarengi juga dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat menghangatkan badan dengan membakar api unggun di waktu pagi maupun malam hari apabila iklim dikampung itu sedang dingin, atau ketika musim tanam telah berlalu, sehingga di waktu senggang masyarakat Lio mengisi ruang batin mereka dengan hiburan-hiburan sekenahnya sambil membakar pisang, talas, ubi dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, pola-pola seperti ini disebut juga "Lika Moke Fara Api", yang menjadi taraf kehidupan dasar pembentukan karakter [character building] pada generasi-generasi selanjutnya agar menjadi patuh pada nilai luhur dan kearifan lokalnya. Pada peristiwa "Lika Moke Fara Api" ini, untuk sekedar makan minum, biasanya anak-anak muda selalu mengambil dari rumah-rumah [dalam bahasa Lio disebut 'Lo - Pati'] seperti yang kerap terjadi di kampung Likanaka-Wolowaru. Kebiasaan masyarakat Likanaka-Wolowaru ini dapat dilustrasikan misalnya: Keluarga Embu Ngera menanggung ubikayu, keluarga Embu Mali menanggung ikan, keluarga ana Mbete menanggung talas, keluarga ana Senda menanggung ubi jalar, dan seterusnya. Setelah itu, semua sama-sama mengkonsumsinya sambil berbincang. [narasumber : Lionis Herman]
Jika dikomparasikan, penulis berhipotesis bahwa metode Na'u Nua dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masyarakat suku Lio dalam kuwu melalui Lika Moke Fara Api ini dapat dianalogikan merupakan suatu proses yang tidak jauh berbeda terjadi pula dalam diri filsuf-filsuf Yunani kuno seperti Plato, Aristoteles, Emanuel Kant dan sebagainya, sebab melalui konsep permenungan seperti ini setiap manusia mampu meretas daya nalar dan mampu menemukan visi [dream] yang sulit dijangkau oleh akal sehat. Hipotesis ini muncul lantaran pada masa abad ke-7 SM di negeri Yunani telah terjadi sebuah tradisi tidak lazim yang disebut Agora dimana agora merupakan tempat pertukaran informasi dan pertemuan terbuka bagi orang-orang yang merdeka terhadap Raja atau Dewan.
Di negeri Yunani, agora ditemukan sejak abad ke-7 SM adalah kebudayaan mimbar bebas sehingga bangsa Yunani dibiasakan untuk berpikir bebas dan berpendapat terbuka, bahkan dilakukan di hadapan Raja. Peristiwa-peristiwa pembangkangan seperti ini juga kerap terjadi di wilayah Lio terhadap balatentara Gowa, Bima, Portugis dan juga kolonial Belanda pada masa penjajahan. Oleh karena sikap pembangkangan masyarakat suku Lio itulah sehingga kolonial Belanda baru berhasil menahklukan wilayah Lio pada tahun 1907 sekaligus menstigmakan wilayah Lio sebagai "Land Is Orloog" yang berarti Wilayah Perang [Tanah Peperangan].
TABE PAWE, SEMOGA BERMANFAAT. SIMOGEMI---