Oleh: Marlin Bato
Jakarta, 2 Agustus 2013
Ada berbagai macam jenis kain tenun masyarakat suku Lio yaitu: Sarung pria disebut Ragi sedangkan sarung wanita disebut lawo, selendang/luka semba dan lain sebagainya. Menurut cerita-cerita lisan orang-orang tua dikampung, banyak khazana budaya yang belum tersingkap terkait tenun dan kerajinan tangan seperti tikar, topi, tas dan lain-lain. Adalah cerita retrospektif tentang tenun bahwa pada mulanya manusia Lio hanya mengenal kulit kayu sebagai pakaian (alat pembalut tubuh) di jaman dahulu kala. Kendati demikian, kita yang hidup di jaman modern seperti ini harus bersyukur sebab perkembangan peradaban Lio terus bergeliat sangat signifikan sejak nenek moyang suku Lio menemukan pola menenun tradisional, mengolah dan mengembangkan sumber daya alam menjadi kain tenun seperti yang dikenal sekarang ini sebagai pengganti kulit kayu. Tentu, semua itu tidak terlepas oleh masuknya pengaruh inkulturasi budaya luar. Sejatinya proses budaya menenun ini telah muncul diberbagai belahan dunia sejak 5000 tahun sebelum masehi.
Dari literatur - literatur sejarah, diketahui sesungguhnya kerajinan tenun ini telah muncul jauh sebelum jaman batu yaitu kain tenun wol pada jaman perunggu di Eropa Utara. Sedangkan kain tenun sutra produk bangsa Cina, dikenal jauh sebelum tahun 500 SM. Adapun negara-negara yang pertama kali menghasilkan kain tenun adalah Cina, India, Mesir. Di Indonesia, kain tenun dikenal sejak masa Neolitichum tahun 2000 masehi, dibawa orang Asia Tenggara ke berbagai wilayah kepulauan Nusantara termasuk suku Lio di pulau Flores. Itu artinya, ketika menguraikan benang merah berdasarkan literatur tersebut, dapat disinyalir bahwa masyarakat Lio sudah mengenal pola menenun setelah masuknya inkulturasi budaya luar pada kisaran tahun 2000 masehi bersamaan dengan masuknya pengaruh brahmanisme dan hinduisme oleh suku-suku India Muka di wilayah Lio. [bdk. hipotesis P. Paul Arndt SVD]
Gadis-gadis keturunan Tionghoa pun tertarik mengenakan tenun khas Lio
Pada hakikatnya, eksistensi kain tenun dalam tradisi masyarakat Lio bukan semata untuk estetika, status sosial, pelindung tubuh dari pengaruh alam, tetapi juga telah berkembang dan berevolusi yang diapresiakan oleh suatu sistem tradisi, yaitu simbol khusus bagi masyarakat Lio sebagai pranata sosialnya.
Simbol-simbol tersebut dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Lio sejak dikenalnya kain tenun tradisional, baik dalam hubungan secara vertikal maupun horisontal, dan selalu dikaitkan dengan pelaksanaan konsep sosio religi, seperti busana adat, upacara adat, alat tukar menukar, hadiah dan lain-lainnya. Di Lio kain tenun memiliki simbol yang sangat erat dengan kaum perempuan, sebab proses pembuatan tenun tersebut dilakukan secara khusus oleh kaum perempuan.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, kain tenun Lio memiliki beberapa bentuk corak sebagai simbol untuk busana adat/religi dan nilai magis pada ritual-ritual khusus keagamaan juga ritual kematian dan lain-lain. Jika dalam ritual keagamaan tenun Lio dikenakan dalam upacara adat semisal Joka Ju, Mbama, Po'o Te'u, Ka Pena dan lain sebagainya, berbeda dengan upacara kematian. Dalam upacara kematian, kain tenun kerap digunakan untuk ROKO. Roko adalah proses "pake sare hando nago" atau mengenakan dan memperindah jasad orang-orang yang sudah meninggal menggunakan kain tenun terbaik, lelaki maupun perempuan. Hal itu dilakukan sebagai upaya terakhir menghormati orang mati agar ketika menghadap sang khalik orang yang sudah mati tersebut telah mempersiapkan dirinya dalam keadaan mulia dan bersahaja.
Kain tenun yang kerap di temui di wilayah Lio adalah:
1. Ragi
Ragi adalah kain tenun pria dalam bentuk sarung. Warna ragi cenderung di dominasi oleh warna hitam yang ditambahkan pula dengan sentuhan garis melingkar berwarna biru, kuning, ungu, putih juga warna hijau. Warna hitam bagi suku Lio melambangkan keanggunan, kemakmuran, percaya diri, kuat dan ketegasan. Karena itu warna hitam adalah simbol kekuasaan dan ketangguhan. Warna biru adalah warna universal bagi suku Lio dipercaya merupakan kejernihan pikiran dan komunikasi, dapat mempengaruhi dan menenangkan roh sehingga dapat terilhami pada ekspresi diri pria Lio. Kuning melambangkan matahari yang mudah menarik perhatian juga merupakan personifikasi sifat wujud tertinggi. Ungu melambangkan kekayaan dan kemewahan. Warna putih merupakan pralambang kemurnian hati sedangkan warna hijau merupakan gambaran vitalitas sehingga warna hijau berkaitan erat dengan keseimbangan pikiran, tubuh dan emosi. Filosofis warna dalam perspektif masyarakat Lio sangat melekat dengan identitas dan karakter penggunanya, sehingga pada jaman dahulu, pria Lio yang mengenakan 'ragi' akan menunjukan masing-masing kasta dalam keturunan. Secara faktual, ragi adalah pralambang dari kehormatan, kewibawaan dan martabat seorang pria.
2. Lawo
Motif sarung [lawo] Kelimara
Lawo adalah kain tenun wanita, juga dalam bentuk sarung. Berbeda dengan ragi, motif sarung lawo lebih di dominasi oleh warna coklat. Warna coklat adalah warna yang selalu memberikan kesan nyaman, anggun dan elegan bagi wanita Lio. Wanita Lio merupakan sumber energi yang sangat konstan dan pusaran kehidupan bagi masyarakat suku Lio. Secara khusus, warna coklat bagi masyarakat Lio adalah warna bumi sebab bumi merupakan sumber kehidupan dan mata air. Oleh karena itu warna coklat pada sarung lawo adalah sifat wanita yang mewakili bumi. Realitas ini menguatkan pandangan bahwa pria Lio menghormati dan melindungi wanita bukan karena kelemahan seorang wanita melainkan kekuatan maha dasyat sebagai sumber energi yang mewakili bumi itulah yang membuat para pria Lio merasa kuat, tangguh dan perkasa. Pandangan ini juga menggenapi adagium Lio yang menyebutkan: "Ine eo Wuku Laja Dhana, Eo Kambu Kapa-Tembu Tiko Tana” artinya :“Ibu [Bumi] yang mengandung kesuburan dan kelahiran, sehingga perlakuan Orang Lio terhadap wanita adalah bentuk ketaatan terhadap bumi secara geografis sebagai tempat di mana mereka berhabit. Masyarakat Lio selalu menalarisasikan kehidupan mereka yang bergantung pada alam sekitarnya. Selain warna coklat, sarung lawo juga kerap dihiasi motif-motif lain berwarna hitam dan putih juga warna kuning emas dan merah. Warna kuning emas pada lawo melambangkan kemuliaan hati, prestis [kedudukan], kekuatan dan kekaguman. Sedangkan warna merah mereprentasikan kecintaan.
3. Lesu
Mosalaki Wolotopo menggunakan lesu warna merah yang di tenun sendiri
Lesu merupakan sehelai kain tenun yang kerap digunakan untuk ikat kepala. Oleh karena itu, lesu sangat tepat disebut tenun ikat. Dewasa ini, banyak perubahan masif yang terjadi dalam tradisi Lio. Perubahan yang paling mencolok adalah munculnya lesu yang bermotif batik. Padahal lesu yang bermotif batik tersebut bukanlah entitas yang dimiliki oleh masyarakat Lio melainkan milik masyarakat suku Jawa. Dapat dimaklumi bahwa hadirnya batik Jawa dalam tradisi masyarakat Lio turut melengkapi inlkuturasi budaya sejak adanya pengaruh Majah Pahit di wilayah ini. Sejatinya Lesu yang dimiliki oleh masyarakat Lio adalah hasil tenunan dari benang pintalan kapas berukuran sekitar 30 X 30 cm dan berwarna merah hati. Kendati demikian, di beberapa wilayah Lio lesu dapat ditemui dengan mudah seperti di kampung Wolotopo, sebab hingga kini masyarakat Wolotopo masih mempertahankan tradsi lesu tenunan ini. Warna merah hati pada lesu adalah simbol putera mahkota pralambang kejantanan dan keberanian para pria Lio sebab warna merah hati adalah warna primer yang mereprentasikan keinginan Liar kaum lelaki. Sebab itulah lesu hanya dapat dikenakan oleh kaum pria terpandang. Bagi masyarakat Lio, lesu merupakan simbol kebesaran bagi pemimpin adat sehingga tidak semua pria Lio boleh mengenakan lesu.
4. Luka/Semba
Wanita Lio menari dengan selendang [luka]
Luka/Semba adalah sejenis selendang hasil tenunan yang digunakan oleh pria maupun wanita. Bagi kaum pria, selendang cenderung digunakan pada saat ibadat keagamaan suku Lio seperti dalam upacara dan ritus-ritus adat. Sedangkan bagi kaum wanita, selendang kerap digunakan untuk tari-tarian dan lain sebagainya. Secara etimologis, kain selendang suku Lio ini dapat disebut juga patola dari India karena ada kemiripan dalam proses pembuatan juga bentuknya. Warna dominan kain selendang ini adalah coklat tua mengandung kesamaan filosofis dengan lawo namun selendang memberikan makna magis yang sedikit berbeda dengan lawo. Bagi kaum wanita, penggunaan selendang dalam tarian merupakan penonjolan ekspresi gemulai dan keanggunan yang kerap hadir melingkupi gerak tari yang mana tari merupakan wujud persembahan dan rasa syukur, puji-pujian atas segala kemurahan sang pencipta kehidupan. Bagi kaum pria, selendang merupakan penyematan dan penghormatan kepada sang pencipta, karena itu selendang harus disemat melintang di bahu kiri hingga pinggul sebelah kanan.
Tradisi menenun di dalam masyarakat suku Lio, mengalir begitu saja secara turun-temurun dalam kampung-kampung, dilakukan oleh kaum wanita diantara deru kesibukan suatu rumah tangga sehari-hari. Hingga kini, proses pembuatan tenun masih dapat ditemui di kampung Nggela, Mbuli, Moni dan wilayah-wilayah sekitar. Jenis dan nama tenun pun bermacam-macam, misalnya: Lawo Nggela, Lawo Mbuli, Lawo Kelimara, Lawo Nepa dan lain-lain. Setiap nama-nama tenun menggambarkan ciri dan corak masing-masing sesuai karakter masyarakat setempat. Lewat belaian jemari wanita-wanita Lio yang lentik di kampung-kampung tersebut, lahirlah lembaran tenun berbagai macam motif seperti: bunga, sulur, fauna, flora, geometris, identitas mereka sendiri dan lain-lainnya. Proses kreativitas sosial tenun tradisional suku Lio di kampung-kampung ini akan terus bergerak meski hanya dalam batas lokalitas tertentu tetapi masih mampu berbicara sebagai primadona khas masyarakat Lio secara umum dalam tatanan peradaban Nusantara sebab merekalah pelestari abadi simbol martabat pria maupun wanita suku Lio.
Terimakasih, semoga bermanfaat!!