[Ethos Kerja Masyarakat Lio Dibalik Tubuh & Fisik Yang Kuat]
Oleh: Marlin Bato
Jakarta, 05/12/2013
Sejak zaman dahulu ketika komunikasi masih bermain pada ranah komunikasi lisan dan dikenal dengan sebutan retorika, generasi Lio diingatkan untuk selalu membekali diri dengan ethos. Ethos berasal dari akar kata Athikos dalam bahasa Yunani berarti keberadaan diri, jiwa, dan pikiran yang membentuk seseorang. Ethos: berkaitan dengan “sumber kepercayaan” (source credibility) yang dibuktikan seseorang bahwa dirinya memang mumpuni pada bidangnya, dan karena kepakarannya itu layak dipercaya.
Tidak banyak yang memahami sejak kapan istilah "Tego No'o Tebo - Bogo No'o Lo' ini muncul, namun hingga kini kalimat tersebut terus digunakan sebagai bahasa komunikasi [dogma] yang masih mutlak dipegang oleh para pelaku sejarah Lio sebagai ruh ethos kerja itu sendiri. Komunikasi yang kini tidak hanya berada dalam ranah lisan namun juga tulisan, komunikasi bermedia sebagai sumbangan revolusi teknologi informasi, melewati batas dan sekat dunia, telah membuka tabir bahwa nilai-nilai ethos suku Lio dapat menjadi acuan dalam merestorasi spirit hidup yang lebih bergairah.
Di Lio, ethos kerja "Tego No'o Tebo - Bogo No'o Lo" sangat kontras ditemui melalui sistem meritokrasi pada garis keturunan termuda [aji ana]. Orang Lio menghargai kemampuan untuk berdiri di atas kaki sendiri tanpa bergantung pada orang lain, karena itu mereka disebut sebagai pekerja ulung.
Tego No'o Tebo, dalam bahasa Lionesse diterjemahkan sebagai kekuatan badan sedangkan Bogo No'o Lo merupakan sinonim dari "Bugu" dalam bahasa Lionesse berarti kekayaan yang diperoleh oleh tenaga kerja sendiri. Dalam hal ini, semangat "meritokrasi" di Lio telah diwujudkan melalui berlatih kegiatan individu.
Pada jaman kolonial Hindia Belanda, semangat "Tego No'o Tebo - Bogo No'o Lo" ini turut menjadi percikan api spirit untuk melakukan perlawanan terhadap hegemoni Belanda yang mana implikasinya dapat ditemui melalui jejak perjuangan Marilonga di tanah Lio yang begitu gigih membela bumi pertiwinya.
Implikasi kalimat "Tego No'o Tebo - Bogo No'o Lo" tentu sangat besar terhadap ethos kerja masyarakat Lio, sebagaimana orang Jawa menyebut "Mens Sana In Corporesano' [ Didalam Tubuh Yang Sehat, Terdapat Jiwa Yang Sehat". Orang Lio menjadikan kalimat tersebut sebagai panduan dan pedoman dalam hidup sehari-hari menurut pola agraris. Kalimat "Tego No'o Tebo - Bogo No'o Lo" adalah induk dari ungkapan-ungkapan lain seperti "Bugu Supu" [kerja keras], Peni Nge Wesi Nuwa [Menabur dan menuai], Pase Mbale [menanam dan berhasil], Pase Pedo - Mula Gelu [Patah tumbuh, hilang berganti], Gaga Bo'o Kewi Ae [hidup makmur / berkecukupan] dan lain sebagainya.
Kehidupan komunal masyarakat Lio, Flores tengah sangat bergantung pada kemurahan alam, karena itu kalimat "Tego No'o Tebo - Bogo No'o Lo" telah memberi sumbangsi yang begitu besar terhadap kelanjutan dan tantangan hidup yang semakin keras akibat topografi ekstrim [alam yang kurang bersahabat]. Bahkan kalimat ini masih sangat relevan digunakan hingga waktu-waktu yang sulit diprediksi. Kendati demikian, ada proses pengabaian dimana masyarakat Lio menganggap kalimat tersebut sebagai bahasa pembalut yang hanya dapat dihafal sebagai slogan.
Patut disayangkan bilamana kalimat ini berangsur ditinggalkan oleh penggunanya sebab seiring bergulirnya era baru, masyarakat Lio telah terkontaminasi [dirasuki] oleh paradigma baru untuk mendapatkan kehidupan layak [makmur] dengan cara-cara instan seturut hedonisme yang terus mengekal, sebuah paham untuk memperoleh kenikmatan semu.
Ada baiknya, generasi Lio kekinian perluh didoktrin untuk senantiasa mengiblatkan dirinya pada kalimat "Tego No'o Tebo - Bogo No'o Lo" sebagai proses aktualisasi penanaman benih ethos kerja dan integritas diri menjadi manusia yang hebat, manusia yang meletakan diri pada sumbu hidup bermartabat.
Tabe Pawe - Ngga'e Berkah (y)