(Tage Tangi Nai Sa'o - Poto Watu Wisu Lulu)
~Peresmian Rumah Utama Adat Lio Anjungan NTT - TMII~
Jakarta, 06 Januari 2013
Oleh: Marlin Bato
Jumat, 28 Desember 2012 lalu, suasana Anjungan NTT tampak ramai, tak
seperti biasa yang selalu sepi dari pengunjung. Betapa tidak, hari itu
adalah hari di mana momentum peresmian rumah utama adat Lio. Segenap
warga Ende - Lio tumpah rua di pelataran rumah adat Lio yang baru di
bangun sejak setahun yang lalu. Rumah yang berdiri megah tersebut,
sejatinya adalah dibangun dengan dana yang digelontorkan oleh Pemkab
Ende dan Pemda NTT senilai kurang lebih 6,5 Miliar dengan asumsi 3
miliar merupakan sumbangan dari Pemkab Ende serta sisanya di tanggung
oleh Pemda NTT.
Proses pengerjaan rumah tersebut di awali
dengan sentuhan magis yaitu; "Ritual Koe Kolu" (peletakan batu pertama)
oleh Bertoldus Lalo, Kepala Perwakilan NTT di Jakarta & Drs. Don
Bosco Wangge. M. Si Bupati Kepala Daerah Tingkat II Ende serta di pimpin
langsung oleh Yulius Balu beserta Mikael Tani Wangge.
Konstruksi rumah adat tersebut memiliki corak yang agak berbeda meski
pun ada kesamaan filosofis. Jika biasanya sebuah rumah adat Lio
berbentuk panggung, namun tidak dengan rumah adat ini. Pasalnya, rumah
tersebut di konstruksi bertingkat tiga dengan klasifikasi sebagai
berikut;
- Lantai 1 yang seharusnya di buat kolong (Lewu) tetapi di buat sekat ruang agar bisa dimanfaatkan sebagai tempat istirahat.
- Lantai 2 merupakan ruang temu (maga/tenda) sebagaimana adalah tempat musyarawa seluruh lintas masyarakat NTT.
- Lantai 3 adalah tempat penyimpanan "watu nitu" simbol dari "wisu lulu" yang merupakan persemayaman roh para leluhur.
Dalam tradisi Lio, fungsi rumah biasa sangat berbeda dengan rumah adat.
Rumah biasa merupakan tempat tinggal sel-sel terkecil terdiri atas Ibu,
Bapak, Anak, dll. Sedangkan rumah adat atau disebut "Sa'o Ria Tenda
Bewa" mempunyai filosofi tersendiri yang berfungsi selain untuk tempat
tinggal juga sebagai tempat perkawinan kosmic antara "Du'a Lulu Wula dan
Ngga'e Wena Tana" (wujud tertinggi dan ibu bumi). Karena itu, rumah
adat merupakan pralambang Kesuburan dan kelahiran yang menyimbolkan
rahim wanita.
Biasanya, setiap rumah adat Lio di hiasi dengan
ukiran-ukiran beraneka ragam, misalnya di sekitar tangga, pintu dan kayu
palang di ukir dengan corak ular, panah, kalajengking, kuda, vulva
(alat kelamin wanita) dan sebagainya.
Rumah utama adat Lio di
Anjungan NTT merupakan simbolisasi dari rumah adat yang sesungguhnya.
Oleh karenanya, jika di lihat dari depan, tampak atap melengkung yang di
topang tiang "mangu" (penyangga utama) yang dilengkapi 7 anak tangga
& 9 pijakan untuk menggenapi dogma para leluhur seperti terungkap;
-Du'a Lulu Wula, Wa'u No'o Tangi Su'a Teda Lima Rua - Ngga'e Wena Tana
Nai No'o Tangi Gela, Teda Tere'esa. Artinya; Wujud tertinggi dari
tingkap langit turun melalui tujuh anak tangga dan Ibu bumi naik melalui
sembilan pijakan).
Di depan rumah utama Adat Lio Anjungan NTT,
terdapat tiang batu yang berdiri menjulang di tengah-tengah halaman.
Batu itu lonjong berbentuk seperti alat kelamin laki-laki disebut; "Tubu
Musu/Musu Mase'. Tubu musu/musu mase harus di tanam ditengah lapangan
dan berdiri kokoh, ujungnya mengarah ke langit, "Soke Fore Mbedo Liru -
Seka Bega Tama Tana" (Tertanam di bumi dan menembusi langit). Kalimat
tersebut merupakan bentuk perkawinan kosmic secara nyata. Batu 'tubu
musu' merupakan simbol laki-laki, simbol keperkasaan kejantanan para
pria. Menurut tuturan lisan, di setiap rumah adat Lio harus dilengkapi
"Tubu Musu/Musu mase", sehingga bersamaan dengan itu, muncul pula sebuah
adagium; "Wisu Neku Gheta One - Watu Neku Ghale Sia" yang berarti;
(Wisu) yang menjadi tempat persemayaman di dalam rumah adat dan Batu
(watu) yang menjadi hak kesulunganku berada di luar. Kalimat ini
merupakan pengklaiman diri yang menunjukan eksistensi dan kedaulatan
seorang pemimpin adat (Mosalaki) dan merupakan bukti otentik kebesaran
yang tak dapat di tampik.
Upacara ritual "Poto Watu Nitu" di
Anjungan NTT di awali dengan tarian Wa'e Woge yang di tampilkan oleh
srikandi-srikandi dan ksatria-ksatria asal Ende Lio yang terkolaborasi
antara komunitas Sanggar Sokoria Voice dengan Forgema (Forum Generasi
Ende Muda) serta di isi dengan Bhea (pekik) dan sua seru (doa) oleh
Yulius Balu. Kemudian dilanjutkan dengan prosesi singkat dari rumah adat
Sumba menuju rumah utama adat Lio sambil membawah batu ceper (watu
nitu) yang kemudian ditempatkan di "Wisu Lulu/tempat persemayaman" dan
diberi saji-sajian berupa darah ayam, nasi, siri pinang, arak, tembakau
dan sebagainya.
Setelah menyelesaikan ritual "poto watu",
upacara dilanjutkan dengan pemberian sesajen pada batu 'Tubu musu' di
halaman rumah adat sambil mendaraskan doa-doa dalam bahasa Lio kepada
leluhur. Selepasnya, ritual adat tersebut di tutup dengan tarian gawi,
pratanda acara telah selesai. Gawi merupakan tarian syukuran yang wajib
di lakukan dalam ritual-ritual penting adat Lio. Secara etimologi,
tarian gawi merupakan wujud syukur dan doa yang ditandaskan melalui
gerak magis, sehingga sang pesodha (penyair) melantukan alun kidung
sebagai ungkapan penyerahan diri secara utuh lewat nada-nada diatonis.
Syair-syair gawi menceritakan kisah-kisah, dan petuah-petuah yang harus
ditatati masyarakat penganutnya, sehingga masyarakat Lio menjadikan
syair gawi sebagai kitab-kitab lisan, pedoman hidup dengan keyakinan
totalitas tanpa ragu, mutlak - utuh penuh seluruh.
Sekian, dan terimakasih! Semoga bermanfaat...