Jakarta, 03/01/2013 - Beberapa hari terakhir ini sejak tahun 2004 isu
pemekaran provinsi Flores cukup menyita perhatian bahkan kian santer dan
sempat memanas, namun sempat juga direduksi oleh berbagai kepentingan
politis egocentris. Dalam kurun berapa tahun terakhir, hampir semua
media NTT maupun media nasional menyoroti wacana pemekaran Provinsi
Flores. Kendati demikian, issue pemekaran Provinsi Flores kemudian
mewabah dan menimbulkan efek domino memproduksi antek-antek protagonis
maupun antagonis yang mana issue tersebut membawah masyarakat NTT
terjebak dalam atmosfir yang kurang bersahabat antara satu dan lainnya.
Semua orang Flores kala itu bahkan merasa cerdas, merasa seperti manusia
paling super dan paling hebat dengan dalil-dalil argumen yang
sebetulnya sangat kontraproduktif. Yang lebih menyedikan lagi, issue ini
justru malah menimbulkan sentimen primordial antar kabupaten-kabupaten
di Flores, bahkan ekses yang ditimbulkan pun merangsek ke pulau-pulau
lain seperti Sumba, Timor dan Alor.
Jika dicermati, issue ini
memang belum berdampak luas pada perpecahan dan pemisahan diri sehingga
rasa kesatuan pun belum terkoyak secara utuh. Namun tanpa disadari
keutuhan yang dibangun sekian lama dengan slogan "Flobamora" yang selalu
di dengungkan kian runtuh sedikit-demi sedikit, ibarat pepata; "Nila
setitik - Rusak susu sebelanga". Hal inilah yang seharusnya dijadikan
refleksi kritis bagi masyarakat NTT seluruhnya.
Dari tinjauan
historis, meski sangat gencar dibahas dalam beberapa tahun belakangan,
wacana pembentukan Provinsi Flores bukanlah sesuatu yang baru muncul
pada era reformasi. Menurut catatan sejarah, antara tahun 1950 hingga
1958, pulau Flores merupakan bagian dari Provinsi Sunda Kecil yaitu
sebuah provinsi yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara. Provinsi tersebut
terbentuk oleh PP No.21/1950 atas dasar UU No.22/1948.
Sejatinya, gagasan pembentukan Provinsi Flores sudah muncul bersamaan
dengan pembentukan provinsi Nusa Tenggara Timur yang dikemukakan oleh
Partai Katolik di Flores dalam konferensi partai di Nele (Sikka)
pertengahan Mei tahun 1956. Pada waktu itu, Partai Katholik Flores
sangat gigih berjuang ingin membentuk Provinsi Flores, karena dasar
pertimbangan bahwa Partai Katolik menang mutlak di Flores. Akan tetapi,
gagasan Konferensi tersebut ditentang oleh delegasi Komisariat Partai
Katolik Timor yang dipimpin oleh Frans Sales Lega, dengan argumentasi:
“Mengapa tidak bergabung dengan Timor dan Sumba, dengan golongan
Protestan”.
Dan kemudian, Konferensi batal untuk memutuskan
status “Gagasan Provinsi Flores”, tapi isu tersebut muncul lagi dalam
konferensi Partai Katolik berikutnya di Ende Bulan Juni tahun 1957.
Kendati demikian, Frans Sales Lega tetap pada pendiriannya. Sebaliknya
ia mengangkat usul alternatif yakni membentuk sebuah propinsi untuk
seluruh bekas karesidenan Timor yang terdiri dari Timor, Flores, Sumba
dan Sumbawa dan pulau-pulau sekitarnya yang dikenal dengan sebutan
"Flobamora".
Tidak dapat di pungkiri, peran Ende sangat
strategis pada waktu itu. Jika saja, pemerintah dan stakeholder Ende
dapat mengambil satu sikap tegas untuk mendukung Provinsi Flores, bukan
tidak mungkin Provinsi Flores sudah terbentuk dengan ibukota Provinsi
berada di Ende karena Ende merupakan kota yang jauh lebih berkembang di
banding kota-kota lain di Flores. Pertimbangan lain, bahwa Ende juga
merupakan kota Pancasila tempat Bung Karno menggali "Lima Butir
Mutiara". Salah satu bukti otentik bahwa Ende terletak pada kawasan
paling strategis adalah adanya monumen "NOL" kilometer Flores di
lapangan Perse Ende yang di tetapkan semasa pemerintahan Hindia Belanda.
Perhitungan Nol kilometer tersebut di mulai dari Ende menuju ke ujung
timur Flores hingga Larantuka (Flores Timur) dan hingga ujung barat ke
Flores (Labuan Bajo), karena itu muncul pula sebuah ungkapan adagium
Lio; "Ulu Gheta Krowe Jawa - Eko Ghale Loka Lambo", artinya: Hulu
(Kepala) di Flores Timur - Hilir (Ekor) di Labuan Bajou. Sumber; Buku
Nusa Nipa karangan Pastor Piet Petu, SVD.
Gagasan provinsi
Flores terus bergulir meski status Flores telah masuk menjadi Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Namun akhirnya di penghujung tahun 1960 meredup
setelah muncul gerakan-gerakan kudeta di Jakarta dan pergantian tampuk
kepemimpinan kepada Soeharto yang menerapkan sistem pemerintahan
sentralistik.
Pada hakikatnya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Otonomi daerah dan pemekaran wilayah memberikan peluang untuk
mendukung berdirinya Provinsi Flores karena secara geografis Flores
sangat layak untuk membentuk Provinsi sendiri. Namun hingga kini hal itu
belum dapat direalisasikan karena faktor "Egocentris" antar tokoh
lintas Flores dan pemimpin daerah sangat kental. Terjadinya tarik
menarik mengenai Ibukota Provinsi inilah yang menjadi akar persoalan
tertundanya pembentukan Provinsi Flores. Kegamangan-kegamangan kerap
terjadi dibenak semua pihak, mereka seperti takut kehilangan pengaruh.
Pada tataran normatif, kebijakan pemekaran provinsi seharusnya
ditujukan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Namun, kepentingan politik
seringkali lebih dominan. Ironisnya, rencana proses pemekaran daerah
Flores pun membuka peluang sebagai ajang bisnis politik dan uang.
Akibatnya, peluasan daerah pemekaran terhambat dan diwarnai indikasi
KKN.
Merujuk pada UU No. 32 tahun 2004 tersebut, seyogyanya
seluruh petinggi-petinggi Flores harus duduk bersama, harus pula
menanggalkan kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi dan ego
wilayah maupun kepentingan politik dan uang. Flores merupakan miniatur
Indonesia, karena itu seluruh elemen masyarakat dan organisasi
kepemudaan Flores pun harus di libatkan dalam rencana ini, sebab tanpa
dukungan yang kuat, gagasan pembentukan Flores ibarat duri dalam sekam
yang akan menjadi Bom waktu dan akan menghancurkan seluruh tatanan
ikatan emosional kekerabatan masyarakat Flores sendiri.
Rencana
pembentukan Provinsi Flores seharusnya di awali dengan pembuatan Grand
Desain & Master Plan kawasan Flores agar semua kepentingan dapat
terakomodir dengan baik. Ibarat pembagian kue, seluruh kabupaten harus
diberikan peluang yang sama untuk memajukan daerahnya. Sebagai
ilustrasi; Dalam pembuatan Grand Desain - Sebelum menetapkan Ibukota
Provinsi, masing-masing kabupaten harus menyodorkan produk unggulan atau
mempresentasikan potensi yang dimiliki daerahnya. Misalnya; Kab.
Manggarai menjadi Kabupaten Wisata, seluruh rangkaian kegiatan Pemprov
yang berkaitan dengan pariwisata harus difocuskan di Manggarai saja.
Kabupaten Ngada & Nagekeo harus dikembangkan sebagai pintu gerbang
Flores melalui pembukaan Bandara Internasional sehingga semua rute
penerbangan Internasional maupun domestik harus melalui Nagekeo.
Kabupaten Ende, harus menjadi kota Pancasila atau kota administratif
begitu pula Kab. Sikka sebagai kota perdagangan dan Flores Timur sebagai
Kota Religi, sehingga semua aktifitas yang berkaitan dengan poin-poin
tersebut akan berkonsentrasi pada masing-masing Kabupaten. Jika konsep
tersebut dapat direalisasikan niscaya: Provinsi Flores pun dapat segera
terbentuk.