Judul asli film ini dari bahasa Belanda yaitu "Ria Rago De Heldin Dan
Het Ndona-Dal". Ria Rago adalah sebuah film drama dokumenter yang di
produksi tahun 1930 di Ndona Ende Flores NTT. Film ini disutradarai oleh
P. Simon Buis, SVD bekerja sama dengan P. P Beltjens, SVD misionaris
Belanda yang kala itu bertugas di lingkup pastoral Ndona Ende. Secara
historis film ini mengisahkan romantisme dan kecintaan seorang pria tua
yang kaya raya kepada seorang gadis desa nan rupawan. Meski digarap oleh
P. Simon Buis dan P. P Beltjens SVD, film ini tetap melibatkan aktris
dan aktor dari masyarakat lokal Ende Lio serta pemeran pendukung dari
susteran Ndona.
Nama-nama tokoh dalam film ini terdiri atas:
1. Ria Rago - Pemeran utama wanita pemberani yang menjadi korban perjodohan 2. Rago Da`Oe - Ayah kandung Ria sang penganut feodalisme yang serakah 3. Enga Padi - Ibunda Ria yang terjerumus dalam pemikiran sempit suaminya 4. Dapo Doki - Lelaki yang menggebuh-gebuh ingin mempersunting Ria 5. Haji Dasa - Sang negosiator (juru bicara/comblang) 6. Martinus Koenoe - Katekis/misionaris 7. LE Dr. J.M Kanoo - Dokter
Film ini diangkat dari kisah nyata, sebagaimana yang terjadi di sekitar
masyarakat lokal dalam kurun waktu tahun 1923. Alkisah film ini bermula
dari kedatangan Haji Dasa sang negosiator (juru bicara) kepada Rago
Da`Oe untuk menyampaikan pesan dari dari Dapo Doki yang ingin meminang
Ria sebagai istri sebagaimana kebiasaan-kebiasaan menurut tradisi
masyarakat lokal. Singkat cerita, setelah mendapat restu dari Rago
Da'Oe, Dapo Doki pun langsung menyerahkan puluhan ekor hewan sebagai
mahar/belis untuk kedua orang tua Ria. Petaka pun mulai menghampiri Ria,
sang gadis nan cantik jelita dari lembah Ndona.
Klimaks dari
kisah ini, Rago Da'Oe ayahanda Ria pun mengatur pernikahan puterinya
dengan Dapo Doki, seorang Muslim. Namun dengan tegas ia menolak pinangan
Dapo juragan kaya dari kampung tetangga. Sejak saat itu, penyiksaan
terhadap dirinya datang silih berganti, baik dari kedua orang tuanya
maupun dari orang-orang suruhan Dapo. Pemukulan demi pemukulan pun
datang bertubi-tubi, hingga akhirnya ia melarikan diri mencari suaka ke
susteran misi yang menawarkan tempat aman baginya. Akan tetapi ayah dan
kroni-kroninya berhasil menemukannya. Bagaimanapun, ia harus dibawa
kembali ke desa karena ayahnya terlanjur menerima mahar yang cukup besar
dari Dapo.
Setelah berbulan-bulan mengalami penyiksaan, Ria
tetap tidak menyerah. Lagi-lagi ia dapat meloloskan diri dari penyiksaan
tragis dan kembali ke bangsal susteran misi. Namun, ketika ia baru
menjejakkan kakinya di teras bangsal, tiba-tiba saja dia ambruk.
Tubuhnya rapuh lagi sekarat, wajahnya yang dulu putih cantik, ceria
dengan rambut yang panjang terurai dalam sekejap suram dan redup, tak
tampak aura kebeningan melintas dimatanya, ia tak sanggup lagi menahan
beban penyiksaan. Nyawanya tak dapat tertolong. Kontan saja para suster
mengutus orang untuk menjemput kedua orang tua beserta sanak saudaranya
untuk menyaksikan betapa sadisnya perbuatan mereka terhadap puterinya.
Namun meski di ambang kematian, pahlawan dari lembah Ndona ini meminta
para suster dan kedua orang tuanya untuk melakukan upacara terakhir
yaitu "menerima sakramen minyak suci". Seketika ayah Ria memutuskan
untuk membatalkan pernikahan dan mengembalikan mahar kepada Dapo, namun
semua sudah terlambat, penyesalan pun tak berarti lagi. Di akhir kisah,
meski di ranjang kematiannya Ria pun mengampuni kedua orang tuanya.
Kisah ini, mengingatkan kita pada legenda Siti Nurbaya dan Datuk
Maringgi dari pulau Sumatera. Secara substantif, ada kemiripan dari
kisah ini meski ada perbedaan locus serta nama dan ketokohan. Karena
itu, perjuangan Ria Rago, Siti Nurbaya dapat pula disandingkan dengan
Cut Nyak Dien dari Aceh, RA. Kartini dari Jawa, Martha Christina Tiahahu
dari Ambon dan lain sebagainya tentu saja ini suatu perjuangan yang
sangat berarti bagi persamaan jender serta persamaan hak dengan kaum
pria yang cenderung mendominasi di seluruh lini kehidupan. Sehingga
lewat kisah-kisah seperti inilah tiap-tiap insan dapat memahami makna
"Emansipasi Wanita".