Opini:
Oleh: Marlin Bato
Jakarta, Jumat 6 Juli 2012
Dewasa ini, Kabupaten Ende yang menjadi salah satu basis teritory control di NTT berangsur hilang. Dahulu, Ende merupakan Ibu Kota Kabupaten Flores, central geografik paling strategis di seluruh daratan Flores. Berada di posisi tengah-tengah pulau Flores, Ende kerap menjadi kota yang mempunyai daya tarik tersendiri. Baik dari sektor pendidikan, seni dan budaya, maupun ekonomi dan sebagainya. Beberapa dekade lalu, Ende merupakan salah satu kota industri musik paling tersohor di NTT. Di kota ini, banyak seniman-seniman menuai sukses, meskipun jarang ada yang bisa menembus level nasional. Ende menjadi salah satu barometer perkembangan musik daerah NTT.
Permenungan kelima dasar negara pun bermula dari kota ini. Kota kecil, terselip diantara pegunungan, dilatari laut sawu serta teluk Ende kian menyempurnakan Ende sebagai kota penuh bunga "Benu Pu'u Kaju Wonga", sejuk dan menawan juga berseri. Sederet peninggalan sejarah perjuangan terpampang jelas diantara beberapa monumen yang berdiri kokoh. Namun sejak era reformasi dan desentralisasi bergulir, Ende seperti menjadi kota mati, mengalami kemunduran, sarat kepentingan dan lumbung korup. Otonomi daerah atau desentralisasi yang diberikan pemerintah pusat seyogyanya sebuah opsi bagi pemerintah daerah untuk mengatur leading sektor, justru malah disalahgunakan untuk menciptakan raja-raja kecil. Apa gerangan yang terjadi??
Melihat fenomena ini, hendaknya pemimpin Ende yang akan datang, harus mempunyai visi besar dan berjiwa besar demi mengembalikan eksistensi, martabat serta kedigdayaan kota Ende diantara kota-kota lainnya. "It's Not Immposible", tidak ada yang tak mungkin, Ende akan mencapai kejayaan seperti dulu. Karena itu, pemimpin Ende yang akan datang harus menganut tiga pilar utama:
1. Pancasila (Bukan Slogan Semata)
Sebagai dasar negara yang ditemukan Bung Karno. Lima butir berlian merupakan mutiara serta hadia terindah dari Bung Karno bagi kota Ende. Seorang pemimpin Ende harus mengobarkan kembali semangat kegotongroyongan, semangat toleransi, menghidupkan kembali basis-basis umat, menjalin kerja sama dengan masyarakat sebagai mitra pemerintah. Poin-poin tersebut diatas merupakan nilai-nilai terkandung dalam pancasila, yang bukan saja hasil permenungan tapi melainkan juga potret hidup majemuk masyarakat Ende yang diamati Bung Karno ketika beliau diasingkan tahun 1935. Ende seperti miniatur Indonesia yang unik. Bertolak dari sinilah intisari Pancasila diracik oleh Bung Karno dibawah pohon sukun (Artocarpus altilis) bercabang lima. Dengan hadirnya pancasila di kota ini, sewajarnya pemerintah daerah memanfaatkan situs sejarah tersebut sebagai priority locus bagi pemerintah pusat. Sehingga sentuhan diberbagai sektor akan berdampak positif.
2. Religiusitas Agama
Kenyataan yang terjadi dalam sepanjang sejarah perjalanan umat manusia adalah fenomena religiousity. Rasa religiusitas terhadap agama sangat berpengaruh kuat terhadap tabiat personal dan sosial manusia. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus menganut nilai - nilai spiritualitas, penuh penghayatan yang tinggi terhadap agama. Beragama saja tidak cukup. Pemimpin wajib memahami secara benar nilai-nilai yang diajarkan agama agar menjadi martir bagi rakyat Ende kedepan. Hal ini tentu akan dijadikan sebagai tolak ukur bagi figur pemimpin yang cerdas, baik, bijaksana, berwibawah, dan lain sebagainya. Religiusitas menjadi tonggak menanaman moral manusia sebagai pemimpin yang bermartabat, sehingga sangat sulit hasratnya tergoda dengan hal-hal yang bersifat duniawi.
3. Fanatisme Budaya
Berbudaya itu penting! Mengapa demikian?
Manusia adalah mahkluk sosial (Homo Socius). Budaya merupakan cikal bakal eksistensi manusia secara yuridis empiris. Budaya merupakan hasil daya cipta, rasa dan karsa. Budaya merupakan cermin kepribadian. Sesekali cobalah anda berkaca, pasti anda akan mengerti bagaimana raut anda, bagaimana sosok anda sesungguhnya. Dari situ, anda akan memahami setiap detail raut wajah anda dari mana anda berasal dan lain sebagainya. Berkaitan dengan ini, seorang pemimpin Ende kedepan harus pandai-pandai bercermin, asal bukan cermin retak. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berpegang teguh pada budayanya. Memahami setiap detail kearifan lokal yang dimilikinya. Beberapa dekade terakhir, masyarakat Ende mengalami degradasi moral akibat ledakan maha dasyat berubahan/evolusi budaya bersamaan dengan era modernisasi dan globalisasi. Pergaulan bebas, pornoaksi dan pornografi menyebar luas tak terbatas tanpa bisa dibendung. Pemimpin Ende seyogyanya wajib menciptakan inovasi baru untuk meredam hal-hal negatif berkaitan dengan evolusi budaya ini. Pendekatan kultural dengan berbagai kalangan pemimpin kolektif kolegial serta penggiat budaya sangat diperlukan. Prioritas pendidikan budaya sangat dibutuhkan dewasa ini.
Tiga pilar tersebut, merupakan sebuah relevansi urgensi mutlak yang seharusnya diterapkan oleh pemimpin-pemimpin Ende yang akan datang. Jika tidak, bukan tidak mungkin Ende akan semakin terbelakang, semakin terpuruk menuju jurang kehancuran. Slogan (Penuh Bunga) "Benu Pu'u Kaju Wonga" hanya akan ada dalam kenangan. Pancasila tak lebih hanya sebagai bangunan monumental, dan terlebih lagi, slogan "Ende Lio Sare Pawe" hanya sebagai nomenklatur belaka. Karena semuanya akan raib dari muka bumi, bahkan Ende Lio akan diklaim sebagai raib kultur.
Salam Embun
Simo Gemi -- Terimakasih,
JKT/VII/2012