Logo

Logo
Latest News
Thursday, June 28, 2012

Ma’e Toa Lele Kumi - Ma’e Siki Watu Lamu

Salam KEARIFAN
Oleh Klemens Makassar

(Hendaknya janganlah menebang beringin yang ber"janggut" panjang, hendaknya janganlah menyingkirkan batu berlumut.

Lele kumi(Beringin yang mempunyai tali -tali panjang menjulur ke bawah sehingga seolah-olah mirip janggut yang panjang.Tali-tali beringin tersebut semakin lama menyentuh tanah dan bisa menjadi akar yang kian memperkokoh beringin beringin tersebut ) pertanda beringin tersebut sudah cukup tua. Beringin tua pasti banyak jasanya. Diantaranya berjasa menjadi tempat bertengger beragam burung seperti burung dawat, burung nuri, burung kakatua. Juga sarang burung kelelawar karena semakin tua lele ada kalanya tersedia lubang. Tak ketinggalan ular dan binatang lainnya berlindung dibaliknya. Sehingga tidak mengherankan, walaupun agak politis, bupati Ende tahun tahun 70an, Herman Joseph Gadi Djou dalam kampanyenya ke berbagai desa selalu menyanyikan: ” Jata ana lero ie teku ku no’o ana he lela mai ghele moru gha lele mere”. Di sinilah, orang – orang menyaksikan dan mengenal ragam satwa. Mereka dapat menunjuk dengan telunjuknya sendiri bahwa itu burung gagak yang sedang mengincar anak bebek di sekitar kali. Di sinilah mereka dapat berteriak bahwa itu ular pinton, kobra atau hiku. Di sini mereka dapat mencari ternak mereka yang seperti babi,ayam dll. Lele kumi menjadi rumah satwa

Lele Kumi menghadirkan peran ragam flora melindungi dan melestarikan Naku Ae/Sumur air.

Sumber air yang berada dibawah pohon beringin terasa sejuk sekali. Pasti penduduk-penduduk sekitar sumur tersebut memanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Apalagi
bagi orang yang bepergian jauh, melewati sumur air yang berada di bawah pohon beringin serasa menemukan oase di padang pasir. Menghapus rasa dahaga.

Memang tidak ada data secara ekonometrik mengatakan jumlah /berapa barel/ kubik air yang mengalir dari Lele kumi ataupun ragam flora lainnya.Tapi dapat kita bayangkan dan membuatkan sebuah pengandaian sederhana: sumur air yang berada di bawah sebuah pohon beringin yang berumur 60 tahunan. Misalkan Lele kumi yang berdekatan dengan penduduk 60 kepala keluarga. 1 keluarga beranggotakan tiga orang. Berarti 180 jiwa. Kebutuhan air minum per hari 8 litter/orang. Kebutuhan air untuk mandi 14 liter per orang. Jadi kebutuhan air perorang /perhari adalah 22 liter x 180 orang x 30 hari x 12 bulan dengan per liter Rp.3000. Jadi kalau dikalkulasikan dan diuangkan dalam setahun maka pengeluaran untuk kebutuhan air minum untuk 180 jiwa ini adalah Rp 4.276.800.000(empat miliar dua ratus tujuh puluh enam juta delapan ratus ribu rupiah). Jadi per tahun seandainya warga kampung tersebut membelanjakan air utk kebutuhan sehari-hari adalah 4 miliar lebih. Coba kita bandingkan dengan Alokasi Dana Desa sebesar Rp.72 juta/ tahun.

Tapi kenyataan penduduk kita menikmati secara cuma-Cuma. Ragam Flora,khususnya lele kumi memberikan kepastian kepada setiap insan yang berada di kampung untuk menimba dari naku ae/sumur air tanpa ada pungutan apapun.Tidak perlu pos pembelanjaan untuk air minum,mandi, dan cuci seperti dialami di daerah jakarta yang dikuasai oleh palyja dan thames perusahaan perancis dan inggris tersebut..Tidak perlu membayar pajak pengambilan air permukaan dan air bawah tanah karena disediakan alam. Naku ae dari Lele kumi bukanlah bagian dari air desalnisasi( air tawar yang dipisahkan dari air asin krn terjadi krisis air tawar) atau lahan perang air/water wars lantaran air dipandang sebuah komoditi sebagai blue gold/emas biru . Naku ae lele kumi merupakan salah satu
dari 3% air tawar dari 97 % air yang menutupi bumi.

Kekuatan Naku Ae Lele Kumi hanya menyembah pada nitu pa’i, ju angi, dan membiarkan lestari seperti pada ngebo mopo(hutan yang tidak boleh dijadikan lahan perhatian,kalaupun terpaksa harus membuka hutan utk keluarga yang membutuhkan maka dibuatkan upacara adat dengan hewan kurbannya adalah kerbau). Akes air dari naku ae lele kumi tidak menyerahkan pada kekuatan yang" mendikte" penggunaannya berdasarkan untung-rugi seperti perusahaan,majikan-majikan tak langsung lainnya,para comprador di antaranya bank dunia.

Selain itu,Lele Kumi menjadi arena bermain anak – anak. Lele kumi yang tua mempunyai rapu lele semacam tali /akar yang menjulur ke permukaan tanah. Anak-anak kampung sambil bergelantungan meluncur ke sana-kemari. Bagaikan adegan dalam film tarsan,anak-anak memompa adrenalin mereka sambil bercanda ria. Naluri alamiah anak kampung bermain ala high ropes dalam pelatihan capacity building. Cemas, takut, berani, bangga akan tampak dalam aksi bergelantungan anak-anak desa.Alamiah dan normal! .Tanpa mengkonsumsi zat adiktif lainnya atau menggunakan dopping apapun, bergelantungan pada rapu lele ke sana –kemari, ahkirnya tubuh mereka memproduksi hormon endorfin untuk mengalami rasa bahagia bagi anak-anak desa. Walapun tanpa ada arahan, bidikan pemaknaan kepada anak desa tapi Ayunan rapu lele membekas baik dalam goresan lilitan tali maupun rekaman bawah sadar mereka. Berwisata ria sekaligus ada makna pendidikan seperti flying fox di kota-kota besar menjadi perhatian sangat serius dari sekolah-sekolah dewasa ini. Bahkan kegiatan seperti itu menjadi salah satu program sekolah yang merangsang dan melatih kinestetis anak-anak .

Sisi lain yang dilihat bahwa Lele Kumi sebagai sarana untuk membangun relasi dengan kekuatan dan “wujud” yang lain. Kepercayaan manusia lio tentang du’a gheta lulu wula, Ngga”e ghale wena tana kadang-kadang diwujudkan dalam hubungan dengan “kekuatan” lain melalui Lele Kumi. Di sini, dipandang sebagai tempat bersemayam “roh-roh “atau kekuatan lain berupa, Lai ho’a, saka sera, ju’angi, nitu pa'i, longgo bengga, ata polo. Lele kumi merupakan media dimana manusia lio menunjuik bahwa ada kekuatan dunia lain yang akan memikat ketakutan diri menjadi “, absennya rasa takut karena terasa ada yang melindungi. Lele Kumi menghembuskan napas “keabadian” roh-roh guna menenangkan rasa cemas. Tidak mengherankan lele kumi di”sakral”kan. Keterikatan lele kumi dengan penduduknya diperkuat oleh berbagai ritual dalam bentuk sesajian untuk memberikan makan kepada “penghuni” Lele Kumi. Ada” nata sare, mbako pawe, juga moke gelo, are kidha” Lele kumi menjadi sarana untuk mengungkapkan bagian yang terdalam keterikatan batin manusia lio dengan wujud tertinggi di kampung-kampung.

Watu Lamu

Selain Lele Kumi, Watu Lamu menjadi media ekpresi relasi baik secara horisontal maupun vertikal. Ungkapan kearifan lokal tersebut memberikan gambaran tersendiri bagi masyarakat Lio. Memandang watu Lamu bukanlah hanya seonggok batu yang ditutupi lumut. Narasinya besar dan dalam. Watu Lamu merupakan satu kesatuan dengan tana watu (bumi). Watu Lamu menggambar eksosistem yang belum tercemar oleh limbah, terkikis banjir bandang, dieksploitasi dan diekplorasi manusia. Watu lamu menyingkap kedalaman hubungan manusia dengan alamnya. Menyimpan misteri batin manusia dengan tana watu (bumi). Di sini akan terlihat ekpresi manusia lio menghujam dalam, menukik tanah (seka bega) dan menembus angkasa (fore liru) bila watu lamu itu tubu musu atau musu mase. Watu lamu memupuk relung batin berakar ke dalam puse tana dan mengangkasa di ujang bulan. Sehingga watu lamu menjadi sarana mengungkapkan ikatan batin manusia dan buminya. Watu Lamu sebagai kesatuan dengan tana watu (bumi) memperlihatkan relasi secara sosial secara nyata. Watu Lamu memperlihatkan kepemilikan atasnya. Walaupun hanya watu lamu tapi pemanfaatannya dikomunikasikan dengan ine tana ema watu atau pemilik tanah. Hal ini menandakan bahwa melalui adanya relasi antar manusia dan pengakuan kepemilikan tana watu dalam masyarakat.

Secara singkat,Lele kumi dan Watu Lamu mengusung keharmonisan manusia, alam dan wujud tertinggi.

Semoga Tahun 2012 semakin memperteguh relasi manusia, alam dan wujud tertinggi. "Ma'e Toa Lele Kumi - Ma'e Siki Watu Lamu"

Simo Gemi Bhondo - Tabe Pawe...

Gegaleja 31/12/2011 pkl.22.50

  • Facebook Comments
Item Reviewed: Ma’e Toa Lele Kumi - Ma’e Siki Watu Lamu Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi