Logo

Logo
Latest News
Monday, June 25, 2012

"Tura Jaji", Persaudaraan Abadi Flores

-Gambar ini adalah: Penduduk di pesisir pantai desa Ndori, Kecamatan Wolowaru, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, Senin (28/5/2012). Desa Ndori merupakan desa yang memiliki legenda mengenai tsunami pada masa lampau.



KOMPAS.com - Lepas tengah hari ketika kami tiba di Desa Mole, beberapa orang mengelilingi dengan tatapan ingin tahu. Tiba-tiba seorang lelaki paruh baya bicara tegas, ”Seharusnya kami diberi kabar dulu kalau mau datang.”

Lelaki paruh baya yang bernama Sulaiman Setu (55) itu terus menyemprot Usman yang mengantar kami ke desa di lereng Gunung Kili Samba di Kecamatan Ndori, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, akhir Mei lalu. ”Kamu seharusnya tahu adat kita,” kata Sulaiman kepada Usman.

Kami bersiap untuk pergi. Namun, ternyata kami keliru menangkap maksud Sulaiman. ”Jangan salah sangka, leluhur perempuan bisa marah kalau kami tidak bisa menyambut tamu dengan baik.”

Beberapa perempuan lalu menghidangkan kopi jahe yang masih mengepul. ”Kami malu hanya bisa memberi ini. Harusnya bisa lebih baik,” kata Sulaiman.

Bagi masyarakat Ndori, memuliakan tamu merupakan soal penting. Itulah yang kami rasakan saat tiba di Kopo Kene yang bertetangga dengan Mole. ”Ayo, silakan masuk!” Sejumlah tetua Kampung Kopo Kene menyalami kami di pinggir jalan. Mereka mengajak kami mencicipi kopi jahe panas dan ”memaksa” kami makan nasi plus gulai ayam yang nikmat.

Para tetua kampung itu menyambut kami dengan hangat. Seusai memperkenalkan diri, mereka memberikan semua data yang kami butuhkan, terutama tentang legenda tsunami di Ndori. ”Kita ini sebenarnya bersaudara,” kata Muhammad Aksa (60), salah satu tokoh kampung itu.

Dengan memuliakan tamu, menurut Aksa, mereka ingin menjalin persaudaraan dengan pihak lain. Akar dari sikap ini, menurut dia, adalah dari tradisi tura jaji, yaitu budaya mengikat persaudaraan di antara para suku. Sebagai tanda ikatan, kedua suku saling menukar benda berharga untuk disimpan di rumah adat masing-masing.

Jika sudah diikat, kedua suku akan bersaudara selamanya dari generasi ke generasi. Anggota suku yang berkunjung ke suku saudaranya memiliki hak untuk dijamu dengan baik. Begitu pula sebaliknya.

Kampung Mole di lereng Gunung Kili Samba, misalnya, memiliki tura jaji dengan Kampung Egon di Natarkoli, Kabupaten Sikka. ”Kalau berkunjung ke Egon, kami punya hak untuk makan kelapa, singkong, bahkan ternak. Mereka tak boleh menghalangi. Begitu pula sebaliknya,” kata Sulaiman Setu.

Setiap generasi baru diwarisi ingatan dan pesan agar tidak melanggar perjanjian lama itu. ”Kami akan terus mempertahankannya,” kata Usman.

Kebersamaan

Pater Piet Petu SVD dalam buku Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku-Bangsa Lio (1992) menyebutkan, bagi masyarakat etnik Lio di Ende, tura jaji merupakan perjanjian persahabatan abadi. Kondisi alam yang sulit yang melatarbelakangi antarsuku atau wilayah di Flores melakukan tura jaji.

Tujuannya untuk saling menopang dalam menghadapi situasi sulit, bukan mengganggu, menindas, atau menyerang. Pada masa lalu, tura jaji biasanya digunakan untuk mengamankan lalu lintas serta pemasaran dalam jual-beli dan tukar-menukar hasil pertanian.

Tak hanya untuk kepentingan ekonomi, tura jaji pun terbukti sangat berguna saat menghadapi bencana alam yang kerap melanda Flores. Jika terjadi gempa, gunung meletus, atau tsunami, kampung lain yang aman dengan terbuka mau menerima saudaranya yang mengungsi.

Pengalaman itu yang dirasakan warga Pulau Babi saat tertimpa gempa dan tsunami pada 1992 yang menewaskan sekitar 300 orang. Ketika pulau tempat tinggalnya ludes dan dilarang ditinggali, masyarakat dari pulau itu diungsikan ke Desa Nangahale di Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, yang berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan dengan kapal nelayan. Kini, bahkan para pengungsi itu memperoleh bantuan tempat tinggal dan berbaur dengan masyarakat setempat.

”Ada sekitar 500 orang dari Pulau Babi yang mengungsi ke Nangahale. Sekarang mereka menjadi warga di sini,” kata Kepala Desa Nangahale Jais.

Hal serupa dialami warga Egon Buluk yang tinggal di lereng Gunung Egon, Kabupaten Sikka. Ketika gunung itu mengeluarkan abu pada 2008, mereka berbondong-bondong mengungsi sementara di Desa Waigete yang lebih aman. Mereka diterima dengan baik.

”Karena sama-sama tinggal di dekat gunung yang bisa meletus, kami terbiasa tolong-menolong,” kata Bura Gela (70), tokoh adat di Egon Buluk.

Tura jaji telah terbukti menjadi modal sosial yang efektif dalam menghadapi kerasnya tantangan alam. Sejarah mencatat, sejak 1814 hingga kini terjadi sekitar 25 gempa besar. Terakhir, gempa pada 12 Desember 1992 mengakibatkan tsunami dan menewaskan sekitar 2.100 orang.

Flores yang berada di Kepulauan Sunda Kecil juga dijejali gunung api aktif, di antaranya Anak Ranakah, Inerie, Ebulobo, Kelimutu, Iya, Egon, Rokatenda, dan Lewotobi.

Namun, sore itu di pantai Ndori, ancaman bencana alam larut dalam semangat kebersamaan. Senja menjelang. Beberapa tokoh adat mengantar hingga kami menutup pintu mobil.

Ketika sudah kembali di Jakarta, salah satu di antara pengantar itu masih menyapa lewat telepon. ”Apakah sudah tiba di Jakarta dengan selamat?” kata Usman dengan nada bersahabat.(Ilham Khoiri/Samuel oktora/Amir Sodikin/Ahmad Arif)
  • Facebook Comments
Item Reviewed: "Tura Jaji", Persaudaraan Abadi Flores Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi