Jakarta, 09/02/2012
Penulis: Marlin Bato
Gambar ini merupakan contoh salah satu bentuk riil tambur di wilayah Lio mirip dengan suku Mali di Afrika.
Wani adalah salah satu jenis alat musik yang ada di wilayah suku Lio. Sejak dahulu kala oleh leluhur suku Lio, Wani atau disebut juga beduk sudah digunakan dan menjadi alat musik tradisional. Namun penulis lebih suka menyebut jenis alat musik ini sebagai Tambur karena mempunyai ciri khas tersendiri di banding dengan daerah lain. Selain Wani (Tambur), adapun alat musik suku Lio yang lainnya seperti;
1. NGGO (Gamelan)
2. FEKO (Suling)
3. GENDA (Gendang )
4. DHOU DHA (Kolintang)
5. SATO (Sejenis ukulele terbuat dari buah bila atau buah maja)
6. NGGO NGGERI (alat musik dari bambu seperti angklung)
Wani atau tambur merupakan alat musik pukul warisan pubakala, dimana sebelum munculnya Brahmanisme. Dari data - data sekunder, diketahui bahwa alat musik ini berasal dari Turki. Dibawah pengaruh Islam kala itu, kemudian alat musik ini menyebar ke India dan Afrika. Nah... Dari suku Mali (Afrika), alat musik ini di bawah ke wilayah Timur Indonesia oleh pengaruh Portugis karena ketika itu suku-suku Mali diikutsertakan oleh orang Portugis untuk dijadikan budak dan tukang masak pada waktu ekspedisi ketimur jauh abad XV. Meski demikian, diketahui pula, alat musik ini telah dibawah masuk oleh suku India Muka ke beberapa belahan dunia termasuk Flores ketika terjadi penindasan oleh bangsa Aria. Disebut suku Aria berarti Kaum bangsawan yang gagah berani berasal dari Persia kini Iran.
Pada hakekatnya, bentuk tambur cukup beragam. Ada berbagai bentuk Tambur di Indonesia, namun di Lio tambur hampir sama persis dengan suku Mali di Afrika kendati di Afrika sendiri cukup beragam. Di wilayah Lio, Wani atau Tambur biasanya digunakan pada saat ritual-ritual adat. Karena itu, alat musik ini disebut alat musik tradisional yang sangat akrab di telinga orang Lio. Adapun keunikan alat musik ini adalah dibuat ramping dan mengerucut dari atas kebawah, menyerupai piala.
Bahan-bahan yang digunakan pun sangat mudah ditemui seperti; Batang Lontar atau kelapa, rotan, dan membran-nya terbuat dari kulit kerbau atau sapi. Kendati pun demikian, bunyi yang dihasilkan pun tentu sangat tergantung dari cara pembuatan dan bahan yang digunakan. Di kampung Wologai misalnya; Konon diketahui bahwa membran yang digunakan untuk alat musik ini terbuat dari kulit manusia. Percaya atau tidak, tapi inilah bentuk keragaman budaya suku Lio. Dikabarkan, penggunaan dari kulit manusia akan menghasilkan tambur terbaik, dengan suara yang sangat nyaring serta mampu bertahan lama. Tidak hanya itu, tambur yang terbuat dari kulit manusia akan menjadi daya magis tersendiri hingga mampu membuat para penari seakan terus bereuforia larut dalam kegembiraan secara spontan.
Di sisi lain, tambur dalam masyarakat suku Lio sudah menjadi alat musik yang kerap digunakan sebagai bentuk penghormatan kepada wujud tertinggi masyarakat suku Lio, sehingga alat musik ini selalu dibunyikan pada saat terjadinya perkawinan kosmic antara "Du'a Lulu Wula & Ngga'e Wena Tana" (Tuhan di Langit & di Bumi). Oleh karena itu, tak jarang, dalam kolaborasi dengan alat musik (Nggo) Gong, para pemukul tamburlah yang menjadi pemimpin orkestra magis diberbagai ritualitas musik Lio.
Uniknya, entah apa yang mempengaruhi keyakinan masyarakat suku Lio. Ketika fenomena alam bergejolak, misalnya terjadi gerhana bulan; tambur juga kerap dipukul meski tidak secara beraturan. Konon, masyarakat meyakini bahwa pemukulan tambur akan membuat bulan menampakan diri dan berada pada rotasi sesungguhnya. Mungkin ini sangat berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat bahwa Bulan merupakan wujud transendens dalam bentuk nyata sebagaimana halnya perkawinan kosmic "Du'a Lulu Wula & Ngga'e Wena Tana" tersebut.