NTT sangat kaya dengan alat musik tradisionil. Misalnya Sato, alat musik gesek di Ende-Lio, Flores.
Alat musik ini ditemui tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT
di desa kecil nan elok, Waturaka, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende.
Semula Sato dimainkan sebagai teman pelipur lara,
ungkapan hati di kala sepi.
Namun, kini alat musik tersebut berkembang
menjadi hiburan musik panggung dan mengisi acara rohani.
Sato dibuat dari bila (semacam labu),
dapat pula dibuat dari batok kelapa.
Alat musik ini mirip biola.
Dulu, dawai Sato dibuat dari lema mori
(serat daun lidah buaya yang dijalin dengan getah kenari).
Saat ini, dawai Sato kebanyakan menggunakan senar gitar nomor 1-3.
Alat geseknya berbentuk busur kecil dengan tali dari bahan ijuk.
Di desa itu ada Marselinus Satu (58),
seorang pemusik dan pemelihara musik sato di Waturaka.
Juga ada sanggar musik tradisional bernama Mutu Lo’o (Kelimutu Kecil) tahun 2000.
Sanggar musik itu beranggotakan 25 orang yang berusia 30 tahun ke atas,
dipimpin oleh Robertus Nggele.
Sanggar musik ini memiliki koleksi perkusi langka, Nggo Dhengi atau Nggo Bhonga.
Alat ini terdiri atas tujuh ruas kayu denu atau wae sebagai sumber nada,
dirangkai dengan tali dan digantung di antara dua tiang.
Ketujuh kayu itu dipukul dengan sepotong kayu kering
sehingga menghasilkan bunyi.
Pada saat tim Kompas berkunjung,
mereka dengan senang hati memainkannya.
Untuk mengumpulkan mereka harus menunggu sekitar 30 menit
karena mereka masih bekerja di kebun.
Penampilan mereka seadanya,
atasan kaus dipadu sarung atau celana pendek, tanpa alas kaki.
Namun, paduan musiknya terasa unik dan menenangkan perasaan.
Selain Sato, ada juga suling, gambus, ukulele, dan gendang.
(sumber: KOMPAS).