Kisah Menarik:
Oleh: Marlin Bato
Jakarta, 20/02/2012
Gambar ini hanya ilustrasi
(Tulisan ini sebagai bahan renungan, diangkat dari kisah nyata seseorang yang tidak ingin namanya disebutkan. Jika ada kesamaan nama dan tempat, itu hanya kebetulan semata).
--------------------------------------------------------------------------------------------
:-Sebut saja nama saya, Chintya Caroline (nama samaran). Berparas elok nan rupawan, kulit putih, rambut lurus semampai dan hidung mancung serta berbadan langsing proporsional. Lahir dari ayah dan ibu berdarah Lio tulen keturunan bangsawan, yang kebetulan sudah lama bermigrasi tinggal di Jakarta. Jikalau ada yang membaca nama saya, pasti mereka tak pernah menduga kalau saya adalah gadis berdarah Lio. Saya pun heran kenapa ayah-ibu saya tak mendaftarkan saya sekolah dengan mencantumkan "Fam" ayah saya sebagai penanda kalau saya adalah gadis berdarah Lio. Dulu pernah terpikir mau bertanya ke ayah saya “kenapa saya tak pakai Fam ?”, tapi entah kenapa saya lupa dan tak sempat bertanya langsung. Lagi pula bagi saya 'Fam (family)' itu tak begitu penting. Jadilah sekarang semua ijasah saya mencantumkan nama saja tanpa fam ayah saya. ( Kasihan gadis Lio kehilangan identitas....hehehe )
:-Teman-teman saya yang semula tak menduga saya gadis Lio dan di kemudian hari mereka tahu saya gadis Lio, akan selalu mengeluarkan rasa kaget yang sama dan mencecar saya dengan segudang pertanyaan. Capek dech! Kok nama kamu gak pakai Fam sich? Kamu fam apa? Kampungnya di mana? Kamu bisa bahasa Lio tidak? Masih panjang lagi pertanyaannya. Kalau saya jabarkan di sini bisa jadi 2Km panjangnya. hahaha…maaf ini sich lebay dikit:-)
:-Yang lebih menyedihkan lagi, saya jarang bergaul atau berteman dengan orang Lio. Bahkan saya tak begitu lancar berbahasa Lio. Sejak saya kecil, kami sekeluarga tinggal di Jakarta, yang masyarakatnya mayoritas Jawa, Melayu dan beragama Muslim. Bayangkan dari jutaan penghuni kota Jakarta, saya tepatnya yang tinggal di kawasan Tanjung Periuk Jakarta Utara, hanya ada beberapa kepala keluarga yang beragama Nasrani. Bahasa sehari-hari pun yang dipakai adalah bahasa Indonesia berdialek Betawi. Walaupun di rumah kami, ayah-ibu saya menggunakan bahasa Lio tapi semua anak-anaknya selalu menjawab dalam bahasa yang kental dengan dialek Betawi ini. Itulah sebabnya saya mengerti sedikit bahasa Lio tapi kurang bisa berkomunikasi dengan bahasa Lio yang baik dan benar.
:-Bahkan saya pun tak begitu peduli dengan segala macam adat-istiadat Lio yang rumit dan unik ini. Padahal ayah-ibu saya sangat gigih dan setia menjalankan seluruh adat-istiadat Lio ini, tapi saya sebagai salah satu keturunannya kurang begitu peduli. Saya pusing melihat silsilah keluarga yang begitu panjang. Lagian apa untungnya sich mengikuti segala macam aturan dan adat-istiadat ini. Mau menikahkan anak perempuan dengan lelaki Lio saja repotnya bukan main. Alamak para kedua pihak keluarga itu bisa semalaman berdiskusi masalah “Tu Ngawu alias belis (mahar)”. Bisa pula gara-gara belis yang terlalu murah atau terlalu mahal, batal menikah. Bukan karena kedua mempelai tak setuju dengan belis tersebut. Tapi para sesepuh dan keluarga yang tak mau terima dengan nilai belis tersebut. Ada-ada saja, kataku!
:-Saya pernah sampai bilang begini sama ayah saya : “Sampai mati pun, saya tak mau menikah sama orang Lio”. Masah gara-gara belis (mahar) yang tak sesuai dengan kesepakatan kedua pihak keluarga, bisa batal menikah. Ngapain menikah pakai adat Lio segala, kalau hanya bikin susah dan repot saja. Buang saja adat Lio itu ke laut sana, kata saya dengan amarah yang meledak-ledak. Saat itu ayah-ibu saya hanya diam membisu. Mungkin mereka pun mulai sadar bahwa ada beberapa hal yang memberatkan dalam adat Lio ini.
:-Akibat rumitnya adat Lio ini membuat saya mulai alergi dan semakin tak peduli dengan adat Lio. Saking sebelnya sama hal-hal yang berbau Lio, seringkali saya menghindari bergaul dengan teman-teman dari suku Lio. Jadilah saya gadis berdarah Lio yang buta sama sekali tentang adat-istiadat Lio. Saya hanya hafal nama-nama keluarga ayah-ibu terdekat. Tapi kalau sudah mulai ditanya soal “Nge Wa'u” atau silsilah keluarga saya, maka saya hanya bisa jawab : “Maaf maaf! Saya kurang tahu. Nanti saya tanya dulu ayah dan ibu saya”.
:-Karena seringnya saya tak tahu apa-apa tentang adat Lio ini, sampai pernah ada yang bilang begini ke saya: Gila, kamu belagu banget sich! Masak gak bisa bahasa Lio? Beneran gak bisa atau pura-pura gak bisa ni? Kenapa? Malu yah jadi orang Lio? Sombong banget sich lho! Masak kamu gak tahu silsilah keluargamu? yang bener aja dong…Belagu lho!
:-Waktu dibombardir dengan kata-kata seperti itu, amarah saya hampir meledak dan rasanya pengen membogem orang itu sampai modar. Apa urusannya dia marah-marah sama saya karena tak tahu adat Lio. Siapa dia? Bukan saudara, bukan sahabat dekat, hanya kenalan biasa. Saya marah sekali, sejuta kata-kata makian sudah menari-nari di otak saya dan mulut saya siap memuntahkan makian. Tapi entah kekuatan apa yang menahan mulut saya untuk tidak berbicara. Saya terdiam, diam membeku dalam kebisuan panjang.
:-Saya ingin berteriak, tapi tak ada suara yang keluar dari mulut saya. Alih-alih memaki, saya malah masuk ke kamar saya, mengambil foto ibu saya, memandangi matanya yang teduh dan penuh kasih. Akhirnya karena dada saya sesak menahan marah, malah saya nangis bombay. Dan sorot mata ibu saya pun seolah-olah turut mengaminkan tuduhan orang itu. Saya merasa ibu saya sedang bicara melalui sorot matanya ke saya. “Benar anakku, kamu sudah lupa dengan akar budayamu”. “Kamu sudah lupa dari mana asal usulmu”. Apa yang dituduhkan temanmu itu: “Benar. Benar sekali. Coba renungkan baik-baik”. Tapi otakku mulai menjawab: “Iyah, benar sich benar. Tapi dia tak perlu ngomong gitu dong”. Saya mulai berbantah-bantah dengan nurani saya
:-Setelah kejadian konyol itu, saya mencoba menenangkan diri saya sampai berhari-hari. Saya coba introspeksi diri, suka atau tak suka, pada akhirnya saya mengakui bahwa apa yang dikatakan teman saya itu ada benarnya juga: “Saya memang TERLALU”. Masak orang Lio, gak tahu silsilah keluarga sendiri. Dan saya pun tak perlu beradu argumen tentang tudingannya itu. Yah, saya akui sekarang bahwa saya memang belagu banget. Titik.
:-Kejadian itu telah menjadi “turning point” bagi saya. Saya mulai berubah sedikit demi sedikit. Saya mulai rajin menelpon kakek nenek saya dikampung tentang urusan silsilah keluarga saya. Saya mulai gila mencari informasi dari semua media tentang segala tetek-bengek adat-istiadat Lio yang rumit ini. Dan mencari tahu segala pernak-pernik budaya Lio. Mulai dari sarung bermotif Lio (Lawo), selendang (Luka), lambu nua (baju bodo) dll kudapati untuk koleksi pribadi. Sampai kearifan budaya Lio pun aku pelajari dari berbagai media dan milis. Dan seketika aku sadar, ternyata aku telah menemukan jati diri dan identitasku kembali. Sesekali waktu saya mulai mengenakan sarung Lio dan mulai mengakrabi segala pernak-pernik satu persatu. Dalam waktu singkat saya sudah banyak tahu tentang adat-istiadat dan budaya Lio. Ternyata semakin saya belajar, semakin saya menyadari betapa hebatnya nenek moyang orang Lio dan betapa kayanya khasanah budaya Lio.
:-Satu hal yang membuat saya sangat kagum adalah betapa cerdasnya nenek moyang orang Lio dalam hal mengidentifikasi seluruh garis keturunan. Bisa dibayangkan betapa efisiennya sistem pencantuman garis keturunan ini pada setiap orang Lio, sehingga di kemudian hari siapa pun pasti mampu menelusuri setiap garis keturunannya, walaupun sudah sampai tujuh turunan. Luar biasa. Dan sistem pencantuman "Nge Wa'u - keturunan" ini pun akan cukup efektif untuk mencegah perkawinan sedarah. Menurut adat Lio, orang Lio yang satu garis keturunan "Teke Ria Fai Ngga'e" itu adalah adik-beradik dan dilarang kawin-mawin karena masih sedarah. Pada akhirnya, ranting waktu pun menjawab bahwa aku ini gadis berdarah Lio. Tulen!!
:-Dan kini aku pun sangat mencintai budayaku, sebagaimana Pastor Jhon Mansford Prior mengungkapkan dalam bukunya berjudul "Daya Hening Upaya Juang", bahwa Budaya Lionis adalah "Religion Kami dan Humanity Kami". Sebagai kaum Lionis, aku sadar bahwa aku (Lionis) hanyalah Raib Cultur di daratan bumi ini, tapi dimata intelektual dunia, aku dan Lionis lainnya akan selalu menjejaki waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan bahkan tahun demi tahun, karena yang tertinggal diantara seluruh suku di muka bumi ini hanyalah “LIO CULTUR” yang tetap bertahan sepanjang masa. Budayaku yang Kental dan punya Hubungan dengan Sang Pencipta. Maka LIONIS CULTUR ku ini, kusebut L I O N I S - R E L I G I O N. Ekspresi kemajuan diriku atas pembelajaran tentang Budaya Lio yang sederhana dan teratur membuat aku tidak lagi tersisih, terasing menjadi “The Margin” atau “Kaum Tepian”.
Terimakasih, semoga tulisan ini menyegarkan ingatan kita semua agar tidak melupakan dari mana kita bermula dan kemana kita berakhir.