Sebelum agama Katolik tiba di Flores pada abad ke-16, masyarakat Lio sudah mengenal Tuhan yang Kuasa, yang disebut ‘Du'a Nggae’ atau Tuhan Yang Esa. Kata Du'a Nggae mengandung makna yang sangat mendalam. Meskipun Agama Katholik sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, namun kehidupan keagamaan di Pulau Flores khususnya suku Lio memiliki pelbagai kekhasan. Bagaimanapun, kehidupan beragama di Flores sebagaimana juga di berbagai daerah lainnya di Nusantara sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural yaitu pola tradisi asli warisan nenek-moyang. Unsur-unsur ini diberi bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga Vatter (1984: 38) menilai di beberapa tempat di Flores ada semacam percampuran yang aneh antara Kristianitas dan kekafiran. Oleh karena itu saya mencoba memaparkan pandangan mengenai kata "Dua Nggae".
Menurut kepercayaan masyarakat Lio, "DU'A NGGAE" berasal dari kalimat "DU'A GHETA LULU WULA, NGGA'E GHALE WENA TANA". Kalimat ini kalau diterjemahkan secara harfia;
1. 'Du'a Gheta lulu wula' artinya Tuhan yang ada diatas bulan. Akan tetapi kalimat ini tidak serta merta mempunyai makna bahwa Tuhan berada dibulan saja melainkan Tuhan yang dilangit, hal ini lebih dikarenakan masyarakat Lio beranggapan bahwa bulan berada langit. Oleh karena itu masyarakat Lio sangat percaya dan menjunjung setinggi-tingginya wujud Tuhan sebagai penguasa berada ditempat yang Maha Tinggi.
2. Ngga'e ghale wena tana artinya Tuhan yang ditanah, sama seperti diatas tadi kalimat ini tidak serta merta juga mempunyai makna bahwa Tuhan cuma berada ditanah saja melainkan dibumi secara keseluruhan oleh karena itu masyarakat Lio menempatkan wujud Tuhan sebagai penguasa bumi.
Mengenai kata "DU'A NGGA'E", adalah penggabungan dari kalimat "DU'A GHETA LULU WULA, NGGA'E GHALE WENA TANA. Meskipun demikian namun kata DU'A NGGA'E mempunyai makna yang lebih mendalam lagi yaitu;
1. DU'A artinya Yang Tertua dari segala yang Tua, sedangkan
2. NGGA'E artinya Yang memiliki, berhak penuh dari segala sesuatu dan berkuasa dari segala kuasa. Makanya kedua kata ini adalah satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan sehingga kata; DU'A NGGA'E berarti yaitu; TUHAN YANG MEMILIKI SEGALANYA DAN BERKUASA DILANGIT DAN DIBUMI.
Oleh karena itu, saya berpandangan bahwa sebelum Agama Katholik masuk diFlores pada abad ke-16 masyarakat Flores khususnya masyarakat Lio sudah percaya adanya TUHAN. Alasan ini saya kemukakan karena Studi Graham (1985) mengungkapkan bahwa dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Lio, ada empat aspek yang memainkan peranan penting, yaitu episode-episode dalam mitos asal-usul, dan tiga simbol ritual lainnya yakni wisu lulu (altar/batu pemujaan), sa'o ria tenda bewa (rumah adat), dan heda hanga (tempat menari yang biasanya terletak di halaman).
Dengan demikian disebutkan pula bahwa masyarakat Lio memiliki penghargaan yang sangat tinggi akan adat-istiadat dan upacara-upacara ritual warisan nenek-moyangnya. Hal ini ditandai dengan selalu adanya ungkapan kata DUA GHETA LULU WULA, NGGA'E GHALE WENA TANA pada setiap pelaksanaan seremoni adat misalnya upacara mbama/gawi (upacara syukuran), upacara Po'o Are (upacara minta Hujan) dll. Mitos cerita asal-usul juga dipandang sebagai unsur terpenting dalam menentukan otoritas dan kekuasaan. Melalui episode-episode dalam mitos asal-usul itulah legitimasi magis leluhur pertama dapat diperoleh. Mitos asal-usul yang sering dikeramatkan itu biasanya diceritakan kembali pada kesempatan-kesempatan ritual formal seperti upacara syukuran, upacara minta hujan, membangun relasi perkawinan, upacara penguburan, terjadi sengketa tanah, persiapan perang, pembukaan ladang baru, panen, menerima tamu, dan sebagainya. Musu mase atau altar/batu pemujaan merupakan simbol kehadiran DU'A NGGA'E.
Adapun masyarakat Lio sangat meyakini bahwa bahwa DU'A GHETA LULU WULA bersatu dengan NGGA'E GHALE WENA TANA melalui Au Wula leja yang ditanam pojok kanan depan Ruimah adat lalu menyatu di wisu-lulu tersebut.. Rumah adat Sa'o Ria Tenda Bewa yang dilengkapi dengan Heda Hanga adalah "gereja" tradisional, pusat pengharapan dan penghiburan masyarakat Lio. Sangat kuat dan menonjolnya peranan devoci kepada Tuhan di kalangan masyarakat Lio di satu pihak menunjukkan unsur historis (warisan zaman Portugis) tetapi sekaligus kultural (pemujaan terhadap Tuhan Sang Penguasa, seperti dalam ungkapan DU'A GHETA LULU WULA, NGGA'E GHALE WENA TANA.
Oleh; Florensius Sumarlin Bato
WANES-LISE