Wilayah yang diabaikan dalam rute wisata Flores ini diam-diam menyimpan kekayaan alam serta budaya. Sampai kapan orang mengacuhkanya??
Jalan menuju Mbay, Nagekeo merupakan jalan imaji bagi para kelana. Menyimpang kekanan Aegela, perhentian populae selepas Ende, jalan ini didominasi lintasan lugas yang tak buruk aspalnya. Lucunya setiap kali saya berharap melihat setitik hitam sebagai ujung jalur lurusnya, jalan ini malah memunculkan kelokan-kelokan tajam secara mengejutkan.
Tapi saya menyukai kelengangannya. Saya menyukai ilalang yang mengagresi bukit-bukit berundak Nagekeo. Sedikit hutan, kebanyakan belukar setinggi pinggang yang saya pastikan langsung kecoklatan warnanya begitu hujan ingkar datang dalam sepekan. Rumah-rumah disisi jalan berdiri berjauhan satu sama lain. Terkesan saling mengasingkan diri, kontras dengan para penghuni yang saban hari gemar bertandang ke tetangga mereka dan membicarakan hal sepele berlarut-larut.
Mahkluk yang paling mudah dijumpai disini adalah kawanan sapi yang dilepas bebas merumput naik turun bukit. Sedangkan cakrawalanya kerap dihiasi gerombolan elang, menciptakan aura magis tersendiri. Rute yang membelah punggung bukit dengan panorama luas hingga kaki langit penuh kebisuan seperti ini merupakan bentang kertas yang siap diisi ide hebat maupun gagasan revolusioner mengenai banyak hal.
Sebagaimana pepatah mengatakan, "Ditanah basah engkau boleh mendapat kearifan, namun ditanah keringlah ilhammu digelorakan". Itulah saya menyebut jalan menuju Mbay sebagai jalan imaji, terlebih jika bertualang seorang diri.
Menjelang Mbay, kesempurnaan perjalanan mencapai klimaks manalaka awan-awan berserak disisi barat perlahan berubah kekuningan. Undak-undakan bukit nan jauh saling bersilang seakan berebut pendar terakhir matahari. Ilalang menegakkan pucuknya demi menghirup aroma penghujung hari. Inilah persembahan senja perbukitan Nagekeo. Hawa sejuk membuka pori kulit dan menyusup dalam tubuh. Angin menjadikan saya sadar akan sensasi alam, menjadikan saya serupa mummi berdebu yang dibangkitkan embusan mantra. Ya, mantra yang mengecoh orang sehingga tak peduli dengan keindahan daerah ini. Mantra yang selama ini membuat nama Nagekeo tidak masuk dalam jalur wisata Pulau Flores.
Saga Tutubhada
Jika bicara tentang kampung tradisional di Flores, rujukan populer adalah kampung Bena (Ngada), kampung Nggela (Ende), kampung Wae Rebo (Manggarai). Nyatanya, Nagekeo pun punya kampung adat yang tak kalah memikat, bernama Tutubhada.
Berada diketinggian terkitari bukit sabana, Tutubhada sudah eksis selama ratusan tahun. Penduduk yang berdiam disini keturunan suku Rendo yang dulunya pandai berburu. Suku Rendo tersebar membentuk tujuh klan dan kebanyakan membentuk komunitas diatas bukit atau dilembah-lembah yang saling berjauhan. Ketika peristiwa besar hendak dilakukan, ketujuh klan mengirimkan wakilnya untuk hadir dalam musyawara. Tak ubahnya pertemuan kaum Elf dalam sekuel Lord of The Ring.
Legenda terbentuknya Tutubhada terbilang unik. Konon, areal ini aslinya berupa sebuah kubangan air yang ditunggui kerbau purba berukuran raksasa, juga memiliki tembolok menjuntai. Suatu masa kemarau panjang terjadi. Suku Rendo menemukan air ini dan harus berhadapan dengan kerbau ini. Pertempuran pun terjadi, kerbau pun berhasil dibinasakan. Mereka kemudian mendirikan kampung, lalu menamakannya Tutubhada, yang berarti tembolok kerbau sebagai pengingat asal muasal.
Saat saya datang, terdapat selusin rumah tradisional berhadapan memanjang, areal tengahnya seperti lapangan bola, tempat dihelat upacara massal. Rumah-rumah di Tutubhada memiliki "Strata Kedewasaan" sendiri-sendiri. Tolak ukurnya bisa diamati dari bentuk rumah. Semakin tinggi atap, berarti semakin tinggi pula usia dan nilai bangunan.
Kaum lanjut usia di Tutubhada sangat dihormati. Setiap pagi kala fajar menyingsing, anak dan cucu menuntun mereka ke depan 'bale' untuk berjemur dibawah sinar matahari. Sungguh pemandangan yang menyentuh dan humanis. Mereka membuai saya dengan kisah-kisah leluhur, saga yang dibawah turun temurun.
Menggapai Puncak Ebulobo
Terlepas dari keindahan bukit sabana dan kampung tradisional yang lestari, landmark Nagekeo sesungguhnya adalah Gunung Ebulobo. Perawakan tinggi menjulang mencuri perhatian, apalagi letaknya ditengah-tengah. Tinggi gunung yang masih berstatus aktif ini 2.137 dpl, tapi jangan dianggap remeh sebab ia masuk tipe stratovolcano. Lereng-lerengnya terjal berbatu, bukan berpasir. Salah berpijak, nyawa taruhannya.
Sebagai pecinta gunung, saya langsung jatuh hati pada Ebulobo pada pandangan pertama. Dari kejauhan pun dia sudah menyiratkan tampilan dramatis. Tengok saja pada bagian puncaknya yang terbelah, retakan sana-sini, berwarna putih laiknya dihinggapi salju, serta asap dari perutnya yang tiada henti mengepul.
Titik untuk memulai pendakian berada di Desa Mulakoli, sekitar 10 km dari jalan raya. Rute ke sini mudah saja sebab aspal jalannya dalam kondisi baik. Saya tiba petang hari dan menumpang tidur di rumah salah satu warga. Sudah bukan sebuah anomali lagi bila di Nagekeo warganya ramah, membuka pintu untuk siapa saja meski mereka hidup dalam kebersahajaan.
Impian saya adalah menyambut matahari pagi di puncak Ebulobo. Berbekal senter serta makanan yang dikemas sehari sebelumnya, saya mulai mendaki pukul 03.00. Untungnya, jalur pendakian berada disamping rumah tempat saya menginap. Pertama-tama saya melewati kebun warga, lalu masuk hutan lebat yang ditudungi pepohonan tinggi. Sebuah keajaiban terjadi saat saya mematikan nyala senter. Sekonyong-konyong permukaan tanah dalam hutan mengeluarkan kelap kelip berwarna biru. Mungkin cahaya dari hewan-hewan mikroba.
Karena ritme pendakian yang kurang cepat, sunrise tidak saya nikmati dipuncak Ebulobo, tapi di lereng-lereng berbatu. Namun pemandangannya sungguh spektakuler. Pengantian warna langit dan bias matahari pagi membuat saya merasa begitu kerdil didekap kebesaran alam.
Akhirnya saya bisa menggapai titik tertinggi Ebulobo, atapnya Nagekeo. Berdiri di puncak gunung sendirian, saya terkenang saga yang dikisahkan penduduk Tutubhada. Saya juga menebak-nebak letak perbukitan sabana yang sempat saya datangi sebelumnya dan yang ingin saya singgahi selepas ini nanti. Ada yang mau ikut ??
Artikel dan gambar ini dikutip dari majalah LIONMAG Juni 2015 - Ditulis oleh Valentino Luis
Artikel dan gambar ini dikutip dari majalah LIONMAG Juni 2015 - Ditulis oleh Valentino Luis