(Sebuah resensi: Luka, Lawo, Ngawu - Kekayaan Kain Tenunan dan Belis di Wilayah Lio, Flores Tengah)
Oleh: Marlin Bato
Jakarta, 24 Desember 2015
Judul : LUKA, LAWO, NGAWU – Kekayaan Kain Tenunan dan Belis di Wilayah Lio, Flores Tengah
Penulis : Prof. Dr. Willemijn de Jong
Penerbit : Penerbit Ledalero, Cet. 1 Oktober 2015
Jumlah Hlm : xiv 456 hlm
Ukuran buku : 150 x 230 mm
ISBN : 978-602-1161-14-2
Harga : Rp.95.000
Kategori : Sosio Antropologi
Buku
etnobudaya berjudul; Luka, Lawo, Ngawu ini buah karya Prof. Dr.
Willemijn de Jong, hasil penelitian selama kurang lebih dua (2) tahun di
wilayah Nggela pada tahun 1998-2000. Dalam buku ini De Jong banyak
menceritakan secara detail tentang kampung Nggela dengan seluruh
rangkaian aktivitasnya. Salah satu keberhasilan De Jong adalah mampu
menggambarkan secara rinci tempat dan lokasi serta rangkain kronologi
yang ada di buku tersebut.
Di
sisi yang lain, ia juga mengungkapkan hal-hal unik tentang Nggela.
Tentu saja perjalanan penelitiannya setidaknya mengalami beberapa
kesulitan dalam menggali nilai-nilai peradaban budaya Lio khususnya
kampung Nggela, terlebih disebabkan oleh budaya dan bahasa yang berbeda.
Buku
berjudul; Luka, Lawo, Ngawu karya de Jong disebut sebagai sebuah buku
yang sangat bagus, buku langka karena baru kali ini ada sebuah buku yang
mendokumentasikan warisan tradisi Lio secara detail dan dilengkapi
dengan ulasan singkat tentang sejarah dan ritus-ritus dalam masyarakat
adat Lio hingga teknik pembuatan dan pewarnaan tenun yang dipaparkannya
dalam upaya pelestarian tradisi menenun masyarakat Lio.
Selama
penelitian, Willemijn de Jong benar-benar terlibat dan memahami secara
utuh proses pembuatan tenun, mulai dari proses dasar hingga akhir. Hal
yang lebih spesifik diangkat oleh De Jong adalah perempuan-perempuan dan
hubungan sosial mereka dengan kaum laki-laki dalam konteks rumah tangga
serta kekerabatan di dalam masyarakat kampung. Perempuan Lio khususnya
Nggela menurut kajian de Jong bukan hanya sebagai objek lembaga belis
tetapi juga menduduki posisi paling berpengaruh karena mereka menguasai
produk ekonomi kreatif dengan kualitas prestis. [Foto Lola Rea]
Perempuan Nggela menurut de Jong, bukan hanya berada pada pusaran ekploitasi kaum laki-laki, tetapi melalui arti sebuah tenun, de Jong menegaskan pentingnya posisi dan pengaruh perempuan Nggela dimata kaum laki-laki.
Perempuan bagi lelaki Lio umumnya, dan Nggela khususnya berada pada hirarki tertinggi simbol kelahiran dan kesuburan. Maka perempuan Lio diasosiasikan sebagai pertiwi (ibu bumi).
Kiasan “Ibu pertiwi/bumi”, secara harfiah, dimaknai oleh teori ekofeminis untuk menggambarkan kemampuan kaum perempuan dalam hal melahirkan anak, sama halnya dengan bumi, rahim kehidupan.
Kedekatan kaum perempuan dengan alam, atau hakikat alamiah kaum perempuan memberikan nilai moral yang lebih tinggi, yang memiliki intuisi dan hubungan mistis dengan alam karena mengalami “pengalaman” eksploitasi yang sama. Dengan demikian kaum perempuan akan memiliki “suara” lebih lantang dalam memelihara bumi, melawan eksploitasi dan ilmu pengetahuan kaum lelaki.
Melalui budaya menenun perempuan penenun Nggela, de Jong hendak menyampaikan nilai-nilai kebaikan sebagai sumber kehidupan. Dalam banyak hal nilai-nilai itu bahkan ditunjukkan melalui sikap yang tegas terhadap sejumlah persoalan sosial dan ekonomi. Berbagai ragam ilmu dan motif menenun diperankan oleh perempuan yang kerap terpinggirkan oleh dominasi patriarki. Bahkan kadang perempuan harus mempertaruhkan keselamatan demi martabat dan setaraan yang dalamnya terbungkus kecantikan, berderap irama naluri dan nurani tanpa teriak.
Hasil penelitian berjudul; Luka, Lawo, Ngawu ini setebal 456 halaman. Tahun 1998 terbit dalam bahasa Jerman, dan kini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia atas peran penerbit Ledalero. Willemijn de Jong mengupasnya dengan teliti. Setiap runut dan rangkaian kisah diangkat dengan sangat akurat sesuai kesatuan lokalitas kampung Nggela. De Jong menggambarkan kelompok masyarakat di tepi wilayah yang diorganisasi secara egaliter namun tersusun hirarki yang solid dimana peran perempuan selalu dimaknai sebagai penopang kaum lelaki. Sama persis seperti sebuah anekdot; "dibelakang lelaki sukses, pasti ada wanita hebat".
Kesimpulan:
Menenun lungsin bagi perempuan Nggela itu tidak hanya menjadi magnet untuk ladang mencari uang, tetapi juga menjadi ladang barter dan tumbuhnya mahar optimisme serta setaraan derajat. Menenun juga bukan hanya sekedar memenuhi standar ekonomi, tetapi merupakan bagian dari atraksi cipta harmoni kaum penenun gender. Hal itu terbukti bahwa langkah-langkah krusial dalam perkembangan utama manusia dibumi ini banyak terinsipirasi oleh perempuan.
Ketika matahari berdiri tegak di ufuk sana, jemari kaum penenun Nggela aktif menganyam lungsin. Dari helai-helai tercipta lembar-lembar cindera[ber]mata saga, yang kelak menjadi mahar sebagai silih pribadi prestis. Sehelai benang, seribu martabat, sebagai simbol pribadi terhormat, sebagaimana hakikat kesetaraan derajat antara kaum feminim maupun kaum maskulin.
Salam lungsin dari Nggela..!!