Kenau. Sutradara Maarten Treurniet. Pemain: Monic Hendrickx, Barry
Atsma, Lisa Smit, Sallie Harmsen, Fransisco Oimos, dll. Produksi Dutch
Film Works, Nederlands Film Fonds, & FU Works. Rilis Maret 2014
Kematian putrinya membuatnya banting stir menjadi pejuang. Reputasinya,
yang ikut mengantar kemerdekaan Belanda, membuat namanya melegenda. Kenau menerobos
kerumunan orang. Sembari menangis, dia berteriak memanggil nama
putrinya, yang terikat di sebuah tiang kayu. Namun dua penjaga
menghalangi langkahnya. Melihat kedatangan ibunya, tangis Gertruide kian
menjadi, sementara api di sekelilingnya kian membesar.
Kenau (diperankan Monic
Hendrickx) berusaha membujuk putrinya agar mengakui kesalahan dan
mengatakan bahwa dia tetap Katolik, selain terus meyakinkan prajurit
penjaga bahwa anaknya seorang Katolik, bukan Protestan. Tapi upaya Kenau
bertepuk sebelah tangan.
Gertruide (Lisa Smit)
tetap teguh pada keyakinannya; dia tak mengakui lagi Katolik dan
kekuasaan Spanyol. Bersama pujaan hati dan beberapa pemuda lain di tiang
yang lain, kematian Gertruide tinggal menunggu waktu. Hukuman mati
telah dijatuhkan.
Gertruide tewas tak
lama kemudian. Tapi bukan oleh api hukuman, melainkan peluru dari
senapan adiknya, Kathelijne (Sallie Harmsen), yang sengaja menembaknya
lantaran tak tahan melihat penderitaan sang kakak menjalani hukuman
mati.
Kematian Gertruide tak
hanya membuat Kenau kehilangan, tapi juga mengubah jalan hidupnya. Dia
tak lagi apolitis. Dia bertekad ikut berperang mengusir pendudukan
Spanyol. Fase perubahan diri Kenau inilah yang menjadi tema inti film
besutan Sutradara Maarten Treurniet ini.
Sosok Ibu
Kala itu, Belanda masih
menjadi wilayah pendudukan Spanyol. Dengan dalih “Perang Suci”, Raja
Spanyol Phillip II menduduki wilayah-wilayah di Belanda dan menyebarkan
agama Katolik. Gubernur Don Alvares de Toledo mengutus anaknya, Don
Fadrique de Toledo, memimpin pasukan. Kota demi kota jatuh ke tangan
Spanyol.
Yang tersisa hanyalah
Haarlem. Beberapa kali serangan Spanyol ke kota itu selalu menemui
kegagalan. Pengepungan kota menjadi jalan satu-satunya. Di tengah
suasana mencekam itulah Kenau memutuskan untuk berjuang. Didukung
sejumlah janda, Kenau membentuk pasukan yang terdiri dari tigaratus
perempuan. Bersama pasukan di bawah pimpinan Wigbolt Ripperda (Barry
Atsma), mereka bagu-membahu mempertahankan kota dalam sejumlah
pertempuran dan mempermalukan Fadrique de Toledo. Ripperda sendiri ayah
dari Pieter Ripperda, kekasih Gertruide, yang juga dihukum bakar oleh
pasukan pendudukan Spanyol.
Di suatu tempat saat
hujan badai, misalnya, Kenau dan pasukannya menyergap pasukan logistik
musuh. Relasi Kenau dengan orang-orang dekat Fadrique memberi keuntungan
baginya. Dari janda mantan walikota yang ditiduri Fadrique, Kenau
mendapat informasi rencana penyerangan pasukan Spanyol.
Dalam suasana perang
itu, Kenau tetaplah sesosok ibu. Air mata kerap menghiasi pipinya. Dia
mengkhawatirkan putrinya, Kathelijne. Kekhawatiran itu pula yang membuat
Kenau melarang Kathelijne ikut berperang. Ketika benteng kota jebol dan
penduduk melarikan diri, alih-alih berkonsentrasi menghadapi musuh,
Kenau malah sibuk mencari anaknya. Adegan komunikasi hingga ribut antara
Kenau dan Kathelijne kerap muncul. Pun interaksi Kenau dengan
orang-orang di sekelilingnya. Dengan apik sang sutradara membuat adegan
perjuangan maupun yang manusiawi muncul silih-berganti.
Pada akhirnya,
perjuangan penduduk Haarlem melemah akibat blokade yang berlangsung
lama. Bantuan pasukan dari Pangeran William van Oranje juga urung datang
karena dialihkan ke Alkmaar. Banteng kota pun jebol. Kenau dan Ripperda
ditangkap. Sementara Ripperda dipenggal lehernya, Kenau dicemplungkan
ke sungai.
Alih-alih membuat ending
dengan adegan tentang Kenau, sehingga sangat biografis, sutradara
Treurniet justru menutup filmnya dengan keterangan (tulisan) bahwa
perjuangan penduduk Haarlem menjebol bendungan berhasil membanjiri
Alkmaar dan memaksa pasukan Spanyol angkat kaki. Kelanjutan kisah Kenau
dibiarkan menguap laiknya pahlawan pada umumnya yang tak menuntut balas
jasa atas perjuangannya.
“Saya akan tetap
tinggal dan bertempur, untuk kemerdekaan… untuk anak-anak kita, untuk
Haarlem. Anak-cucu kita akan menyanyikan pujian tentang para pahlawan
Haarlem... hidup aman di negeri merdeka,” demikian orasi Kenau di depan
pasukan perempuannya.
Fakta atau Fiksi?
Secara tematis, film
ini sangat menarik. Berlatar masa revolusi Negeri Oranye melawan
pendudukan Spanyol, yang dikenal dengan Perang 80 Tahun, film bergenre
drama-sejarah ini mengadopsi kisah tokoh perempuan legendaris dalam
cerita rakyat, Kenau Simonsdochter Hasselaer. Kenau, hidup antara
1526-1588, adalah janda pengusaha kayu dan pembuat kapal asal Haarlem
yang meneruskan usaha suaminya.
Eksistensi perjuangan
Kenau sendiri masih menjadi perdebatan. Sejarawan Cornelius Ekama yang
kali pertama mempertanyakannya saat perayaan 300 tahun kemerdekaan dari
Spanyol pada 1872. Menurutnya, tak masuk akal jika Kenau dan perempuan
pejuang lainnya tak pernah masuk dalam daftar penjahat perang oleh
Spanyol. Terlebih sepakterjangnya membahayakan eksistensi Spanyol.
Kematian Kenau sendiri punya banyak versi; yang paling kuat: dia dibunuh
bajak laut saat berlayar ke Norwegia. Catatan mengenai perempuan lain
yang berjuang bersama Kanou juga minim.
Menurut Martha Moffitt
Peacock, profesor Sejarah Seni di Brigham Young University, selama abad
ke-17 banyak karya sastra maupun drama yang mengabadikan kisah heroik
perempuan-perempuan Belanda. Kenau bukan satu-satunya, namun kisahnya
paling populer. Dalam lukisan-lukisan, Kenau digambarkan sebagai
perempuan bersenjata lengkap, dari tombak hingga pistol. Begitu juga
patungnya yang kini berdiri di depan stasiun dan pelabuhan di Haarlem.
Besar kemungkinan Kenau
memang ada, tapi kisah perjuangannya dibesar-besarkan hingga menjadi
legenda. “Kisahnya berkembang hingga menjadi mistis,” tulis Martha
Peacock dalam “Hoorndragers and Hennetasters: The Old Impotent Cuckold as ‘Other’ in Sixteenth and Seventeenth Century Netherlandish Art”, dimuat Old Age in the Middle Ages and the Renaissance yang disunting Albrecht Classen.
Terlepas dari plus-minus fakta sejarah, film Kenau
lemah dari segi teknis. Yang paling kentara efek visualnya. Itu bisa
dilihat dari salah satu adegan penyerbuan pasukan Spanyol ke benteng
kota Haarlem. Namun sebagai hiburan, Kenau sangat menarik. Imajinasi sutradaranya juga “nakal.”