Logo

Logo
Latest News
Monday, December 8, 2014

Gula-Gula Ical versus Perppu SBY


Penulis: Ansy Lema - Analis Politik, Dosen FISIP Universitas Nasional (Unas), Jakarta
 
OPINI

Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golongan Karya (PG) yang digelar kubu Ketua Umum PG, Aburizal Bakrie (ARB), akhirnya kembali mengukuhkan ARB sebagai Ketua Umum PG periode 2014-2019. Di tengah konflik internal PG, Ical, sapaan akrab ARB, melaju mulus untuk kembali memimpin PG. Munas juga menghasilkan keputusan penting, yakni menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) Langsung. Padahal, sebelumnya PG telah menandatangani kesepakatan dengan Partai Demokrat (PD) untuk mendukung Perppu. Mengapa kini Golkar mengingkarinya?

Untuk menganalisis perubahan sikap PG, perlu diamati perilaku politik elite PG dan motivasi di baliknya. Bagi elite PG, kesepakatan politik yang telah dibuat bisa diubah jika dipandang tidak menguntungkan kepentingan politiknya. Kerap konsensus politik yang telah dibuat dilanggar atau dikalahkan oleh kepentingan lain yang menguntungkan pihak tertentu. Artinya, kepentingan pihak tertentu bisa mengalahkan kepentingan yang secara prinsipil lebih tinggi nilainya. Penulis mengasumsikan kepentingan yang lebih tinggi adalah Pemilukada Langsung, sementara kepentingan pihak tertentu yang lebih rendah adalah ambisi Ical kembali memimpin PG. Idealnya, politisi bertindak bak negarawan, mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok atau individu. Namun, karena kentalnya pragmatisme politik dalam Parpol, dianggap lumrah bila kepentingan bangsa dikorbankan untuk kepentingan lebih sempit.

Penulis menduga, kebijakan PG menolak Perppu adalah cara Ical menggaet dukungan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) I dan II agar solid mendukungnya. Pernyataan Ketua DPP PG, Azis Syamsudin, yang bocor ke publik soal perlunya PG menolak Perppu karena hal itu menguntungkan elite PG lokal, adalah fakta yang memerkuat kecurigaan penulis. Pernyataan Azis menegaskan Pilkada oleh DPRD adalah "jalan tol" atau privelese politik bagi elite lokal untuk jadi kepala daerah. Dengan menolak Perppu berarti memberi otoritas pada DPRD untuk memilih kepala daerah. Pimpinan PG di daerah juga berpeluang lebih besar diajukan sebagai calon kepala daerah. Sebaliknya, peluang mereka kecil jika berlaku sistem Pemilukada Langsung karena kandidat yang diajukan mesti memiliki elektabilitas (keterpilihan) tinggi, mengingat pemilihnya adalah rakyat. Elite PG lokal tidak melulu memiliki elektabilitas tinggi. Justru banyak calon yang diajukan bukan pejabat teras Parpol, namun figur lain dengan elektabilitas tinggi. Jokowi di Jakarta, Risma di Surabaya, Ridwan Kamil di Bandung adalah figur non-elite Parpol yang diajukan dan menang dalam kontestasi elektoral.

Berdasarkan perspektif demikian, dukungan Ical pada Pilkada oleh DPRD adalah "gula-gula" yang ia berikan pada pemilik suara, yakni DPD I dan II. Maka, menolak Perppu SBY adalah alat tawar politiknya terhadap DPD. Ical berupaya mendulang dukungan DPD dengan memberi keistimewaan pada elite DPD untuk menentukan kepala daerah atau diajukan sebagai calon kepala daerah. Tak hanya itu, Ical juga punya cara lain untuk menjaga loyalitas DPD padanya. Dengan menjalanlan metode stick and carrot, Ical mengunci dukungan DPD. Imbalan dan iming-iming ia berikan pada DPD yang loyal, sementara penentangnya diberi hukuman. Rakyat tentu cerdas menilai aiapa yang diuntungkan dalam hal ini.

Fakta di atas menegaskan kepentingan bangsa bisa dibajak segelintir elite politik untuk kepentingan mereka. Jika politik transaksional terus dipraktekkan dalam politik kepartaian, Parpol justru jadi beban, bukan aset bagi demokrasi. Kalau pun dianggap sebagai pilar demokrasi, lebih tepat Parpol disebut pilar keropos, rapuh. Publik tak bisa berharap dari Parpol yang dikelola ala perusahaan, yang melulu mengutamakan kalkulasi untung-rugi dalam politik. Bahaya jika Parpol dikuasai oligarki pemilik modal.

Penulis teringat pemikiran Plato, filsuf legendaris Yunani Kuno. Plato membagi 3 kelas masyarakat dan menganalogikannya dengan anatomi tubuh manusia. Pengelompokan kelas dimaksudkan untuk menjelaskan siapa yang sesungguhnya layak memimpin negara. Kelas pertama ia analogikan sebagai masyarakat yang berada di sekitar perut ke bawah. Ciri kelas ini adalah bekerja dengan berorientasi pada aspek kebendaan dan materi. Dalam arti negatif, orientasi kelas ini bisa paralel dengan naluri hewani, semata nafsu, hasrat dan syahwat. Saudagar dan pedagang berada di kelas ini karena berorientasi pada materi. Kelas kedua adalah masyarakat yang berada di atas perut hingga dada. Kelas ini umumnya terdiri atas serdadu dan tentara karena mengutamakan kehormatan dan kedisiplinan yang disimbolkan dengan dada membusung.

Kelas terakhir adalah kelas kaum Sofis, yakni yang berada di sekitar kepala. Kelas Sofis adalah pemuja kebenaran dan pencinta kebijaksanaan. Mereka adalah pemikir konsep negara yang melahirkan gagasan besar perihal bagaimana mengelola negara. Politik kaum Sofis adalah politik nilai (values), bukan politik nominal atau politik fulus. Kaum sofis memuliakan nalar dan etika, mereka tidak dikuasai materi. Plato menyebut negara harus dipimpin oleh kelas ini yang direpresentasikan oleh kepemimpinan filsuf-raja (king-philosopher). Menurutnya, pemimpin yang baik harus memiliki kualifikasi filsuf, sekaligus raja. Filsuf adalah pecinta kebenaran dan pemuja kebajikan dengan gagasan visioner, sementara raja adalah pemimpin tegas dan adil.

Masuk kelas mana para elite Parpol? Pertanyaan ini relevan diajukan mengingat Parpol adalah institusi yang memproduksi, mendidik, mendistribusikan kadernya untuk menjadi pemimpin dengan duduk di berbagai institusi negara. Namun, tanpa metode rekrutmen dan kurikulum pendidikan kader yang selektif-berkualitas, mustahil Parpol sanggup menghasilkan pemimpin.

Kembali ke soal Pemilukada Langsung yang ditolak karena dinilai memicu politik uang (money politics), mengutip filsuf Ignas Kleden, penulis menegaskan bahwa politik uang sesungguhnya bermula dari elite politik, bukan dari rakyat. Elite yang punya uang dan karenanya bisa membeli suara rakyat. Elite pula yang meyakini suara bisa dibeli. Jika kini terjadi transaksi suara dan harga suara menjadi mahal, itu adalah konsekuensi adanya permintaan dan penawaran dalam pasar politik. Rakyat tak bisa disalahkan. Politik uang dan politik biaya tinggi hanya bisa dihentikan jika elite Parpol berhenti membeli suara konstituen.

Terakhir, Pemilukada Langsung lebih baik dari Pilkada oleh DPRD sebab rakyat memiliki hak menentukan pemimpinnya. Dengan memilih langsung pemimpinnya, rakyat berpartisipasi dalam proses demokrasi. Rakyat menjadi subyek dan pelaku demokrasi, bukan penonton. Di tengah meluasnya krisis kepercayaan (distrust) terhadap politisi dan Parpol, Pemilukada Langsung lebih baik dari pilkada oleh DPRD. Apalagi, Survei Indeks Demokrasi Indonesia yang dilakukan Bappenas menyimpulkan kinerja institusi DPRD masuk kategori buruk. Dengan membagi 3 kategori skor, yakni 80-100 untuk kategori baik, 60-79 kategori sedang dan di bawahnya kategori buruk, studi Bappenas menempatkan DPRD berada di angka 36,62. Itu berarti, kinerka DPRD dinilai buruk. Apa yang bisa diharapkan dari lembaga negara dengan kinerja buruk seperti DPRD?     ****
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Gula-Gula Ical versus Perppu SBY Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi