Penulis: Ansy Lema - Analis Politik, Dosen FISIP Universitas Nasional (Unas), Jakarta
OPINI
Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golongan Karya (PG) yang digelar
kubu Ketua Umum PG, Aburizal Bakrie (ARB), akhirnya kembali mengukuhkan
ARB sebagai Ketua Umum PG periode 2014-2019. Di tengah konflik internal
PG, Ical, sapaan akrab ARB, melaju mulus untuk kembali memimpin PG.
Munas juga menghasilkan keputusan penting, yakni menolak Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) Langsung. Padahal, sebelumnya PG
telah menandatangani kesepakatan dengan Partai Demokrat (PD) untuk
mendukung Perppu. Mengapa kini Golkar mengingkarinya?
Untuk
menganalisis perubahan sikap PG, perlu diamati perilaku politik elite PG
dan motivasi di baliknya. Bagi elite PG, kesepakatan politik yang telah
dibuat bisa diubah jika dipandang tidak menguntungkan kepentingan
politiknya. Kerap konsensus politik yang telah dibuat dilanggar atau
dikalahkan oleh kepentingan lain yang menguntungkan pihak tertentu.
Artinya, kepentingan pihak tertentu bisa mengalahkan kepentingan yang
secara prinsipil lebih tinggi nilainya. Penulis mengasumsikan
kepentingan yang lebih tinggi adalah Pemilukada Langsung, sementara
kepentingan pihak tertentu yang lebih rendah adalah ambisi Ical kembali
memimpin PG. Idealnya, politisi bertindak bak negarawan, mengutamakan
kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok atau individu. Namun,
karena kentalnya pragmatisme politik dalam Parpol, dianggap lumrah bila
kepentingan bangsa dikorbankan untuk kepentingan lebih sempit.
Penulis menduga, kebijakan PG menolak Perppu adalah cara Ical menggaet
dukungan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) I dan II agar solid mendukungnya.
Pernyataan Ketua DPP PG, Azis Syamsudin, yang bocor ke publik soal
perlunya PG menolak Perppu karena hal itu menguntungkan elite PG lokal,
adalah fakta yang memerkuat kecurigaan penulis. Pernyataan Azis
menegaskan Pilkada oleh DPRD adalah "jalan tol" atau privelese politik
bagi elite lokal untuk jadi kepala daerah. Dengan menolak Perppu berarti
memberi otoritas pada DPRD untuk memilih kepala daerah. Pimpinan PG di
daerah juga berpeluang lebih besar diajukan sebagai calon kepala daerah.
Sebaliknya, peluang mereka kecil jika berlaku sistem Pemilukada
Langsung karena kandidat yang diajukan mesti memiliki elektabilitas
(keterpilihan) tinggi, mengingat pemilihnya adalah rakyat. Elite PG
lokal tidak melulu memiliki elektabilitas tinggi. Justru banyak calon
yang diajukan bukan pejabat teras Parpol, namun figur lain dengan
elektabilitas tinggi. Jokowi di Jakarta, Risma di Surabaya, Ridwan Kamil
di Bandung adalah figur non-elite Parpol yang diajukan dan menang dalam
kontestasi elektoral.
Berdasarkan perspektif demikian, dukungan
Ical pada Pilkada oleh DPRD adalah "gula-gula" yang ia berikan pada
pemilik suara, yakni DPD I dan II. Maka, menolak Perppu SBY adalah alat
tawar politiknya terhadap DPD. Ical berupaya mendulang dukungan DPD
dengan memberi keistimewaan pada elite DPD untuk menentukan kepala
daerah atau diajukan sebagai calon kepala daerah. Tak hanya itu, Ical
juga punya cara lain untuk menjaga loyalitas DPD padanya. Dengan
menjalanlan metode stick and carrot, Ical mengunci dukungan DPD. Imbalan
dan iming-iming ia berikan pada DPD yang loyal, sementara penentangnya
diberi hukuman. Rakyat tentu cerdas menilai aiapa yang diuntungkan dalam
hal ini.
Fakta di atas menegaskan kepentingan bangsa bisa
dibajak segelintir elite politik untuk kepentingan mereka. Jika politik
transaksional terus dipraktekkan dalam politik kepartaian, Parpol justru
jadi beban, bukan aset bagi demokrasi. Kalau pun dianggap sebagai pilar
demokrasi, lebih tepat Parpol disebut pilar keropos, rapuh. Publik tak
bisa berharap dari Parpol yang dikelola ala perusahaan, yang melulu
mengutamakan kalkulasi untung-rugi dalam politik. Bahaya jika Parpol
dikuasai oligarki pemilik modal.
Penulis teringat pemikiran
Plato, filsuf legendaris Yunani Kuno. Plato membagi 3 kelas masyarakat
dan menganalogikannya dengan anatomi tubuh manusia. Pengelompokan kelas
dimaksudkan untuk menjelaskan siapa yang sesungguhnya layak memimpin
negara. Kelas pertama ia analogikan sebagai masyarakat yang berada di
sekitar perut ke bawah. Ciri kelas ini adalah bekerja dengan
berorientasi pada aspek kebendaan dan materi. Dalam arti negatif,
orientasi kelas ini bisa paralel dengan naluri hewani, semata nafsu,
hasrat dan syahwat. Saudagar dan pedagang berada di kelas ini karena
berorientasi pada materi. Kelas kedua adalah masyarakat yang berada di
atas perut hingga dada. Kelas ini umumnya terdiri atas serdadu dan
tentara karena mengutamakan kehormatan dan kedisiplinan yang disimbolkan
dengan dada membusung.
Kelas terakhir adalah kelas kaum Sofis,
yakni yang berada di sekitar kepala. Kelas Sofis adalah pemuja kebenaran
dan pencinta kebijaksanaan. Mereka adalah pemikir konsep negara yang
melahirkan gagasan besar perihal bagaimana mengelola negara. Politik
kaum Sofis adalah politik nilai (values), bukan politik nominal atau
politik fulus. Kaum sofis memuliakan nalar dan etika, mereka tidak
dikuasai materi. Plato menyebut negara harus dipimpin oleh kelas ini
yang direpresentasikan oleh kepemimpinan filsuf-raja (king-philosopher).
Menurutnya, pemimpin yang baik harus memiliki kualifikasi filsuf,
sekaligus raja. Filsuf adalah pecinta kebenaran dan pemuja kebajikan
dengan gagasan visioner, sementara raja adalah pemimpin tegas dan adil.
Masuk kelas mana para elite Parpol? Pertanyaan ini relevan diajukan
mengingat Parpol adalah institusi yang memproduksi, mendidik,
mendistribusikan kadernya untuk menjadi pemimpin dengan duduk di
berbagai institusi negara. Namun, tanpa metode rekrutmen dan kurikulum
pendidikan kader yang selektif-berkualitas, mustahil Parpol sanggup
menghasilkan pemimpin.
Kembali ke soal Pemilukada Langsung yang
ditolak karena dinilai memicu politik uang (money politics), mengutip
filsuf Ignas Kleden, penulis menegaskan bahwa politik uang sesungguhnya
bermula dari elite politik, bukan dari rakyat. Elite yang punya uang dan
karenanya bisa membeli suara rakyat. Elite pula yang meyakini suara
bisa dibeli. Jika kini terjadi transaksi suara dan harga suara menjadi
mahal, itu adalah konsekuensi adanya permintaan dan penawaran dalam
pasar politik. Rakyat tak bisa disalahkan. Politik uang dan politik
biaya tinggi hanya bisa dihentikan jika elite Parpol berhenti membeli
suara konstituen.
Terakhir, Pemilukada Langsung lebih baik dari
Pilkada oleh DPRD sebab rakyat memiliki hak menentukan pemimpinnya.
Dengan memilih langsung pemimpinnya, rakyat berpartisipasi dalam proses
demokrasi. Rakyat menjadi subyek dan pelaku demokrasi, bukan penonton.
Di tengah meluasnya krisis kepercayaan (distrust) terhadap politisi dan
Parpol, Pemilukada Langsung lebih baik dari pilkada oleh DPRD. Apalagi,
Survei Indeks Demokrasi Indonesia yang dilakukan Bappenas menyimpulkan
kinerja institusi DPRD masuk kategori buruk. Dengan membagi 3 kategori
skor, yakni 80-100 untuk kategori baik, 60-79 kategori sedang dan di
bawahnya kategori buruk, studi Bappenas menempatkan DPRD berada di angka
36,62. Itu berarti, kinerka DPRD dinilai buruk. Apa yang bisa
diharapkan dari lembaga negara dengan kinerja buruk seperti DPRD? ****