Gedung dan ruang-ruang di DPR/MPR RI diberi nama Sanskerta pada era Orde Baru. Reformasi menyederhanakannya. Sejak era reformasi, nama-nama gedung di
kompleks DPR/MPR bernama Nusantara I sampai V. Pada masa pemerintahan
Soeharto, yang kental dengan nuansa Jawa, nama-nama gedung dan ruangan
itu berasal dari Sanskerta.
Gedung DPR/MPR dibangun atas perintah
Sukarno. Semula ditujukan untuk penyelenggaraan Conference of the New
Emerging Forces (Conefo). Proyeknya digarap pemenang sayembara, yaitu
tim dari Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik yang dipimpin
Sujudi Wirjoatmodjo, arsitek jebolan Technische Universitat Berlin
Barat. Pemancangan tiang pertama pada 19 April 1965. Pembangunan
terhenti karena meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Pada 9 November 1966, Soeharto, sebagai
ketua Presidium Kabinet Ampera, menginstruksikan untuk melanjutkan
proyek gedung Conefo, namun peruntukkannya akan menjadi gedung parlemen.
Keputusan ini diambil setelah proyek peremajaan gedung DPR GR di
Lapangan Banteng, terhenti.
Menteri Pekerjaan Umum menerjemahkan
instruksi Soeharto dengan membubarkan Komando Proyek New Emerging Force
dan membentuk badan pelaksana bernama Proyek Pembangunan Gedung DPR/MPR
RI.
Secara bertahap, pembangunan gedung
selesai dan diserahkan kepada Sekretariat Jenderal DPR: Main Conference
Building pada Maret 1968, Secretariat Building dan Gedung Balai
Kesehatan (Maret 1978), Auditorium Building (September 1982), dan
Banquet Building (Februari 1983). Pemberian nama gedung yang semua pakai
bahasa Inggris kemudian diubah menggunakan bahasa Sansekerta:
Grahatama, Lokawirabasha Tama, Pustakaloka, Grahakarana, dan Samania
Sasanagraha.
“Yang jelas semua menggunakan bahasa
Sanskerta yang amat sulit bahkan untuk orang Jawa, apalagi mereka yang
datang dari seberang,” tulis Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi.
Tak jarang, nama-nama ruangan ini salah
diucapkan oleh anggota parlemen. Salim Said mencontohkan Ismail Hassan
Metareum, ketua Partai Persatuan Pembangunan yang juga wakil ketua
DPR/MPR, dalam sebuah sidang salah menyebut ruang utama paripurna
sebagai ruang Kartasasmita, yang disambut tawa anggota parlemen. Maklum, Kartasasmita adalah nama keluarga Ginandjar, tokoh politik terkemuka saat itu.
Pada 1998, gedung DPR/MPR diduduki
mahasiswa, Orde Baru pun tumbang. Semua hal yang berbau Orde Baru mulai
digugat. Termasuk dominasi bahasa Jawa.
Beberapa waktu berselang, muncul usulan
dari anggota DPR/MPR untuk mengubah nama-nama gedung dan ruangan
tersebut. “Saya mengusulkan perubahan dan penyederhanaan nama ruang
rapat di gedung DPR,” tulis Salim Said, yang di awal reformasi menjadi
anggota Badan Pekerja MPR. Salim Said lalu membuat dan mengedarkan
petisi mengenai perubahan nama. Setelah berhasil menghimpun hampir 300
tanda tangan anggota parlemen, dia menyerahkan petisi itu kepada Afif
Ma’roef, sekretaris jenderal DPR/MPR, pada September 1998.
Menurut Afif Ma’roef, usulan perubahan
nama itu sudah tercetus sejak keanggotaan DPR/MPR periode 1992/1997.
“Sudah diusulkan, cuma tidak terlalu direspons, jadi dibiarkan saja,”
ujar Afif kepada Panji Masyarakat terbitan tahun 1999.
Rapat pimpinan DPR pada 18 November 1998
memutuskan membentuk Tim Penggantian Nama-nama Gedung MPR/DPR RI yang
dipimpin Wakli Ketua DPR Korkesra Fatimah Achmad. Tim segera bekerja.
Rapat terakhir pada 14 Desember 1998 memutuskan menyetujui penggantian
nama gedung-gedung DPR/MPR.
Maka, gedung-gedung yang menggunakan
bahasa Sansekerta pun berubah: Grahatama menjadi Gedung Nusantara,
Lokawirasabha Tama (Gedung Nusantara I), Ganagraha (Gedung Nusantara
II), Lokawirasabha (Gedung Nusantara III), Pustakaloka (Gedung Nusantara IV), Grahakarana (Gedung Nusantara V), Samania Sasanagraha (Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI), dan Mekanik Graha (Gedung Mekanik).