MB.com, Humaniora -- Bagi negara, perempuan merupakan ancaman bagi kemapanan sistem sosial dan ekonomi sehingga harus dikendalikan. Apa yang membedakan laki-laki dan
perempuan? Seringkali orang menjawab: “kodrat”. Batasannya adalah ranah
publik dan domestik. Tapi, dalam sejarah, ranah itu dirumuskan oleh
siapa yang berkuasa.
Perempuan Jawa dari keluarga petani dan
pedagang cenderung bebas dari nilai-nilai itu. Laki-laki dan perempuan
memiliki akses untuk melakukan aktivitas produktif. Sementara pada
keluarga priyayi, yang memiliki akar budaya feodal yang patriarkal,
perempuan harus patuh dan menjadi penopang setia suami yang melakukan
aktivitas produktif dalam domain publik.
“Posisi patriarkal dalam
keluarga-keluarga Jawa kemudian ditegaskan dengan konsep yang
diperkenalkan oleh Belanda bahwa laki-laki adalah pencari nafkah bagi
keluarga. Karena hanya laki-laki yang dipekerjakan dalam birokrasi
Belanda,” tulis Robert W. Hefner dalam Politik Multikulturalisme.
Konsep itu menguat melalui perilaku
perempuan-perempuan Belanda dari kelas menengah terdidik yang
didatangkan dalam jumlah besar. Kehadiran mereka meneguhkan dan
memperluas perbendaharaan aturan perilaku priyayi bagi perempuan Jawa.
Mereka menjadi “penjaga moral” atau seksualitas suami mereka. Di sisi
lain, negara mulai lebih ketat mengawasi kehidupan seksual dan
perkawinan para bupati atau pejabat gubernur sejak Gubernur Jenderal
Daendels menyatakan mereka sebagai pegawai Hindia Belanda.
Konsep patriarkal sendiri muncul ketika
negara-negara mulai berkembang. Sejarawan feminis Gerda Lerner,
sebagaimana dikutip I Gusti Agung Ayu Ratih atau biasa disapa Gung Ayu,
mempelajari wilayah Mesopotamia (kini Irak), peradaban urban pertama di
dunia yang berlangsung pada 3000 sebelum masehi, untuk menelusuri
asal-usul patriarkal. Di wilayah itu, negara didefinisikan oleh satu
aparat permanen untuk mengumpulkan pajak dan melancarkan perang. Agar
negara bertahan masyarakat harus ditata secara hirarkis.
“Salah satu unsur kunci dalam hierarki ini
adalah keluarga patriarkal. Setiap suami, yang kita sebut kepala
keluarga, diharapkan memimpin keluarganya seperti sebuah negara dalam
negara yang lebih besar. Hukum mengakui kewenangan suami atas
keluarganya sendiri. Hukum juga membangun institusi untuk memastikan
subordinasi seksual perempuan,” tulis Gung Ayu, koordinator Institut
Sejarah Sosial Indonesia, dalam “Kita, Sejarah dan Kebhinekaan:
Merumuskan Kembali Keindonesiaan”, pidato kebudayaan Dewan Kesenian
Jakarta, 10 November 2008.
Penelitian sejarah feminis lainnya,
tambah Gung Ayu, memperlihatkan bahwa berkembangnya agama Nasrani di
Eropa melibatkan serangan terhadap praktik-praktik pagan di mana
perempuan memainkan peranan penting. Demikian juga perkembangan
kapitalisme di Eropa disertai oleh bentuk-bentuk baru pengendalian
terhadap perempuan.
Di Indonesia, kehadiran
perempuan-perempuan Belanda di sisi lain membawa-serta gagasan tentang
keluarga batih yang antipoligami dan pendidikan bagi perempuan. Gagasan
itu kemudian diadopsi dan dikembangkan sejumlah tokoh perempuan di masa
pergerakan yang menuntut kesetaraan di segala bidang, termasuk politik.
Tapi gerakan perempuan itu, yang mulai beriak di masa akhir kolonial,
tersendat ketika Jepang menduduki Indonesia.
Di masa Jepang, peran perempuan
disalurkan melalui satu-satunya organisasi perempuan, Jawa Hokokai
Fujinkai. Organisasi itu bertujuan memobilisasi tenaga perempuan untuk
mendukung tentara Jepang dalam perang yang lebih luas di Asia Timur.
Para istri pegawai pemerintah diwajibkan menjadi anggotanya, posisinya
disesuaikan dengan posisi sang suami dalam hierarki pemerintahan, “suatu
pola yang ditiru kembali oleh rezim Orde Baru dengan Dharma Wanita,”
tulis Saskia Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan.
Ironisnya, setelah Indonesia merdeka,
ranah publik (terutama politik) masih menjadi milik laki-laki. Dan,
menurut Hefner, penunjukkan Sukarno sebagai presiden hanya melanggengkan
tradisi priyayi, yang menempatkan perempuan di ranah domestik. Dalam
bukunya Sarinah yang terbit tahun 1947, Sukarno menyatakan,
“Harmoni hanya dapat dicapai jikalau kedua pihak (perempuan dan
laki-laki) mempunyai posisi setara. Tapi keduanya berdasarkan kodrat.”
Hal itu tampak dari cara pandang dua
kekuatan besar kala itu. Menurut Saskia, Sukarno berupaya menciptakan
identitas Indonesia dengan merangkai penuh kembangan tentang “keluarga”
sebagai kesatuan kolektif, keluarga bersifat hierarki dengan dirinya
sebagai bapak (yang poligami). Sementara Partai Komunis Indonesia (PKI)
berusaha membangun “keluarga komunis” di tingkat sosial. Dengan berbagai
organisasi yang dipimpinnya, PKI mengusung partai sebagai bapak.
Perempuan diberi hak setara sebagai
imbalan kontribusi mereka dalam revolusi, tapi mereka harus tetap di
wilayah “kodrat”. Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) menjadi
satu-satunya organisasi perempuan yang menyatakan politik sebagai
wilayah sah bagi perempuan. Tapi Gerwani juga berupaya menjembatani
celah antara “politik laki-laki” dengan “kebutuhan sosial perempuan”.
Domestifikasi perempuan mencapai
puncaknya pada Orde Baru, yang ditandai dengan penghancuran Gerwani.
Perempuan Gerwani direproduksi dalam naskah-naskah Orde Baru sebagai
“perempuan biadab” yang menyiksa para jenderal, “perempuan yang
melampaui kodratnya karena liar di luar rumah, dan perempuan yang
melakukan penyelewengan seksual, dengan seks bebas dan lesbianisme”.
“Kampanye yang menggambarkan Gerwani
sebagai sundal pelacur sebagaimana digaungkan rezim Orde Baru memiliki
tendensi untuk mengembalikan nilai-nilai konservatif yang dirumuskan
sebagai kodrat wanita dari masa kolonial,” tulis Saskia.
Orde Baru kemudian membentuk organisasi-
organisasi istri pegawai yang strukturnya mengikuti birokrasi
pemerintahan sipil dan militer dan kepemimpinannya sejalan dengan
jabatan suami. Inilah yang oleh Julia Suryakusuma digambarkan sebagai
ideologi state ibuism.
Kontrol negara terhadap perempuan dilakukan melalui Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Dharma Wanita. PKK bermula dari program pendidikan
untuk kesejahteraan keluarga yang dibentuk pada 1957. Ketika Suparjo
Rustam menjadi menteri dalam negeri pada 1973, PKK menjadi program yang
mesti dijalankan dari istri menteri dalam negeri hingga istri apartur
tingkat desa. Dalam perjalanannya, program PKK dikoordinasikan melalui
kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Ideologi yang digalakkan
PKK adalah “Panca Dharma Wanita”, yang harus dijalankan dengan
menyesuaikan diri pada “kodrat perempuan”.
Sementara Dharma Wanita terbentuk pada
Agustus 1974, semula bernama Gabungan Persatuan Isteri Pegawai Republik
Indonesia (GAPIPRI). Tujuan utamanya mendukung dan menyukseskan tugas
suami sebagai aparatur negara dan abdi masyarakat. Status mereka
diperoleh melalui penganugerahan, berdasarkan posisi karier suami, bukan
berdasarkan kualitas pribadi. Ini memungkinkan suami memobilisasi
dukungan melalui istrinya.
Menurut Julia I. Suryakusuma, “Seksualitas dan Pengaturan Negara”, yang dimuat Prisma,
Juli 1991, pembentukan Dharma Wanita memiliki unsur politik dan
ideologis. Seperti Korpri, struktur dan ideologi Dharma Wanita
melahirkan konformitas dan kepatuhan di mana perilaku dan citra mereka
dikontrol ketat oleh negara.