“Thukul orangnya egaliter,” salah seorang kawan Thukul memberi kesaksian. “Kul… Thukul, begitu kami memanggilnya. Tak pernah kami memanggilnya dengan embel-embel ‘Bung’. Bung Thukul, tidak pernah kami memanggilnya begitu.”
Jika kawan membaca puisi-puisi penyair yang hilang 16 tahun lalu ini. Kawan akan menemukan beberapa kebiasaan Thukul. Kawan boleh menyebutnya beberapa sifat atau sesuatu yang unik dari Thukul. Saya akan mencatatnya beberapa saja. Tentu saya tidak kenal Thukul. Bertemu saja tidak. Saya menemukan dari puisi-puisi lelaki ‘cadel’ itu. Ya, dari puisi-puisinya!
Seorang penyair plus pujangga yang kemudian dikenal dengan sebutan “Penyair Germo atau Penyair WTS” pernah berkata. “Bagi penulis, mungkin lebih senang ia dikenal lewat karyanya. Daripada dikenal secara pribadi.” Saya percaya kawan dapat menangkap maksudnya.
Balik ke soal kebiasaan Thukul. Ini saya catatkan.
Lebih Sering Ganti Baju
Thukul mempunyai kebiasaan yang agak beda. Mungkin biasa bagi orang-orang dekat Thukul. Kawan-kawannya di Jaringan Kerja (Jaker) Kesenian Rakyat atau di Serikat Tani Nasional (STN) atau di Partai Rakyat Demokratik (PRD) juga mungkin tak lagi memedulikannya. Atau bahkan tak memperhatikannya. Biasa saja. Thukul lebih sering mengganti baju daripada celana. Thukul menuliskan kebiasaannya itu di puisinya “Para Jenderal Marah-Marah”. Ini puisinya:
Para Jenderal Marah-Marah
Pagi itu kemarahannya disiarkan oleh televisi. Tapi aku tidur. Istriku kaget. Sebab seorang letnan jendral menyeret-nyeret namaku. Dengan tergopoh-gopoh selimutku ditarik-tariknya. Dengan mata masih lengket aku bertanya: mengapa? Hanya beberapa patah kata keluar dari mulutnya: “namamu di televisi ……” Kalimat itu terus dia ulang seperti otomatis.
Aku tidur lagi dan ketika bangun wajah jendral itu sudah lenyap dari televisi. Karena acara sudah diganti.
Aku lalu mandi. Aku hanya ganti baju. Celananya tidak. Aku memang lebih sering ganti baju ketimbang celana.
Setelah menjemur handuk aku ke dapur. Seperti biasa mertuaku yang setahun lalu ditinggal mati suaminya itu, telah meletakkan gelas berisi teh manis. Seperti biasanya ia meletakkan di sudut meja kayu panjang itu, dalam posisi yang gampang diambil.
Istriku sudah mandi pula. Ketika berpapasan denganku kembali kalimat itu meluncur. “Namamu di televise….” ternyata istriku jauh lebih cepat mengendus bagaimana kekejaman kemanusiaan itu daripada aku.
Pencatat yang Hebat
Thukul suka mencatat. Catatan tangannya rapi. Tulisannya jelas. Terbaca. Saya kira masuk kategori tulisan tangan yang bagus. Di sebuah documenter. Di stasiun televisi swasta. Rabu, 3 September 2014 lalu kulihat tulisan tangan puisi Thukul. Tulisan tangan puisi-puisi pelarian Thukul antara 10 sampai 15 Agustus 1996. Sejumlah 23 puisi yang ditulis Thukul dengan pensil pada 13 lembar kertas folio bergaris. Puisi tulisan tangan Thukul tersebut disimpan Stanley Adi Prasetyo.
Thukul pencatat yang hebat. Jika Thukul masih ada. Catatan-catatan penuh inspirasi saya kira akan keluar darinya. Setiap peristiwa dicatatnya. Disimpannya dengan baik. Di buku Kumpulan Lengkap Puisi Wiji Thukul: Nyanyian Akar Rumput terdapat 8 puisi dengan judul menggunakan kata: Catatan. Berikut judul kedelapan puisi Thukul yang dimaksud: catatan malam (hlm. 24), catatan (hlm. 26), catatan 88 (hlm. 32), catatan suram (hlm. 41), catatan hari ini (hlm. 44), catatan 10 januari 89, siang (hlm. 66), catatan (hlm. 102), dan catatan (hlm. 165)
Thukul sebagai pencatat atau penulis yang gila. Di berbagai kondisi Thukul menulis. “aku menulis, aku menulis, terus menulis/sekalipun teror mengepung//”. Thukul mengikrarkan bahwa ia tak berhenti menulis di puisi “puisi di kamar”. Dua baris tersebut merupakan dua baris terakhir pada puisi itu.
Masih soal menulis. Di puisi “kepada nasri dan adikku yang lain”, Thuku juga memberikan kesaksiannya. Kesaksian bahwa meski kondisi susah. Dihimpit utang. Ia tetap menulis. Tetap menulis.
kepada nasri dan adikku yang lain
biji-biji pilihanku sudah tumbuh
kemerdekaanku adalah nasib hidupku
jalan-jalan akan sepi sapa
kamarku akan tinggal kursi, meja, buku-buku
dan mesin tik tua
sisanya hidup yang muram.
bila kau tak masuk kamarku, tak usah kauketuk
di sini tak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi
juga kemiskinan ini, juga keasingan ini
tapi setiaku sampai bungkuk akan melahirkan
percakapan panjang lewat tulisan dan puisi
bila kau memandang kaca almari yang sudah belang
sebagian
di pojok kamar itu
akan engkau dapati aku lagi menghitung utang
tetapi tetap menulis
tetap menulis
barangkali selamanya aku tidak akan bias melayakkan
hidup ibu dan kemelaratan hidup kita
dan ibu akan terus menuntut balas budi atas kelahiranku.
hidup ini mengecewakan
tetapi mengapa aku masih sempat bahagia karenanya?
ibu, semakin jauh saja rasanya kau dan aku
Thukul mengajarkan agar selalu menulis. Menuliskan aktivitas harian. Menuliskan apa saja yang didengar, dilihat, dan dirasakan. Thukul menulis catatan. Ini aktivitas Thukul dalam puisi “catatan hari ini”.
catatan hari ini
aku nganggur lagi
semalam ibu tidur di kursi
jam dua lebih aku menulis puisi
aku duduk menghadap meja
ibu kelap-kelip matanya ngitung utang
jam enam sore:
bapak pulang kerja
setelah makan sepiring
lalu mandi tanpa sabun
tadi siang ibu tanya padaku:
kapan ada uang?
jam setengah tujuh malam
aku berangkat latihan teater
apakah seni bisa memperbaiki hidup?
solo, juni 86
Suka Ikan Asin
Pembaca pernah membaca puisinya Thukul “kucing, ikan asin, dan aku”, tentu! Judulnya saja sudah ada diksi ikan asin. Selain di puisi tersebut, ada juga diksi ikan asin ini muncul di puisi “hari itu aku akan bersiul-siul”. Thukul menceritakan dirinya yang tidak akan menggunakan hak pilih di hari pencoblosan. Di hari itu. Hari pencoblosan, Thukul akan pergi ke dapur. Menghitung jumlah gelas dan sendok. Apakah akan ada perubahan setelah hari itu lewat ataukah hanya akan muncul kepiluan. Kepiluan dan pemilu. Jika hari itu tiba. Thukul tak akan ke mana-mana. Ingin di rumah saja. Apakah akan menjadi penuh isi beras di karung, minyak tanah di kaleng, atau bumbu masak di dapur setelah penghitungan suara usai.
Jika hari pemungutan suara tiba, Thukul tak akan ikut berbondong-bondong ke bilik suara. Thukul akan memproklamasikan kemerdekaannya dengan caranya sendiri. Ia akan merayakan haknya dengan nasi hangat, sambel bawang, dan ikan asin. Ya, sambel bawang dan ikan asin!
Ikan asin makanan kesukaan Thukul. Pernah suatu ketika Thukul hampir membunuh kucing. Penyebabnya kucing itu mengambil ikan asin miliknya.
kucing, ikan asin, dan aku
seekor kucing kurus
menggondol ikan asin
laukku untuk siang ini
aku meloncat
kuraih pisau
biar kubacok dia
biar mampus!
ia tak lari
tapi mendongak
menatapku
tajam
mendadak
lunglai tanganku
aku melihat diriku sendiri
lalu kami berbagi
kuberi ia kepalanya
(batal nyawa melayang)
aku hidup
ia hidup
kami sama-sama makan
14 oktober 96
Suka Memberi Hadiah
Thukul suka memberikan sesuatu sebagai kenang-kenangan kepada kawannya. Thukul tak pelit. Ia suka memberi. Pernah suatu ketika kawan Thukul di Pontianak, Martin Siregar dikiriminya pakaian jins dari Jakarta. Dua kali. Pertama pada akhir Maret, kedua pada pertengahan April 1997. Namun saya tak menemukan puisi tentang Thukul yang mengirim pakaian jins ini. Juga tak ditemukan puisi yang mengisahkan Thukul sempat meminta istrinya, Dyah Sujirah alias Sipon membuatkan pakaian bayi untuk istrinya Martin: Idawaty.
Kado untuk istrinya ada. Ya, ada. Sebuah baju yang dibeli Thukul di Pasar Sentral, Pontianak. Baju untuk istrinya ini sangat terkenal. Dilukiskan Thukul dalam puisi “baju loak sobek pundaknya”. Baju yang khusus Thukul beli untuk: untukmu bojoku/baju itu untukmu/
Ada satu puisi yang khusus di dalamnya ada diksi: kado. Ya, kado! Thukul suka memberi kado. Kenang-kenangan. Benda apa pun. Kecil atau besar. Ini puisi Thukul tulis saat buron dari Solo ke Jakarta. Puisi ini terdapat di buku yang merupakan bonus Majalah Tempo Edisi Khusus: Tragedi Mei 1998-2013 Teka-teki Wiji Thukul.
Kado Untuk Pengantin Baru
pengantin baru
ini ada kado untukmu
seorang penyair
yang diburu-buru
maaf aku mengganggu
malam bulan madumu
aku minta kamar satu
untuk membaringkan badanku
pengantin baru
ini datang lagi tamu
seorang penyair
yang dikejar-kejar serdadu
memang tak ada kenikmatan
di negri tanpa kemerdekaan
jika berbeda pendapat menjadi hantu
pengantin baru
ini ada kado untukmu
seorang penyair yang dikejar-kejar
serdadu
Buku
Thukul banyak memiliki buku berbahasa Inggris. Linda Christanty, sahabat Thukul menuliskan catatan perkenalan dengan Thukul. Termasuk kali pertama berkunjung ke rumah Thukul di Solo. Linda menulis di web miliknya. Di esainya berjudul “Wiji Thukul dan Orang Hilang”.
“Thukul tinggal dengan seorang istri dan dua anak yang masih balita, Nganti Wani dan Fajar Merah. Dia menyuguhkan singkong rebus pada tamunya. Rumah itu berlantai tanah. Di ruang muka membentang sehelai plastik biru bahan tenda yang biasa digelar pedagang kaki lima dan kini berfungsi sebagai alas duduk. Sebuah mesin jahit berada di tengah ruangan tersebut, alat pencari nafkah si penghuni rumah. Kamar mandi berbau tak sedap terletak di luar, tanpa kran air ledeng. Tapi, Thukul punya sebuah ruang istimewa; perpustakaan. Ini satu-satunya kemewahan. Di sana ada buku Antonio Gramsci, Bertolt Brecht, Raymond Williams, Marx, …. Kebanyakan buku berbahasa Inggris.”
Thukul sendiri menuliskan tentang buku-buku di puisi yang kalimat awalnya “kuterima kabar dari kampung”.
(5)
kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah
tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajari anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini
ini tak diajarkan di sekolahan
tapi rezim sekarang ini
memperkenalkan kepada semua kita
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan
kekejaman kalian
adalah buku pelajaran
yang tak pernah ditulis!
Teliti dan Sayang Anak Istri
Thukul seorang yang teliti. Percaya dan menguasai detail. Thukul juga gesit. Sebab baginya waktu sangat sempit. Tulisnya: kaulepas aku/meski matamu tak terima/karena waktu sempit/aku harus gesit//. Maka pertemuan dengan istrinya ia lukiskan hanya dengan berbisik.Cek puisi “catatan” dalam “Baju Loak Sobek Pundaknya”. Bahkan tak sempat Thukul mencium anak-anak. Khawatir membangunkan tidurnya. Tidur anak-anak yang nyenyak. Hal itu Thukul lakukan setelah genap setengah tahun meninggalkan mereka. Thukul lalu pergi lagi. Thukul berpesan: kalau mereka bertanya/”apa yang dicari?”/jawab dan katakana/dia pergi untuk merampok/haknya/yang dirampas dan dicuri//
Di sebuah wawancara, Hamzah S Hamzrut–kawan Thukul berkisah: “Thukul yang kutahu sulit berpisah dengan anak-anaknya. Meskipun dilihat dari puisi-puisinya “galak”/”sangar”, tapi dia itu hatinya lembut dan orang yang lugu. Yang kutahu terutama pada anak-anaknya dia sangat sayang. Jadi, dalam kondisi apa pun dia selalu berusaha bertemu anaknya. Jadi kalau ada isu yang mengatakan Thukul masih hidup sampai sekarang itu gak mungkin. Karena dia gak bisa pisah lama dari anaknya.”
[TikusMerah]