MB.com, OPINI - Lex talionis asing bagi Anda? Mungkin ya, dalam tataran istilah. Dalam esensinya, saya yakin, Anda dan saya menghidupinya dari satu waktu ke waktu lainnya.
Dari segi tradisi tekstualnya, lex talionis bisa ditelusuri ke belakang hingga hukum Hammurabi (The Code of Hammurabi) di kerajaan Babilonia kuno. Dalam tradisi Israel kuno, istilah ini dikaitkan dengan sebuah idiom dalam Perjanjian Lama (PL), “mata ganti mata [gigi ganti gigi]“.
Dalam tradisi Kristen, khususnya dalam Khotbah di Bukit, tradisi Israel
kuno itu disinggung ulang dalam rangka reinterpretasi (Mat. 5:38-48).
Tradisi Islam pun mengacu kepada tradisi PL dengan intonasi senada (QS.
2.178; 5:45).
Dari segi muatan konseptualnya, istilah lex talionis
dikelilingi oleh berbagai konsep spesifik: Keadilan yang resiprokal;
Antinoimianisme; Legalisme; Perang Adil; dsb. Ada banyak konsep yang
dikembangkan di sekitar istilah ini.
Ringkasnya, lex talionis secara literal berarti “hukum pembalasan” (the law of retaliation). Istilah ini berbicara
tentang “pembalasan yang setimpal” dengan perbuatan [jahat] seseorang
yang acuannya adalah hukum [istilah popularnya: Undang-undang]. Artinya
ini bukan berbicara tentang tendensi pembalasan dendam pribadi, melainkan bicara tentang pembalasan yang adil.
Saya sekadar memberikan deskripsi ringkas mengenai latar belakang untuk istilah lex talionis di
atas. Saya juga tidak akan memasuki berbagai perdebatan sengit di
sekitar interpretasi serta muatan konseptual di sekitar istilah ini.
Percayalah, saya sering berada di arena ini, maka sekadar mengingatkan,
memasuki arena ini, Anda seperti terjun ke medan pertempuran!
Maka, saya ingin berbicara tentang tendensi pembalasan [dendam] pribadi yang dikacaukan dengan lex talionis.
Anda memukul saya; saya memukul Anda; Anda mengambil barang saya secara
tidak legal; saya mengambil barang Anda secara tidak legal. Anda ingin
mencelakakan saya; saya pula ketika ada kesempatan dan kemampuan,
melakukan hal yang saja. Anda menyakiti saya; saya pun menyakiti Anda.
Anda bisa menambahkan daftar contoh di atas
menjadi sangat panjang. Poin saya adalah, tendensi seperti itu, pada
dasarnya ada dalam diri setiap orang. Kita ingin orang merasakan sakit yang sama dengan sakit yang ditimbulkan orang itu bagi kita. Kita berpotensi dan bertendensi menjadi sangat retributif di sini.
Apakah potensi dan tendensi di atas serta merta merupakan sebuah lex talionis? Pada dirinya sendiri, tidak! Tidak, karena ingat, acuan dari lex talionis adalah hukum atau undang-undang [entah dalam konteks Negara atau dalam konteks agama]. Lex talionis tidak berbicara mengenai apa yang saya ingin orang rasakan atas perbuatannya. Lex talionis berbicara tentang apa acuan yang adil berdasarkan hukum untuk mengganjar seseorang atas perbuatannya. Intonasi yang mirip tapi amat berbeda!
Apakah potensi dan tendensi di atas dapat dikacaukan dengan lex talionis?
Pengalaman mengharuskan kita menjawabnya secara positif. Ini terjadi,
khususnya, ketika kita mulai mengemukakan pembenaran subjektif-personal
atas retribusi atau pembalasan yang kita upayakan sendiri terhadap
orang-orang yang menurut kita telah berbuat jahat terhadap kita.
Saya menyebutnya “dikacaukan dengan lex talionis“, karena kita sedang menjadikan “pembenaran subjektif-personal” itu sebagai lex [hukum] untuk pembalasan atau retribusi yang kita pertontonkan. Tetapi, ketika kita berupaya menjadikannya lex taloinis, pada saat itu kita akan jatuh ke dalam ex lex (lawless).
Sejumlah contoh aktual bisa disebutkan di
sini. Seorang pengendara menabrak orang di jalanan, lalu dihakimi secara
berjamaah. Seorang pencuri kedapatan mencuri lalu babak belur di tangan
warga. Pasangan mesum digerebek lalu dipukuli atau setidaknya
dipermalukan di hadapan publik. Ormas-ormas tertentu melakukan
pengrusakan tempat-tempat yang mereka nilai sebagai tempat-tempat
maksiat, termasuk melakukan sweeping. Bukan hanya tempat-tempat
maksiat, bahkan rumah-rumah ibadah para penganut agama lain pun sangat
banyak diratatanahkan atas nama lex ormas-ormas ini.
Fenomena di atas menjadi lex talionis dalam pengertian serta aplikasi kebablasannya. Orang menciptakan atau mengacu kepada lex yang tidak kontekstual dan proporsional, lalu berpikir bahwa ia dapat melakukan apa pun asal karena ia bisa memperlihatkan lex sebagai justifikasinya.
Misalnya, Ormas-ormas di atas biasanya mengacu pada lex dalam konteks agamanya, lalu itu dijadikan acuan untuk menjustifikasi talionis mereka secara publik. Mereka lupa bahwa lex yang diacu dalam konteks ini adalah hukum Negara, bukan hukum agama.
Biasanya mereka berkilah begini: “Ya, kalau gak mau digituin, jangan lakukan maksiat.” Ini adalah argumen fallacious. Bahwa “jangan melakukan maksiat” itu benar, tetapi Anda tidak memiliki validitas legal untuk bertindak demikian. Tu quoque (you too fallacy)!
Bahwa ada kejahatan terjadi di tempat
tertentu, itu satu hal. Tetapi adalah hal lain, jika seseorang atau
sekelompok orang menyodorkan lex-nya sendiri untuk dijadikan acuan justifikasi bagi talionis yang juga ia atau mereka upayakan sendiri.
Betul, misalnya, seseorang melakukan
pencurian, perzinahan, penipuan, dsb. Ini semua tidak dibenarkan secara
hukum. Tetapi, Anda juga tidak dibenarkan secara hukum untuk melakukan talionis ketika Anda tidak memiliki mandat legal untuk hal itu.
Melakukan demikian, berarti Anda sedang mengacaukan lalu mengaplikasikan lex talionis secara tidak taat hukum. Self-refuting bukan? Anda ingin memperjuangkan lex dengan ex lex (lawless; tanpa hukum [yang sah])!
[Nararya]