Oleh: Marlin Bato Jakarta, 19 Mei 2013 Gambar, hanya ilustrasi
Dari ribuan suku bangsa di dunia, terdapat suku Lio yang bersemayam di
pulau Flores, pulau kecil yang menyimpan historical budaya, tradisi adat
dengan berbagai macam tata cara dan pranata sosialnya. Sebab itu,
setiap sub-sub kultur masyarakat Lio yang terletak di lereng-lereng
bukit, perkampungan-perkampungan asli orang Lio terdapat kesucian ritual
magis, terdapat tempat-tempat pemujaan yang menjadi tonggak lahirnya
sebuah peradaban yang mampu bertahan hingga kini.
Dasar utama
mengenal suku Lio, adalah mengenal Wewa Ria. Wewa Ria merupakan pintu
masuk awal sebelum mengenal peristiwa-peristiwa, kebiasaan-kebiasaan
masyarakat lokal suku Lio.
Secara harfia, Wewa Ria
didefinisikan sebagai pelataran rumah, halaman, beranda dan lain
sebagainya. Namun lebih dari itu, wewa ria mempunyai arti sangat luas.
Dalam silsilah keluarga, wewa ria dapat diartikan sebagai keturunan,
atau keluarga besar (Nge Wa'u). Masyarakat Lio, meski hidup secara
sporadis di berbagai wilayah, dia harus mengenal asal-usul, silsilah
keluarga, sebagai penentu eksistensi masyarakat itu sendiri.
Kehidupan masyarakat Lio, sejak kelampauan hingga kekinian, selalu
pengacu kepada penghormatan dan penghayatan yang tinggi, sehingga meski
tidak berkumpul dalam satu locus, namun mereka wajib menempatkan patokan
hidupnya pada wewa ria, wewa dimana yang menurunkan tradisi dan
asal-usul mereka. Wewa Ria merupakan sebuah permulaan dari akhir,
langgam hidup setiap individu masyarakat itu sendiri.
Pater
Piet Petu SVD, mengemukakan, Wewa Ria merupakan Pintu masuk dan gerbang
perhelatan interaksi suku-suku bangsa Lio. Karena itu, sebuah kampung
bernama Wewa Ria dibagian utara suku Lio dapat disamakan sebagai gapura
bangsa-bangsa bagi suku Lio.
Wewa Ria adalah ruang terbuka
isolasi fisik dengan pihak luar. Dalam hal ini, berarti pendatang dari
suku lain yang ingin berinteraksi dgn masyarakat suku Lio, dia harus
menjejakkan kaki pertama pada wewa ria ini. Mengenal tokoh utama 'Teke
Ria Fai Ngga'e' sebagai pemegang tampuk kuasa tertinggi dalam masyarakat
Lio. Pemegang kuasa tertinggi dalam suku Lio biasanya keluarga tertua
yang menurunkan garis keturunan.
Sebab itu, makin banyak aji
ana, fai walu yang terbagi dalam Ura aje (ura no'o du'a-du'a, aje no'o
la'ke-la'e) semakin meneguhkan eksistensi pemimpin adat Lio sebagai
seorang pejantan yang mempunyai kuasa penuh atas sebuah wilayah dan
kehidupan orang banyak. Hal ini, tentu dapat terlihat dari pola dan laku
masyarakat Lio, yang hingga kini masih berpegang teguh pada tradisi
adatnya.
Dengan kata lain, sang pemimpin itulah yang memegang
peranan penting dalam wewa ria, sebab ia adalah pemula menuju akhir. Ia
harus bisa memainkan hegemoni dan peranan dalam mengatur kehidupan orang
banyak. Sehingga hal ini dapat menguatkan pemahaman bahwa; Wewa Ria
serupa gerbang utama berkumpulnya suku-suku bangsa.