Oleh: Marlin Bato
Jakarta 06/05/2013
Sumber: Literatur Sekunder
Foto: Kubur Batu di Sumba oleh Valerianus Reku
Tanah Ende, sejak dahulu kala merupakan tempat interaksi dan pembauran berbagai macam etnis sehingga membawa dampak yang sangat luas terhadap sistem kekerabatan. Perluh diakui bahwa fondasi utuh sejarah masyarakat Ende pada generasi sekarang mengandung berbagai versi yang bisa saja saling bertolak belakang. Banyak peneliti sejarah mengemukakan bahwa nenek moyang orang Ende berasal dari Bugis. Ada pula yang berasumsi bahwa nenek moyang orang Ende berasal dari Gujarat. Namun tidak sedikit pula yang mengklaim bahwa nenek moyang orang Ende berasal dari Austronesia dan sebagainya. Dari berbagai hipotesis diatas, dapat disimpulkan bahwa memang sangat sulit menemukan kesepahaman antara satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, Pada kesempatan ini penulis sengaja mengupas topik diatas supaya dapat memberi gambaran sepintas terhadap proses asimilasi maupun interaksi sosial masyarakat Ende di waktu-waktu yang sangat lampau. Sekiranya artikel ini dapat memberi manfaat dalam mencari percikan sejarah agar dapat merangsang ingatan setiap manusia Ende sebagai pelaku-pelaku sejarah yang mungkin saja sempat/sudah terlupakan.
Dikisahkan bahwa, konon nenek moyang orang Ende dan orang Sumba berasal dari Paraing Wunga (Tanjung Sasar). Jejak perjalanan para leluhur dahulu berawal dari Mekah (Timur Tengah) melewati Malaka (Malaysia), Bangka, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores (Ende-Manggarai) kemudian dalam pelayaran tersebut, mereka terdampar di Tanjung Sasar (Hahar). Ada sebuah idom yang masih dipertahankan hingga kini di dalam masyarakat Haharu Asli di Sumba yakni: “Makah-Tabakul, Malaka-Tana Bara, Ende-Ambarai” Kalimat ini jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti: "Mekah yang membesarkan kita, Malaysia Tanah Putih, Ende-Manggarai". Dari ungkapan diatas dapat ditafsirkan berarti perjalanan nenek moyang dahulu yang berakhir di Sumba (Lii Marapu) berawal dari Mekah/ Timur Tengah (mungkin berawal dari runtuhnya Menara Babel) kemudian berlayar menggunakan rakit bambu dalam bentuk armada besar, melewati India, kemudian ke Selat Malaka (Malaysia), ke Ende-Manggarai dan sampai ke Tanjung Sasar - Sumba. Dari jejak perjalanan diatas, mungkin kita dapat merekah-rekah, benarkah orang Ende dan Sumba bersaudara????
Pada sisi yang lain, hal ini juga dipertegas oleh Narasumber asal Sumba, Stephanus Pamaratana bahwa sebenarnya orang Sumba dengan orang Ende di Flores masih keluarga, mereka sama-sama berasal dari Hindia Belakang dan hubungan itu direkat dengan kawin mawin, sehingga sampai saat ini banyak orang Ende yang menetap di Sumba bahkan sudah kawin dengan orang Sumba. Hanya saja menurut penulis ada mising link seperti apa yang disampaikan oleh Sephanus - dari Mekah atau Hindia Belakang?? Atau kedua-duanya bisa benar?? Pada poin ini perluh pendalaman serius.
Stephanus mengemukakan, bahwa pada jaman kerajaan, pulau Sumba dan pulau Flores itu sebenarnya berhubungan satu sama lain. Kedua pulau ini dihubungkan oleh sebuah jembatan batu dari Lindiwacu di Sumba ke wilayah Ende selatan di Flores". Karena itu menurut Stephanus, hingga kini nama Kecamatan Umbu Ratu Nggay di Sumba sebenarnya sebuah nama yang merekatkan hubungan antara orang Sumba dengan orang Ende.
Seperti diketahui, Umbu itu sebuah nama atau sebutan khas masyarakat Sumba, dan Nggay itu adalah nama bangsawan Ende yang sudah membina hubungan kawin- mawin dengan orang Sumba. Ratu Nggay itu adalah ratu dari Ende yang cantik jelita yang kawin dengan umbu dari Lenang. Hubungan itu, selain berasal dari nenek moyang yang sama Hindia Belakang, juga dipererat dengan dibuangnya Raja Mamboro, Umbu Palura ke Ende oleh penjajah Belanda. Umbu Palura adalah orang yang cukup berpengaruh di Mamboro dan punya ribuan ekor hewan yang sekali turun ke padang rumput di satu wilayah kerajaan itu amblas. Di jaman itu, Mamboro dan Umbu Ratu Nggay merupakan gudang ternak di Pulau Sumba. Hubungan itu diperlancar dengan jembatan batu yang menghubungkan Sumba dengan Ende. Jembatan itu memudahkan mobilitas manusia dan barang dari Ende ke Sumba dan sebaliknya, apalagi dulu perdagangan dengan sistem barter.
Namun pada frase sejarah lanjutan, jembatan batu tersebut akhirnya diruntuhkan oleh seorang wanita yang berpengaruh di Sumba. Beliau kecewa dengan seorang pria asal Ende yang pada waktu itu disuruh barter kelapa di Ende tapi pada kenyataanya pria itu tidak pernah kembali. Alasan ini tentu bisa meresap nalar sebab pada jaman dahulu pulau Sumba tidak ada kelapa. Di Ende, bahkan Flores secara umumnya merupakan pulau penghasil kelapa sehingga seorang ibu yang cukup berpengaruh di Sumba menyuruh seorang pria asal Ende tersebut untuk pergi menukar hewan dengan kelapa di Ende. Wanita itu sangat membutuhkan kelapa untuk mencuci rambut, namun pria itu pergi tak pernah kembali. Wanita itu sangat kecewa lantas mengundang masyarakat sekitarnya memahat dan memukul jembatan batu itu hingga terputus agar pria asal Ende tersebut tidak dapat kembali lagi ke Sumba.
Karena hubungan kekerabatan itulah, beberapa waktu lalu Raja Lawonda pertama, Umbu Siwa Sabawali, kakek dari Umbu Tipuk Marisi, mantan Bupati Sumba mengadakan tour pertama ke Ende menemui bangsawan (keluarga raja) Ende. Tour itu sengaja dilakukan hanya untuk mempererat hubungan persaudaraan yang sudah lama terjalin. Sejak dahulu, masyarakat Sumba mengenal masyarakat Ende sebagai negosiator ulung serta piawai dalam berdagang. Tour itu tentu disambut sangat baik oleh bangsawan Ende dan tetap mengakui Raja Lawonda sebagai raja di Sumba. Sampai saat ini, Komunikasi timbal balik kedua pembesar ini terus terbina melalui surat (daun lontar atau batu kalam) bahkan sampai terjadi kunjungan balasan dari Ende ke Sumba. Dengan demikian, kawin mawin pun terjadi sehingga banyak orang Ende yang saat ini hidup berdampingan dengan orang Mamboro bahkan sudah turun temurun di sana.
Sekilas sejarah tersebut perlu dikenang oleh generasi sekarang hingga yang akan datang agar hubungan kekerabatan ini tidak cepat pudar lalu lenyap dimakan waktu. Hal yang paling urgent di masa kini adalah perluhnya penyusunan kembali silsilah keturunan oleh masyarakat Ende maupun Sumba agar dapat dilestarikan sebagai literatur sejarah lisan maupun tulisan untuk dijadikan aset yang paling berharga.
Pada penuturan akhir, Stephanus mengharapkan agar masyarakat Ende yang peduli terhadap eksistensi kedua kebudayaan tersebut dapat mewawancarai kembali mereka dan tua-tua adat setempat serta mengiventaris dokumen-dokumen atau bukti-bukti sejarah untuk dikenang kembali. Dua kawasan ini perlu merintis kembali kerja sama bidang ekonomi dan perdagangan, sebab hingga saat ini masyarakat Sumba percaya bahwa orang Ende selalu dan senantiasa mempunyai bakat dagang yang perlu ditiru.
Terimakasih, Semoga tulisan ini bermanfaat!!
Sumber: Literatur Sekunder
Foto: Kubur Batu di Sumba oleh Valerianus Reku
Tanah Ende, sejak dahulu kala merupakan tempat interaksi dan pembauran berbagai macam etnis sehingga membawa dampak yang sangat luas terhadap sistem kekerabatan. Perluh diakui bahwa fondasi utuh sejarah masyarakat Ende pada generasi sekarang mengandung berbagai versi yang bisa saja saling bertolak belakang. Banyak peneliti sejarah mengemukakan bahwa nenek moyang orang Ende berasal dari Bugis. Ada pula yang berasumsi bahwa nenek moyang orang Ende berasal dari Gujarat. Namun tidak sedikit pula yang mengklaim bahwa nenek moyang orang Ende berasal dari Austronesia dan sebagainya. Dari berbagai hipotesis diatas, dapat disimpulkan bahwa memang sangat sulit menemukan kesepahaman antara satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, Pada kesempatan ini penulis sengaja mengupas topik diatas supaya dapat memberi gambaran sepintas terhadap proses asimilasi maupun interaksi sosial masyarakat Ende di waktu-waktu yang sangat lampau. Sekiranya artikel ini dapat memberi manfaat dalam mencari percikan sejarah agar dapat merangsang ingatan setiap manusia Ende sebagai pelaku-pelaku sejarah yang mungkin saja sempat/sudah terlupakan.
Dikisahkan bahwa, konon nenek moyang orang Ende dan orang Sumba berasal dari Paraing Wunga (Tanjung Sasar). Jejak perjalanan para leluhur dahulu berawal dari Mekah (Timur Tengah) melewati Malaka (Malaysia), Bangka, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores (Ende-Manggarai) kemudian dalam pelayaran tersebut, mereka terdampar di Tanjung Sasar (Hahar). Ada sebuah idom yang masih dipertahankan hingga kini di dalam masyarakat Haharu Asli di Sumba yakni: “Makah-Tabakul, Malaka-Tana Bara, Ende-Ambarai” Kalimat ini jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti: "Mekah yang membesarkan kita, Malaysia Tanah Putih, Ende-Manggarai". Dari ungkapan diatas dapat ditafsirkan berarti perjalanan nenek moyang dahulu yang berakhir di Sumba (Lii Marapu) berawal dari Mekah/ Timur Tengah (mungkin berawal dari runtuhnya Menara Babel) kemudian berlayar menggunakan rakit bambu dalam bentuk armada besar, melewati India, kemudian ke Selat Malaka (Malaysia), ke Ende-Manggarai dan sampai ke Tanjung Sasar - Sumba. Dari jejak perjalanan diatas, mungkin kita dapat merekah-rekah, benarkah orang Ende dan Sumba bersaudara????
Pada sisi yang lain, hal ini juga dipertegas oleh Narasumber asal Sumba, Stephanus Pamaratana bahwa sebenarnya orang Sumba dengan orang Ende di Flores masih keluarga, mereka sama-sama berasal dari Hindia Belakang dan hubungan itu direkat dengan kawin mawin, sehingga sampai saat ini banyak orang Ende yang menetap di Sumba bahkan sudah kawin dengan orang Sumba. Hanya saja menurut penulis ada mising link seperti apa yang disampaikan oleh Sephanus - dari Mekah atau Hindia Belakang?? Atau kedua-duanya bisa benar?? Pada poin ini perluh pendalaman serius.
Stephanus mengemukakan, bahwa pada jaman kerajaan, pulau Sumba dan pulau Flores itu sebenarnya berhubungan satu sama lain. Kedua pulau ini dihubungkan oleh sebuah jembatan batu dari Lindiwacu di Sumba ke wilayah Ende selatan di Flores". Karena itu menurut Stephanus, hingga kini nama Kecamatan Umbu Ratu Nggay di Sumba sebenarnya sebuah nama yang merekatkan hubungan antara orang Sumba dengan orang Ende.
Seperti diketahui, Umbu itu sebuah nama atau sebutan khas masyarakat Sumba, dan Nggay itu adalah nama bangsawan Ende yang sudah membina hubungan kawin- mawin dengan orang Sumba. Ratu Nggay itu adalah ratu dari Ende yang cantik jelita yang kawin dengan umbu dari Lenang. Hubungan itu, selain berasal dari nenek moyang yang sama Hindia Belakang, juga dipererat dengan dibuangnya Raja Mamboro, Umbu Palura ke Ende oleh penjajah Belanda. Umbu Palura adalah orang yang cukup berpengaruh di Mamboro dan punya ribuan ekor hewan yang sekali turun ke padang rumput di satu wilayah kerajaan itu amblas. Di jaman itu, Mamboro dan Umbu Ratu Nggay merupakan gudang ternak di Pulau Sumba. Hubungan itu diperlancar dengan jembatan batu yang menghubungkan Sumba dengan Ende. Jembatan itu memudahkan mobilitas manusia dan barang dari Ende ke Sumba dan sebaliknya, apalagi dulu perdagangan dengan sistem barter.
Namun pada frase sejarah lanjutan, jembatan batu tersebut akhirnya diruntuhkan oleh seorang wanita yang berpengaruh di Sumba. Beliau kecewa dengan seorang pria asal Ende yang pada waktu itu disuruh barter kelapa di Ende tapi pada kenyataanya pria itu tidak pernah kembali. Alasan ini tentu bisa meresap nalar sebab pada jaman dahulu pulau Sumba tidak ada kelapa. Di Ende, bahkan Flores secara umumnya merupakan pulau penghasil kelapa sehingga seorang ibu yang cukup berpengaruh di Sumba menyuruh seorang pria asal Ende tersebut untuk pergi menukar hewan dengan kelapa di Ende. Wanita itu sangat membutuhkan kelapa untuk mencuci rambut, namun pria itu pergi tak pernah kembali. Wanita itu sangat kecewa lantas mengundang masyarakat sekitarnya memahat dan memukul jembatan batu itu hingga terputus agar pria asal Ende tersebut tidak dapat kembali lagi ke Sumba.
Karena hubungan kekerabatan itulah, beberapa waktu lalu Raja Lawonda pertama, Umbu Siwa Sabawali, kakek dari Umbu Tipuk Marisi, mantan Bupati Sumba mengadakan tour pertama ke Ende menemui bangsawan (keluarga raja) Ende. Tour itu sengaja dilakukan hanya untuk mempererat hubungan persaudaraan yang sudah lama terjalin. Sejak dahulu, masyarakat Sumba mengenal masyarakat Ende sebagai negosiator ulung serta piawai dalam berdagang. Tour itu tentu disambut sangat baik oleh bangsawan Ende dan tetap mengakui Raja Lawonda sebagai raja di Sumba. Sampai saat ini, Komunikasi timbal balik kedua pembesar ini terus terbina melalui surat (daun lontar atau batu kalam) bahkan sampai terjadi kunjungan balasan dari Ende ke Sumba. Dengan demikian, kawin mawin pun terjadi sehingga banyak orang Ende yang saat ini hidup berdampingan dengan orang Mamboro bahkan sudah turun temurun di sana.
Sekilas sejarah tersebut perlu dikenang oleh generasi sekarang hingga yang akan datang agar hubungan kekerabatan ini tidak cepat pudar lalu lenyap dimakan waktu. Hal yang paling urgent di masa kini adalah perluhnya penyusunan kembali silsilah keturunan oleh masyarakat Ende maupun Sumba agar dapat dilestarikan sebagai literatur sejarah lisan maupun tulisan untuk dijadikan aset yang paling berharga.
Pada penuturan akhir, Stephanus mengharapkan agar masyarakat Ende yang peduli terhadap eksistensi kedua kebudayaan tersebut dapat mewawancarai kembali mereka dan tua-tua adat setempat serta mengiventaris dokumen-dokumen atau bukti-bukti sejarah untuk dikenang kembali. Dua kawasan ini perlu merintis kembali kerja sama bidang ekonomi dan perdagangan, sebab hingga saat ini masyarakat Sumba percaya bahwa orang Ende selalu dan senantiasa mempunyai bakat dagang yang perlu ditiru.
Terimakasih, Semoga tulisan ini bermanfaat!!