Foto: Pembukaan
isolasi fisik jalan lintas Flores tahun 1915-1925 oleh Hindia Belanda.
Foto ini tepat di Kilometer 17 dari Ende menuju Maumere. Sumber Trophen
Museum.
SEJARAH KERAJAAN ENDEH;
Hingga kini, tidak banyak yang mengetahui asal mula berdirinya kota
Ende secara jelas, namun bagian-bagian pencerahan bertumpu pada
serpihan-serpihan sejarah yang tercecer kini perlahan mulai terkuak,
sehingga munculnya artikel ini menjadi 'turning point' untuk dijadikan
pedoman penggalian fondasi sejarah yang utuh. Meski hanya serpihan,
namun artikel yang di himpun dari beberapa sumber ini dapat memberi
gambaran jelas kemisterian peristiwa masa lampau. Karena itu, pada
bagian mukadimah penulis ingin menyampaikan agar setiap pembaca dapat
memberikan kontribusi menyempurnakan isi jika dalam artikel ini terdapat
kekurangan.
Penulis memahami, bahwa munculnya artikel ini dapat
saja menuai perbedaan tajam antara sumber lisan maupun literatur yang
dimiliki penulis. Namun demikian, penulis merasa tertantang untuk
menerobos kewenangan sejarah masa lampau yang penuh misteri demi
tersemburnya sebuah fakta otentik. Karena ini, penulis mengajak semua
para pembaca untuk sama-sama melengkapi tulisan ini. Dari sumber yang
tercantum diatas, penulis menemukan beberapa fakta sejarah kota Ende
yang konon merupakan sebuah perkampungan kecil (Nua Endeh) dan kemudian
berkembang menjadi sebuah kerajaan bernama kerajaan Endeh.
Dahulu, Ende merupakan tempat persinggahan dan bandar pelabuhan
perdagangan antar masyarakat nusantara maupun masyarakat luar. Letaknya
yang strategis, berada di tengah-tengah pulau Flores membuat Ende sangat
diminati oleh saudagar-saudagar sehingga kaum gujarat, unsur Cina, kaum
muslim, kerajaan Majapahit, kesultanan Gowa, kesultanan Bima, Portugis
dan Belanda pun kepincut ingin menguasai Ende lewat perdagangan,
penyebaran agama maupun agresi-agresi militer.
Satoshi dalam
naskah sejarah Flores mengemukakan bahwa; "Pendiri kerajaan Endeh adalah
seorang pria dari Jawa. Beliau menikahi puteri tuan tanah di Endeh dari
kampung Numba dan dari kampung Nggela. Sebab itu ia diberi kekuasaan
dan hak-hak atas tanah Ende oleh ayahnya mertuanya. Kemudian ia
mendirikan dinasti Endeh (Kerajaan Endeh). Ia adalah raja pertama
bernama Djari Jawa sekitar abad 15. Nama asli Djari Djawa adalah Raden
Husen, seperti nama Islam Jawa". Pada orde ini, kerajaan Ende berdiri
secara tradisional tanpa sentuhan pengaruh Portugis maupun Belanda.
Namun kerajaan ini tidak berkembang karena sistem kerajaan yang pada
waktu itu tidak dimanaging dengan baik, sehingga terjadi stagnasi dalam
waktu yang cukup lama.
Kerajaan Endeh akhirnya dihidupkan
kembali pada masa pemerintahan raja Indra Dewa sekitar tahun 1800 atas
dukungan raja Gowa (Sulawesi). Pada periode ini, sultan Bima yang juga
merupakan keturunan raja Gowa turut berperan membina hubungan
kekerabatan dengan raja Indra Dewa. Jauh sebelum masa pemerintahan raja
Indra Dewa, bangsa Portugis telah melakukan perniagaan di wilayah Endeh
karena Ende merupakan penghasil kayu manis terbesar di dunia. Sehingga
untuk mempertahankan mengaruhnya, Portugis mendirikan benteng Rendo Rate
Rua di pulau Ende pada tahun 1659-1661. Benteng itu akhirnya dibakar
oleh para bajak laut. Hal lain yang menyebabkan terbakarnya benteng
Rendo Rate Rua ialah; terjadinya perebutan gadis Rendo dikalangan bajak
laut dengan misonaris Portugis. Hubungan kekerabatan antara kesultanan
Bima dengan kerajaan Ende berlanjut meski kerajaan Gowa telah runtuh
oleh agresi militer Belanda di Sulawesi.
Di era kolonial Hindia
Belanda, terungkap sebuah peristiwa dimana hubungan yang tidak begitu
sederhana antara kerajaan Ende dan Pemerintah Belanda. Hubungan itu
telah terbina pada kisaran tahun 1890, tahun yang menurut salah satu
petugas (de Vries), demarcates periode sebelum 1907.
Pada bulan
Juni 1890, Kupang-menjadi tempat penahanan Bara Nuri seorang mosalaki
dan pejuang daerah Ende dari kampung Wolo Are. Baranuri kemudian
berhasil melarikan diri dan kembali ke Ende. Pemerintah Kolonial Belanda
meminta Aroeboesman raja Ende waktu itu untuk membantu pemerintah
menangkap Bara Nuri, namun upaya itu selalu gagal. Setelah kegagalan
berulang-ulang, terutama karena keengganan pemerintah Belanda untuk
membantu bekerja sama dengan raja, namun raja akhirnya berhasil
menangkap Bara Nuri.
Setelah kembali ke Ende, Bara Nuri meminta
bantuan Marilonga salah satu pejuang sekaligus mosalaki di tanah Lio.
Mereka mensiasati dan membangun sebuah benteng pertahanan di desa Manu
Nggoo sehingga raja Ende menyerang desa itu. Kedua pahlawan Ende ini
menguasai masing-masing medan tempur. Bara Nuri di wilayah Ende dan
Marilonga di wilayah Lio. Kedua figur ini saling menopang dalam
menghadapi agresi Belanda.
Pada 8 Januari 1891, kapal perang
Jawa muncul di teluk Ipi Ende. Dengan bantuan ini dan sekitar 1.000
orang berkumpul oleh upaya raja, menyerang benteng Bara Nuri pada
tanggal 10 Januari, dan gagal lagi. Pada bulan Februari, bala bantuan
datang dari Kupang atas komando cruiser van Speijck.
Pada tahun
1896, raja Pua Meno secara resmi ditunjuk sebagai raja Ende oleh
Pemerintah Belanda. Upaya untuk menangkap Bara Nuri pun dilanjutkan raja
Pua Meno yang diangkat Belanda.
Melihat bahwa Bara Nuri tidak
akan menyerah meskipun dihujani serangan bertubi-tubi oleh kekuatan
Belanda, lalu Belanda pun mengirimkan posthouder (Rozet) untuk melakukan
perundingan gencatan senjata. Setelah menyimpulkan perdamaian, Bara
Nuri akhirnya memutuskan untuk keluar hanya untuk ditangkap oleh
posthouder. Ini suatu perbuatan pengkhianatan yang dilakukan oleh
posthouder pada waktu itu.
Menurut 'de Vries' pada waktu itu,
tahun 1910 posthouder menggunakan strategi (trap) jebakan bahwa Bara
Nuri akan diangkat jadi raja Endeh sehingga ia harus datang ke Endeh
agar dapat dipilih sebagai Raja (vries-10: 28).
Dalam waktu yang
hampir bersamaan sekitar tahun 1904, perang pecah di beberapa wilayah
diantaranya Nanga Baa, Watu Sipi dan beberapa wilayah Lio lainnya.
Sehingga Pemerintah Belanda cepat mengirim sebuah kapal, HM Mataram,
untuk membantu raja.
Dalam rangkuman de Vries, situasi politik
onderafdeeling Endeh sebelum tahun 1907; Pengaruh pemerintahan Hindia
Belanda tidak lebih jauh, melainkan hanya sekitar wilayah kota Ende
sebab mereka selalu dihadang oleh Marilonga di wilayah Lio.
KLAIM KESULTANAN BIMA ATAS ENDE;
Dalam kurun waktu tahun 1800 hingga 1900-an, hubungan kerajaan Bima dan
kerajaan Ende sangat erat. Hal ini dapat terlihat dari bukti naskah
otentik berupa surat menyurat antara raja Bima, Sultan Ismail dan raja
Ende, Indra Dewa. Isi surat tersebut mengisyaratkan bahwa kedua kerajaan
ini harus saling menopang antara satu dengan yang lain. Hubungan kedua
kerajaan ini telah terbina sejak klaim hikayat kekuasaan Bima masa
Tureli Nggampo, sang Makapiri Solo.
Sebagaimana yang belum
banyak diketahui, bahwa berdirinya kerajaan Ende tidak terlepas dari
pengaruh Bima sehingga menurut naskah H. Achmad/Held [1995:148, 152-3],
proses pengangkatan raja Ende harus berdasarkan mufakat kerajaan Bima.
Hal ini menunjukan karakter yang khas klaim legendaris Bima versi "Dewa
Sang Bima" dan "Makapiri Solo".
Isi dari surat raja Bima [Sultan
Ismail] di tulis pada 22 Jumadialkhir 1267 H ( 24 April 1851). Bunyi
surat itu sebagai berikut:
:___"Bahwa Paduka Duli Yang
Dipertuan Kita Seri Sultan Bima menaruh tanda serta cap didalam ini
kertas sebab ada AtanggaE anak Raja Endeh yang bernama AtanggaE Itung,
AtanggaE Nuh dan AtanggaE La Bukana, dan AtanggaE Dua dan Jenangoco
Sumba bernama Adam yang dititahkan oleh segala kepala-kepala Endeh yang
datang meminta perintah, serta idzin kepada Duli Yang Dipertuan Kita
kedua dengan tanah Bima, serta dipintanya seorang Kepala Menteri di Bima
akan menggelarkan atau mendirikan Rajanya, yang sebagaimana telah
dibiasakan oleh raja-raja yang dahulu-dahulu, karena segala
Kepala-Kepala sampai segala rakyat Endeh telah sudah bersatuan mufakat
dan kesukaan AtanggaE Indra Dewa itulah menjadi Raja yang memerintahkan
kepada antero tanah Endeh dan AtanggaE KarsiA itu menjadi Kepala Bicara
yang memegang istiadat tanah Endeh. Maka adalah
Duli Yang Dipertuan Kita kedua dengan tanah Bima terlalu suka hati,
sebab Kepala-Kepala Endeh masih juga ingat pekerjaan yang dahulu-dahulu,
yang sebagaimana pekerjaan raja-raja yang dahulu mahrum serta
dikuatinya dan diteguhinya kehendak orang banyak itu, karena tanah Endeh
di bawah perintah tanah Bima memang dari dahulu kala sampai sekarang
ini. Dari pada itulah Paduka Tuan Kita kedua
dengan tanah Bima memberitahukan tuan Petor Bima bernama Tuan Schietno,
maka Paduka Tuan Petor menerima dengan kesukaan hati akan meneguhinya
serta menguatinya yang sebagaimana yang telah dimufakatkan oleh tanah
Bima dengan tanah Endeh yang seperti pekerjaan raja-raja yang
dahulu-dahulu sampai sekarang, Tuan Petor Bima menaruh tanda tangan
serta cap di dalam kertas. Tertulis pada malam Kamis dua likur hari
bulan Jumadilakhir 126."_____: Surat Balasan Dari Raja Indra Dewa,
Dua tahun kemudian, tepatnya 2 Syawal 1269 H (3 Agustus 1853), muncul
surat balasan dari raja Indra Dewa untuk raja Bima. Bunyi surat itu
sebagai berikut:
:___" Waba'du kemudian dari pada itu adalah
Paduka Adinda dan sekalian raja-raja bermahlum perihal Adinda
mempersembahkan warakat secarik kecil dengan tiada sepertinya akan
menjadi Rabitulmuhib yang tiada mangkata' lagi adanya Adinda dengan Seri
Paduka serta membikin surat kiriman yang dibawah oleh AtanggaE Itung
itu telah sampailah dengan sejahtera kepada tuju belas hari bulan
Julkaidah, maka Adinda baca daripada awal setera hingga akhirnya.
Maka telah mahfumlah apa yang disebut didalamnya itu, dan jikalau ada
kiranya hendak menanyakan hal ihkwal tanah Endeh, Alhamdulillah di dalam
hairunnasirin, maka adalah sekalian raja-raja mengkhabarkan Seri Paduka
akan Raja sudah mufakat mengangkat Raja Indra Dewa, maka itulah Raja
mengkhabarkan Seri Paduka karena tanah Bima dengan tanah Endeh tiada
boleh bercerai dari dahulu sampai sekarang demikianlah adanya. Tertulis
di dalam negeri Endeh, dua puluh tujuh hari bulan Syawal pada hari Rebu
seribu dua ratus enam puluh sembilan"____:
Dari bunyi naskah
surat Sultan Bima diatas, dapat ditafsirkan bahwa hubungan kekerabatan
antara kedua kerajaan ini telah lama sekali berlangsung dan menunjukan
penemuan bukti legitimasi kerajaan Bima atas Endeh seperti yang tertuang
dalam kutipan; "Meminta perintah serta Idzin". Hal ini dapat diartikan
klaim souverenitas hegemoni Bima yang "Makapiri Solo" bahwa
kepala-kepala Endeh masih ingat pekerjaan yang dahulu-dahulu yang
sebagaimana pekerjaan raja-raja dahulu marhum, karena tanah Endeh
dibawah perintah tanah Bima dari dahulu sampai sekarang ini.
Seperti diketahui bahwa klaim "Makapiri Solo" sudah terjadi sejak masa
Tireli Nggampo pada tahun 1660 di negeri Bima. Itu berarti klaim dan
hubungan kerajaan Bima dengan kerajaan Endeh telah terbangun pada tahun
1660. Kendati demikian, penulis menangkap bahwa ada frase sejarah yang
hilang ditengah hiruk pikuknya perkembangan Ende masa kini. Penulis
mensinyalir klaim ini bukan saja melekat di pojok-pojok mimpi namun juga
terdapat langgam "politik luar negeri" Kesultanan Bima agar mendapat
simpati Belanda. Hanya saja, kurangnya literatur sejarah Endeh membuat
klaim tersebut seolah memperteguh bahwa Endeh pada masa yang lampau
adalah benar berada dibawah kekuasaan Kerajaan Bima.