Logo

Logo
Latest News
Tuesday, April 23, 2013

MENEROPONG JEJAK MANIFESTO (plann) PROVINSI FLORES


Oleh Marlin Bato
Jakarta, 23 April 2013

Dalam beberapa tahun terakhir wacana mengenai pemekaran provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi dua provinsi yakni provinsi NTT dan provinsi Flores semakin menguat. Wacana tersebut berkembang tidak hanya di kalangan masyarakat yang berdiam di Flores, Lembata, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, saja, tetapi juga di kalangan masyarakat Flores-Lembata diaspora atau yang ada di perantauan.

Wacana tersebut diwujudkan melalui pembentukan Komite Perjuangan Pembentukan Provinsi Flores (KP3F) di enam kabupaten di Flores dan Lembata, pada tahun 2004 lalu. KP3F dibentuk terutama untuk melakukan sosialisasi sekaligus mengakomodasi berbagai aspirasi tentang pembentukan provinsi baru itu

Wacana dan perjuangan tak kenal lelah masyarakat Flores untuk membentuk provinsi Flores dilandasi oleh sejumlah dasar atau landasan, baik yang berkaitan dengan pengalaman sejarah (landasan historis), ideologis, fakta hukum (landasan hukum), maupun bertalian dengan tren pengelolaan pemerintahan (administrasi).
Meski sangat gencar dibahas dalam beberapa tahun belakangan, wacana pembentukan Provinsi Flores bukanlah sesuatu yang baru muncul pada era reformasi. Menurut catatan sejarah, antara tahun 1950 hingga 1958, pulau Flores merupakan bagian dari Provinsi Sunda Kecil yaitu sebuah provinsi yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara. Provinsi tersebut terbentuk oleh PP No.21/1950 atas dasar UU No.22/1948.

Gagasan pembentukan Propinsi Nusa Tenggara Timur berawal dari ide Partai Katolik dalam konferensi partai tersebut di Nele (Sikka) pertengahan Mei tahun 1956, yang ingin membentuk Propinsi Flores, karena Partai Katolik menang mutlak di Flores. Gagasan Konferensi tersebut ditentang oleh delegasi Komisariat Partai Katolik Timor yang dipimpin oleh Frans Sales Lega, dengan argumentasi: “Mengapa tidak bergabung dengan Timor dan Sumba, dengan golongan Protestan” Konferensi batal memutuskan status “Gagasan Propinsi Flores”, tapi diulangi lagi dalam konferensi Partai Katolik berikutnya di Ende Bulan Juni tahun 1957. Frans Sales Lega tetap pada pendiriannya. Sebaliknya ia mengangkat usul alternatif yakni membentuk sebuah propinsi untuk seluruh bekas karesidenan Timor yang terdiri dari Timor, Flores, Sumba dan Sumbawa dan pulau-pulau sekitarnya.

Tahun 1958, gagasan mengenai pemekaran Sunda Kecil menjadi tiga provinsi baru yaitu provinsi NTT, provinsi NTB dan provinsi Bali, terealisasi. Provinsi NTT sendiri dibentuk atas dasar UU No.1 tahun 1957 dan UU No.64/1958, sedangkan ke 12 kabupaten pendudukungnya yaitu Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, Alor, Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Kupang, Sumba Timur dan Sumba Barat, dibentuk atas dasar UU No.69/1958.

Meski sudah menjadi bagian dari provinsi baru NTT, sejumlah kalangan masyarakat Flores terus saja mewacanakan gagasan pembentukan Provinsi Flores. Wacana itu terus bergulir hingga akhir dekade 1960-an. Kemudian gagasan tersebut secara perlahan meredup dan padam karena pemerintahan Orde Baru di bawah kendali Soeharto menerapkan gaya pemerintahan yang sentralistik.

Gagasan dan wacana mengenai pembentukan provinsi Flores kembali bersemi tatkala pemerintah RI mengalami reformasi sistem pemerintahan pada tahun 1998. Semenjak itu secara perlahan-lahan gagasan itu berkembang lagi. Masyarakat Flores seakan menemukan energi dan peluang untuk mewacanakan, mempersiapkan, dan merealisasikan pembentukan provinsi Flores.

Upaya pembentukan Provinsi Flores tampaknya menjadi makin mulus karena pihak pemerintah Propinsi NTT sudah mengalokasikan dana bantuan langsung untuk proses penjajakan pembentukan Provinsi Flores sejak tahun anggaran 2004. Alokasi anggaran untuk Tim Pengkaji Pembentukan Provinsi Flores (TP3F) sebesar Rp150 juta yang kemudian dilanjutkan pada tahun anggaran 2005 dan 2006 dengan jumlah yang sama.

Secara historis pula masyarakat Flores memiliki kepercayaan diri yang cukup kuat untuk mengajukan proposal pembentukan Provinsi Flores. Sebab, Flores khususnya Ende, pernah memainkan peran strategis dalam sejarah pembentukan dasar dan ideologi Negara Kesatuan RI yaitu Pancasila. Menurut catatan sejarah, selama menjalani masa pembuangan di Ende pada tahun 1934-1938. Soekarno selaku Bapa Pendiri Bangsa Indonesia selalu mengisi hari-harinya dengan membaca buku-buku filsafat, agama dan politik, merenung, dan berdikusi dengan para pastor Katolik serta tokoh-tokoh masayarakat setempat untuk menggali butir-butir keutamaan ideal yang kemudian dirumuskan sebagai Dasar Negara dan filosofi hidup berbangsa, yaitu Pancasila.

Dalam buku biografinya Bung Karno, Presiden I RI, mengatakan betapa dia sering duduk merenung di bawah pohon sukun, dekat laut. “Pohon itu tumbuh di atas sebuah bukit berumput. Dari sana saya dapat memandang sebuah teluk. Di sana selama berjam-jam saya bermimpi dengan mata terbuka sambil memandang luasan langit biru dengan tepi-tepinya yang putih berawan. Kadang-kadang seekor kambing tersesat lewat di depan saya.” (Cyndi Adams, 1965).

Proposal pembentukan Provinsi Flores juga didasari oleh tekad masyarakat Flores untuk memelopori upaya mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideolgi hidup berbangsa. Masyarakat Flores menyadari bahwa perjuangan untuk mempertahankan dan melestarikan Pancasila merupakan sebuah panggilan etis-moral, mengingat semenjak reformasi politik tahun 1998, bangsa Indonesia cenderung mengabaikan Pancasila.

Masyarakat Flores berkeyakinan bahwa dengan berikrar setia kepada Pancasila, Provinsi Flores bisa menjadi salah satu pelopor penerapan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Bahkan, dengan memposisikan Pancasila pada tempatnya yang sebenarnya, Provinsi Flores dapat menjadi model bagi kehidupan bermasyarakat yang berbasiskan kebhinekaan dan menjujung tinggi sikap toleransi.
Harapan seperti itu bukannya tanpa dasar sama sekali. Dari studi lapangan di Flores pada tahun 1979-1984, Eriko Aoki, antropolog dari Universitas Ryukoku, Jepang berkesimpulan bahwa sikap toleransi dan keramahtamahan masyarakat Flores dapat menjadi model bagi bentuk baru multikulturalisme di Indonesia.

Menurut Aoki, masyarakat Flores secara turun-temurun menghayati kehidupan yang sungguh-sungguh lintas-batas dan imagined borders. “Sejak migrasi (manusia purba) Austronesia dan jaman perdagangan laut di kawasan Asia Tenggara, bahkan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, masyarakat Flores telah masuk dalam jaringan transnasional melalui jaringan para misionaris Katolik. Kini, ratusan pastor Katolik dan seminaris dari Flores telah dikirim ke berbagai penjuru dunia, mulai dari Afrika hingga Amerika Latin, dari Rusia hingga Selandia Baru. Dan, karena desakan kapitalisme global, ribuan orang Flores terdorong untuk pergi ke Malasyia dan Hongkong sebagai tenaga kerja murah, bahkan tak sedikit sebagai tenaga kerja (TKI) ilegal.

Umumnya, orang Flores yang pergi ke luar negeri itu tak mengalami kesulitan berarti untuk menjalin relasi persahabatan dengan warga dari suku atau bangsa lain. Hal ini terjadi, jelas Aoki, karena orang Flores memiliki kemampuan adaptasi sosial (social adaptability) yang tinggi. Di sisi lain, orang-orang Flores pun memiliki sikap toleransi yang tinggi, dan mampu menerima orang lain apa adanya. Itu sebabnya, sekali pun banyak yang ditangkap dan diusir keluar dari Malaysia misalnya, TKI asal Flores tetap diterima dan dihargai di kampung asalnya.

Aoki bersaksi bahwa dari pengalaman hidup bersama selama masa penelitian ia berkesimpulan bahwa orang Flores juga memiliki fleksibilitas politik (political flexibility) yang tinggi. Masyarakat Flores menghayati apa yang disebut sebagai pragmatic political suppleness dan negotiated order, sekali pun mereka pernah berada di bawah penjajah Belanda dan Jepang, mengalami nasionalisasi Indonesia dan menghadapi globalisasi. (Eriko Aoki dalam Saito Fumihiko, 2008).

Aoki menyebut keunggulan karakter masyarakat Flores itu dengan sebutan Austronesian cosmopolitanism. Bahkan tanpa keraguan sedikit pun ia mengusulkan agar prinsip political flexibility dipakai sebagai model bagi Indonesia agar bisa mencegah konflik bernuansa SARA dan agar negara tetap memainkan peran penting sebagai institusi politik-ekonomi. (Bdk. Antropologi Indonesia, Special Volume, 2004).

Masyarakat Flores menemukan pijakan hukum yang kuat untuk mengupayakan pemekaran NTT dan pembentukan Provinsi Flores Otonomi Daerah Pengertian; Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
  • Facebook Comments
Item Reviewed: MENEROPONG JEJAK MANIFESTO (plann) PROVINSI FLORES Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi