Dalam beberapa tahun terakhir wacana mengenai pemekaran provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) menjadi dua provinsi yakni provinsi NTT dan
provinsi Flores semakin menguat. Wacana tersebut berkembang tidak hanya
di kalangan masyarakat yang berdiam di Flores, Lembata, dan pulau-pulau
kecil di sekitarnya, saja, tetapi juga di kalangan masyarakat
Flores-Lembata diaspora atau yang ada di perantauan.
Wacana
tersebut diwujudkan melalui pembentukan Komite Perjuangan Pembentukan
Provinsi Flores (KP3F) di enam kabupaten di Flores dan Lembata, pada
tahun 2004 lalu. KP3F dibentuk terutama untuk melakukan sosialisasi
sekaligus mengakomodasi berbagai aspirasi tentang pembentukan provinsi
baru itu
Wacana dan perjuangan tak kenal lelah masyarakat
Flores untuk membentuk provinsi Flores dilandasi oleh sejumlah dasar
atau landasan, baik yang berkaitan dengan pengalaman sejarah (landasan
historis), ideologis, fakta hukum (landasan hukum), maupun bertalian
dengan tren pengelolaan pemerintahan (administrasi). Meski sangat
gencar dibahas dalam beberapa tahun belakangan, wacana pembentukan
Provinsi Flores bukanlah sesuatu yang baru muncul pada era reformasi.
Menurut catatan sejarah, antara tahun 1950 hingga 1958, pulau Flores
merupakan bagian dari Provinsi Sunda Kecil yaitu sebuah provinsi yang
meliputi kepulauan Nusa Tenggara. Provinsi tersebut terbentuk oleh PP
No.21/1950 atas dasar UU No.22/1948.
Gagasan pembentukan
Propinsi Nusa Tenggara Timur berawal dari ide Partai Katolik dalam
konferensi partai tersebut di Nele (Sikka) pertengahan Mei tahun 1956,
yang ingin membentuk Propinsi Flores, karena Partai Katolik menang
mutlak di Flores. Gagasan Konferensi tersebut ditentang oleh delegasi
Komisariat Partai Katolik Timor yang dipimpin oleh Frans Sales Lega,
dengan argumentasi: “Mengapa tidak bergabung dengan Timor dan Sumba,
dengan golongan Protestan” Konferensi batal memutuskan status “Gagasan
Propinsi Flores”, tapi diulangi lagi dalam konferensi Partai Katolik
berikutnya di Ende Bulan Juni tahun 1957. Frans Sales Lega tetap pada
pendiriannya. Sebaliknya ia mengangkat usul alternatif yakni membentuk
sebuah propinsi untuk seluruh bekas karesidenan Timor yang terdiri dari
Timor, Flores, Sumba dan Sumbawa dan pulau-pulau sekitarnya.
Tahun 1958, gagasan mengenai pemekaran Sunda Kecil menjadi tiga
provinsi baru yaitu provinsi NTT, provinsi NTB dan provinsi Bali,
terealisasi. Provinsi NTT sendiri dibentuk atas dasar UU No.1 tahun 1957
dan UU No.64/1958, sedangkan ke 12 kabupaten pendudukungnya yaitu
Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, Alor, Belu, Timor Tengah
Utara, Timor Tengah Selatan, Kupang, Sumba Timur dan Sumba Barat,
dibentuk atas dasar UU No.69/1958.
Meski sudah menjadi bagian
dari provinsi baru NTT, sejumlah kalangan masyarakat Flores terus saja
mewacanakan gagasan pembentukan Provinsi Flores. Wacana itu terus
bergulir hingga akhir dekade 1960-an. Kemudian gagasan tersebut secara
perlahan meredup dan padam karena pemerintahan Orde Baru di bawah
kendali Soeharto menerapkan gaya pemerintahan yang sentralistik.
Gagasan dan wacana mengenai pembentukan provinsi Flores kembali bersemi
tatkala pemerintah RI mengalami reformasi sistem pemerintahan pada
tahun 1998. Semenjak itu secara perlahan-lahan gagasan itu berkembang
lagi. Masyarakat Flores seakan menemukan energi dan peluang untuk
mewacanakan, mempersiapkan, dan merealisasikan pembentukan provinsi
Flores.
Upaya pembentukan Provinsi Flores tampaknya menjadi
makin mulus karena pihak pemerintah Propinsi NTT sudah mengalokasikan
dana bantuan langsung untuk proses penjajakan pembentukan Provinsi
Flores sejak tahun anggaran 2004. Alokasi anggaran untuk Tim Pengkaji
Pembentukan Provinsi Flores (TP3F) sebesar Rp150 juta yang kemudian
dilanjutkan pada tahun anggaran 2005 dan 2006 dengan jumlah yang sama.
Secara historis pula masyarakat Flores memiliki kepercayaan diri yang
cukup kuat untuk mengajukan proposal pembentukan Provinsi Flores. Sebab,
Flores khususnya Ende, pernah memainkan peran strategis dalam sejarah
pembentukan dasar dan ideologi Negara Kesatuan RI yaitu Pancasila.
Menurut catatan sejarah, selama menjalani masa pembuangan di Ende pada
tahun 1934-1938. Soekarno selaku Bapa Pendiri Bangsa Indonesia selalu
mengisi hari-harinya dengan membaca buku-buku filsafat, agama dan
politik, merenung, dan berdikusi dengan para pastor Katolik serta
tokoh-tokoh masayarakat setempat untuk menggali butir-butir keutamaan
ideal yang kemudian dirumuskan sebagai Dasar Negara dan filosofi hidup
berbangsa, yaitu Pancasila.
Dalam buku biografinya Bung Karno,
Presiden I RI, mengatakan betapa dia sering duduk merenung di bawah
pohon sukun, dekat laut. “Pohon itu tumbuh di atas sebuah bukit
berumput. Dari sana saya dapat memandang sebuah teluk. Di sana selama
berjam-jam saya bermimpi dengan mata terbuka sambil memandang luasan
langit biru dengan tepi-tepinya yang putih berawan. Kadang-kadang seekor
kambing tersesat lewat di depan saya.” (Cyndi Adams, 1965).
Proposal pembentukan Provinsi Flores juga didasari oleh tekad
masyarakat Flores untuk memelopori upaya mempertahankan Pancasila
sebagai dasar dan ideolgi hidup berbangsa. Masyarakat Flores menyadari
bahwa perjuangan untuk mempertahankan dan melestarikan Pancasila
merupakan sebuah panggilan etis-moral, mengingat semenjak reformasi
politik tahun 1998, bangsa Indonesia cenderung mengabaikan Pancasila.
Masyarakat Flores berkeyakinan bahwa dengan berikrar setia kepada
Pancasila, Provinsi Flores bisa menjadi salah satu pelopor penerapan
tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Bahkan, dengan
memposisikan Pancasila pada tempatnya yang sebenarnya, Provinsi Flores
dapat menjadi model bagi kehidupan bermasyarakat yang berbasiskan
kebhinekaan dan menjujung tinggi sikap toleransi. Harapan seperti
itu bukannya tanpa dasar sama sekali. Dari studi lapangan di Flores pada
tahun 1979-1984, Eriko Aoki, antropolog dari Universitas Ryukoku,
Jepang berkesimpulan bahwa sikap toleransi dan keramahtamahan masyarakat
Flores dapat menjadi model bagi bentuk baru multikulturalisme di
Indonesia.
Menurut Aoki, masyarakat Flores secara turun-temurun
menghayati kehidupan yang sungguh-sungguh lintas-batas dan imagined
borders. “Sejak migrasi (manusia purba) Austronesia dan jaman
perdagangan laut di kawasan Asia Tenggara, bahkan jauh sebelum
proklamasi kemerdekaan, masyarakat Flores telah masuk dalam jaringan
transnasional melalui jaringan para misionaris Katolik. Kini, ratusan
pastor Katolik dan seminaris dari Flores telah dikirim ke berbagai
penjuru dunia, mulai dari Afrika hingga Amerika Latin, dari Rusia hingga
Selandia Baru. Dan, karena desakan kapitalisme global, ribuan orang
Flores terdorong untuk pergi ke Malasyia dan Hongkong sebagai tenaga
kerja murah, bahkan tak sedikit sebagai tenaga kerja (TKI) ilegal.
Umumnya, orang Flores yang pergi ke luar negeri itu tak mengalami
kesulitan berarti untuk menjalin relasi persahabatan dengan warga dari
suku atau bangsa lain. Hal ini terjadi, jelas Aoki, karena orang Flores
memiliki kemampuan adaptasi sosial (social adaptability) yang tinggi.
Di sisi lain, orang-orang Flores pun memiliki sikap toleransi yang
tinggi, dan mampu menerima orang lain apa adanya. Itu sebabnya, sekali
pun banyak yang ditangkap dan diusir keluar dari Malaysia misalnya, TKI
asal Flores tetap diterima dan dihargai di kampung asalnya.
Aoki bersaksi bahwa dari pengalaman hidup bersama selama masa penelitian
ia berkesimpulan bahwa orang Flores juga memiliki fleksibilitas politik
(political flexibility) yang tinggi. Masyarakat Flores menghayati apa
yang disebut sebagai pragmatic political suppleness dan negotiated
order, sekali pun mereka pernah berada di bawah penjajah Belanda dan
Jepang, mengalami nasionalisasi Indonesia dan menghadapi globalisasi.
(Eriko Aoki dalam Saito Fumihiko, 2008).
Aoki menyebut keunggulan
karakter masyarakat Flores itu dengan sebutan Austronesian
cosmopolitanism. Bahkan tanpa keraguan sedikit pun ia mengusulkan agar
prinsip political flexibility dipakai sebagai model bagi Indonesia agar
bisa mencegah konflik bernuansa SARA dan agar negara tetap memainkan
peran penting sebagai institusi politik-ekonomi. (Bdk. Antropologi
Indonesia, Special Volume, 2004).
Masyarakat Flores menemukan
pijakan hukum yang kuat untuk mengupayakan pemekaran NTT dan pembentukan
Provinsi Flores Otonomi Daerah Pengertian; Undang-Undang No 32 Tahun
2004 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.