Logo

Logo
Latest News
Thursday, October 20, 2011

SUASASA (Ungkapan Permohonan)

Dialektika Unik, Manusia Lio Dengan Wujud Tertinggi Dan Leluhur Serta Alam

Penulis: Florensius Syukur Sumarlin Bato


Di dalam naskah "Daya Hening Upaya Juang", P. Jhon Mansford Prior. SVD, mengemukakan; “Lionis” beranggapan bahwa “Budaya kami” adalah “Religion kami” dan ”Humanity kami”. Religion dan humanity pada tatanan Lionis dewasa ini menjadi semacam sebuah indoktrinasi bagi generasi Lio seperti yang tersirat melalui berbagai sastra lisan demi melestarikan kultur budayanya menuju era baru, era globalisasi, membuka ruang dan waktu tak terbatas dimana semua diadopsi secara instan. Konteks kekinian, menyerap berbagai makna filosofis sastra lisan dibutuhkan kematangan intelektual dan intelijensi tinggi untuk menangkap berbagai penafsiran ungkapan - ungkapan sastra lisan Lio yang sangat abstrak.  Leluhur Lio, sejak kelampauan acapkali menanamkan nilai-nilai luhur kepada generasi - generasinya melalui sastra-sastra Lio [literatur lisan] sehingga sangat kental terpatri dalam diri manusia etnic Lio jaman ini. Unik, namun sangat ampuh dan terbukti ungkapan sastra lisan mampu bertahan dalam deraan globalisasi. Keragaman sastra -sastra lisan suku Lio sejak kelampuan kerap diredusir dan dielaborasikan dalam pola dan laku hidup manusia Lio sehari-hari sehingga terbentuk karakteristik manusia Lio yang taat, patuh dan juga kuat dalam berbagai ruang lingkup dan aspek kehidupan.

Sebut saja, nungu-nange [dongeng], pelepata/mbasa waga [khiasan], bhea [slogan/pekik], sodha [syair nyanyian kidung], nangi pa'asuri [syair tangisan], sena [khiasan sindiran], dan suasasa [syair ungkapan permohonan] merupakan jenis-jenis sastra lisan yang hidup dan masih bertahan hingga kini serta terus berevolusi sesuai dengan kebutuhan hidup manusia-manusia Lio itu sendiri. Jenis-jenis sastra tersebut terbukti bertahan sangat lama sejak ratusan tahun silam. Namun pada episode ini, penulis mencoba meretas sastra lisan 'suasasa' dan mendeskripsikan berbagai pemahaman tentang suasasa secara obyektif.

Suasasa secara harfia dijelaskan sebagai syair ungkapan permohonan. Kendati demikian, dalam perspektif penulis, suasasa merupakan bentuk dialog unik, dialog sepihak serta dialektika antara manusia Lio dengan Wujud tertinggi maupun alam sekitarnya. Sehingga, sejak masa terdahulu manusia Lio terdoktrin untuk melestarikan ritualitas serta mendekatkan diri dengan alam yang dihuninya. Sementara Wujud tertinggi melalui alam memberikan penghidupan, dan manusia seyogyanya wajib melindungi alam serta isinya seperti yang termaktub kitab taurat kuno. Manusia dalam etnik Lio sebagai “Penjaga dan Perawat” atas ciptaan ”Du’a Nggae” yaitu: Bumi / Tana Watu / Ibu. Jadi Manusia punya tanggung jawab penuh atas Tana Watu, juga melestarikan dan menjaga Bumi/Ibu atau Tana Watu tetap subur. Secara kontekstual, ungkapan suasasa kerap pula dibarengi dengan berbagai ritualitas seperti Kuwiroe, dhera k/ha, rewurera atau berbagai divinasi - divinasi lainnya. Namun dalam konteks kekinian suasasa kerap dilakukan secara spontanitas tanpa di isi dengan kuwiroe dan lain-lain ketika keadaan memaksa (merasa terancam dan sebagainya).

Dalam bersuasasa, manusia Lio kerap memohon perlindungan, kebahagiaan, kemakmuran atau apapun yang berkaitan dengan hajat hidupnya sendiri maupun orang banyak. Ungkapan-ungkapan suasasa terdiri atas beberapa macam tergantung situasi dan kehendak permohonan manusia etnic Lio itu sendiri. Berikut ini contoh sastra lisan berupa 'suasasa' (Ungkapan permohonan);

SUA PAI KA EMBU MAMO

O Dua……Dua gheta lulu wula
Nggae ghale wena tana
Aku pai rina Du'a mai
Aku niu ngoso Nggae se’a
Mbeja Sa Miu ata mata- eo aku bebo, eo aku mbeo
Miu mulu aku baru ndu
Miu jejo aku baru dheko
Bhaku rate-Heda hanga-Pusu tubu-Musu Mase-
Lodo Nda no’o Wula leja
To’o sai lei po'o-Bhanga se lei mbeja
Tana nganga-watu bhanga
Ghele mai lugu-sai no’o ulu
Lau mai iko-sai no’o eko
Tondo tu-Medi pati
Te tego-Sasa bani
Tau gare naja wae weki
Tau nggoi Keba ngaki Rate
Wira wiwi ria-Redha lema bewa
Beke ata he’e-Bheja ata mbinge
Te mae le-Weru mae nggenggu
Sumi sai no’o su’a - k/hasa sai no’o besi
Ate raki-tolo mae tei
Tuku buku-mbelo mae mbeo
Mba sambu -Lora duga
Suru sai-Gepa gena
Nge bhondo-Beka kapa
Mbana ata pati-Mera ata tu
Tolo tondo mai mo -Tei lo ate moko
To’o sai lei po'o - Bhanga lei mbeja
Wora sa wiwi - Lulu sa lema
Tubu lubu-Buka lia-Lima rua


Syair suasasa ini ditafsirkan sebagai bentuk indulgensi dan permohonan manusia etnic Lio kepada Tuhan Sang Pencipta dan leluhur serta alam disekitarnya untuk perlindungan diri dan kelimpahan berkah serta dikaruniai dengan pengaruh/kharisma agar disegani oleh siapapun. Selain syair-syair suasasa diatas, ada pula syair ungkapan dalam berbagai ritual perladangan suku Lio sebagai berikut;

SUA PANEN/KETI UMA NGGUA

Du'a Gheta Lulu Wula
Ngga'e Ghale Wena tana
Nggoro Sai No'o Soko Lo'o
Tau Ka Are Kau Gau Dowa
Ru'e K/Hibi Kau Lema K/Hoja
Mo'o Tau Mujo Wiwi Kau No'o Moke mi


SUA TEDO (TANAM PADI LADANG)

Du'a Gheta Lulu Wula - Ngga'e Ghale wena Tana
Miu..Ebe Ghele – Ebe Ghawa
Ebe Ghale - Ebe Mena
Mai Sai Ka Bou - Pesa Mondo
We'e Uma Rema Kami; Tau Tedo Tembu – Wesa Wela


Pare Aku Gha Nuwa Ke'a – Nuwa Kema
Pare Aku Gha Meta Ngere Lelu Ngura
Dhoro Ngere Lelu lowo
Meta Ngere Kela Wewa Ria
Pare Aku Geka Sa Pepa
Bhoa Sa Lobo – Duka Au Ruma
Kami Rina Kamba Jara, Ma'e Mata Ae
Mo'o Tau Tubu Kuru – Kebu Ae


SUA SAWE TEDO (SELESAI TANAM PADI)

Kepe Nggengge No'o Muri Mbale
To'o Pare – Kobe Ma'e Ngoe, Leja Ma'e Bema
Kau Nuwa Kobe - Nuwa Leja
Nuwa Ke'a - Nuwa Kema
Kau Meta Ngere Lelu Kela
Mbombe Ngere Bhoka Rose


Tradisi pemujaan dalam bentuk suasasa ini sampai sekarang masih hidup dan berkembang dalam masyarakat Lio. Tradisi ini telah menjadi semacam simbol penyerahan diri seutuhnya kepada wujud tertinggi, leluhur dan alam sekitarnya. De facto suasasa terbukti sebagai simbol konstitutif [yang membentuk kepercayaan-kepercayaan], simbol kognitif [yang membentuk ilmu pengetahuan], simbol penilaian moral [yang membentuk nilai-nilai moral dan aturan-aturan], dan simbol-simbol ekspresif [pengungkapan perasaan].

Ritus-ritus yang dilaksanakan dalam masyarakat tradisional suku Lio biasanya sangat berkaitan dengan suasasa/dialektika secara emosional dengan mitologi dan sistem kepercayaan masyarakatnya [mengenai Tuhan, roh, alam semesta, bumi, dan lain-lain]. Khusus menyangkut pemujaan terhadap roh-roh leluhur maupun roh-roh lainnya, perlu dilakukan analisis yang cermat agar dapat dipahami prinsip dan orientasi kepercayaan lokal masyarakat tersebut.

Masyarakat Lio adalah masyarakat ritual yang memiliki begitu banyak syair suasasa dalam berbagai fase kehidupan. Sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan hidup masyarakat Lio yang umumnya merupakan petani subsisten ladang kering dengan sistem ‘tebas-bakar,’ karena itu suasasa diciptakan dan diungkapkan sebagai cara mereka menghormati alam yang gersang dan iklim yang kurang bersahabat.

Dalam setiap rangkaian upacara adat Lio, suasasa memiliki fungsi yang sangat vital karena suasasa merupakan puisi ritual tonis yang justru merupakan inti kekuatan magis pada berbagai upacara - upacara adat Lio. Dicermati dari karakteristiknya, suasasa memiliki empat fungsi utama, yakni: fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktitif, dan fungsi intensifikasi. Sebagai sebuah ungkapan magis, suasasa memuat berbagai makna yang penting bagi masyarakat pendukungnya. Kajian yang mendalam mengenai latar belakang mitologis munculnya tradisi suasasa ini akan memberikan penjelasan tentang inti kepercayaan atau religi lokal masyarakat Lio seperti yang dinyatakan oleh Prior, dalam "Daya Hening Upaya Juang", Budaya Kami adalah Religion kami dan Humanity kami.


Sekian...
Semoga bermanfaat....Tabe Pawe, Simo Gemi...!!

WANES-LISE
  • Facebook Comments
Item Reviewed: SUASASA (Ungkapan Permohonan) Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi