Logo

Logo
Latest News
Monday, May 9, 2011

WURUMANA


GOTONG ROYONG ALA SUKU LIO

Secara umum, pada dasarnya , setiap manusia mempunyai keinginan untuk mempertahankan hidup dan mengejar kehidupan yang lebih baik, hal ini merupakan naluri yang paling kuat dalam diri manusia. Sehingga manusia harus selalu berusaha untuk meningkatkan corak dan kualitas baik sebagai makhluk pribadi, individu maupun sebagai makhluk sosial yang harus dikembangkan secara selaras, seimbang dan serasi agar dapat menjadi seorang manusia yang utuh.

Kekuatan manusia pada hakekatnya tidak terletak pada kemampuan fisiknya atau kemampuan psikisnya semata-mata, tetapi kekuatan manusia terletak pada kemampuannya untuk bekerja sama dengan manusia lainnya. Disadari, bahwa sebagai manusia akan mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia lain apabila hidup di masyarakat. Manusia hanya mempunyai arti dan dapat hidup di antara manusia lainnya, tanpa ada manusia lain dalam hidup bermasyarakat seseorang tidak akan dapat berbuat banyak, dalam mempertahankan hidup dan usaha mengejar kehidupan yang lebih baik.

Kodrat manusia adalah sebagai makhluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi manusia memiliki ciri dan sifat yang khusus untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan potensi yang dimiliki, sedangkan sebagai makhuk sosial, manusia tidak dapat hidup, tidak dapat berkembang tanpa bantuan orang lain.

Gotong royong atau tolong menolong adalah bentuk kerja sama yang spontan yang sudah membudaya, serta mengundang unsur-unsur timbal balik yang bersifat sukarela untuk memenuhui kebutuhan insidentil maupun yang berkelangsungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bersama, baik material maupun spiritual. Dalam difinisi tersebut di atas tampak bahwa gotong royong,  tolong menolong merupakan suatu kegiatan yang dilakukan bersama-sama oleh beberapa orang dalam suatu kelompok masyarakat.  Oleh karena sistem gotong royong itu merupakan salah satu dari manifestasi kebudayaan yang sejak jaman nenek moyang terdahulu.

Dalam tatanan hidup masyarakat Suku Lio, keunikan Lio, dapat dilihat lewat bagaimana manusia Lio melakukan pembinaan kekerabatan secara lahir dan batin. Manusia Lio begitu taat untuk tetap ingat dengan asal muasal dari mana dirinya berasal. Hal inilah kemudian melahirkan berbagai sub suku dalam persekutuan Suku Lio yang kini dikenal dengan ‘Wewa’ / Nge wa’u, (keturunan), sehingga secara sadar terus melestarikan sistem gotong-royong/tolong menolong yang disebut “Wurumana”.

Wurumana adalah Suatu ikatan kekeluargaan yang pada dasarnya saling memberi dan saling menerima, saling membantu dalam kepentingan atau dalam sesuatu urusan penting berupa uang, barang atau tenaga. Sistem wurumana ini sudah membudaya dalam masyarakat Lio secara keseluruhan sejak berabad-abad silam. Melalui tradisi ini, masyarakat Lio cenderung mempererat temali persaudaraan dan ikatan kekeluargaan yang tak akan pernah terputus. Kini, tradisi ini masih relevan dan dipegang teguh oleh masyarat Lio sendiri ditengah era globalisasi.

“Wurumana” menurut kategorinya, ada yang bersifat wajib/terikat dan juga tidak diwajibkan. Dalam adat Lio dikenal tiga macam wurumana : 

1. Ana embu: Ana embu adalah pihak yang wajib memberikan emas-uang dan uang serta hewan, terdiri dari saudari ayah dan pihak-pihak yang merasa bersaudari dengan pihak pria. Pada poin ini, dapat diketahui, bahwa para pihak saudari (kaum wanita) harus memenuhi dan memberi bantuan kepada pihak saudara (kaum pria), dikarenakan factor garis keturunan.

2.   2. Ine Ame atau Kae Embu; adalah Pihak yang wajib memberi sandang dan pangan atau barang lain, selain dari emas, hewan dan uang; yang terdiri dari ayah atau saudara laki-laki, umumnya keluarga dari isteri, atau orang-orang yang merasa bersaudari dengan isteri.

3.   3. Tuka bela-Aji kae; ialah orang lain, atau yang berhubungan dengan famili tapi jauh, kawan baik yang seakan-akan bersaudara, yang memberi bantuan selain barang, juga bantuan tenaga bilah dibutuhkan. Pada poin ini,  tidak menegaskan dan mewajibkan para pihak untuk memenuhi barang atau tenaga. Jadi hanya kesadaran para pihak itu untuk berpartisipasi untuk saling menunjang antara satu dengan yang lain.

Kepada para pihak ‘wurumana’, kerap dibuat pemberitahuan melalui “Tebo bou, Lo mondo” atau “Minu ae petu” supaya dapat membawah apa yang dibutuhkan , serta disampaikan kebutuhan untuk apa, sehingga diminta bantuan. Dengan pemberitahuan ini, semua yang di minta sudah mengetahui apa yang dibawanya, untuk peralatan itu.

Patut diakui, kini tradisi ini semakin bergeser dan terancam punah atau berganti cara, dari wurumana ke cara yang lebih praktis yaitu berupa pengumpulan sejumlah uang. Hal ini juga kerap terjadi pada tatanan hidup orang Lio baik di wilayah Lio maupun diluar wilayah Lio. Sebagaimana juga terjadi pada masyarakat Suku Lio yang berdomisili di Jakarta ataupun daerah lain. Kendati demikian, penulis juga sangat mengaplaus luar biasa kepada beberapa masyarakat Lio yang berdomisili di wilayah Batam dan sekitarnya yang masih menerapkan konsep ‘wurumana’ ala leluhur. Semoga tradisi ini masih tetap menunjukan eksistensinya di tengah arus globalisasi yang begitu menggurita.

Terimakasih….

Penulis; Marlin Bato
Sumber; Naskah tertulis ‘Wurumana’.
Oleh. Bpk. Leo Wihelmus Misa Wasa
Wolowaru – 04 April 1983 (Paskah kedua)
Gambar ini hanya ilustrasi yang di ambil dari album foto Ibu Yudith Rae..(Facebook)
  • Facebook Comments
Item Reviewed: WURUMANA Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi