Logo

Logo
Latest News
Thursday, April 21, 2011

KONSEP TUHAN, BUMI, SEMESTA DAN MANUSIA


(Ditinjau dari sudut pandang Saintis, Agama dan Budaya Lio)

Tuhan - Du'a Ngga'e
Sekurangnya ada dua konsep umum yang menerangkan tentang ‘kepercayaan’ kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap Tuhan, yaitu antara konsep agama dan konsep religi. Koentjaraningrat (1987), sebagai salah seorang tokoh antropologi terkemuka di Indonesia, mengatakan bahwa religi adalah sebagai bagian dari kebudayaan; dalam banyak hal yang membahas tentang konsep ketuhanan beliau lebih menghindari istilah ‘agama’, dan lebih menggunakan istilah yang lebih netral, yaitu ‘religi’.
Sebenarnya pendapat Koentjaraningrat di atas yang mengatakan bahwa religi adalah bagian dari kebudayaan karena beliau mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Emile Durkheim (1912) mengenai dasar-dasar religi dengan empat dasar komponen, yaitu :
1. emosi keagamaan, sebagai suatu substansi yang menyebabkan manusia menjadi religius;
2. sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan atau yang dianggap sebagai Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib (supranatural);
3. Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, Dewa-dewa atau Mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib;
4. kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut

Ada beberapa paham yang mengemukakan tentang konsep ketuhanan yaitu:
--Monotheisme adalah paham yang meyakini Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat tunggal
Paham monotheisme dinilai bersumber dari ajaran Ibrahim. Beberapa agama besar mengakui paham monotheisme yaitu agama samawi dll.
--Politheisme adalah Kepercayaan tentang perwujudan Tuhan dalam berbagai bentuk
Kekuasaan adikodrati dalam beragam tingkatan.
--Monisme adalah Keberadaan Tuhan melebur dalam keberadaan dunia.
--Pantheisme adalah Dunia melebur didalam Tuhan, dengan salah satu cara dunia merupakan salah satu hakikatnya.

Para leluhur suku Lio, Flores Tengah (Central Flores) jaman dahulu mengajarkan konsep-konsep pemahaman tentang ketuhanan, karena pemahaman tentang ketuhanan sangatlah penting demi keselamatan hidup melalui relasi harmonis vertikal dan horisontal. Beberapa kajian mendalam tentang Tuhan menurut pandangan suku Lio, muncul pada beberapa referensi yang berhasil dihimpun para etnolog terkemuka seperti; P. Paul Arndt. SVD, P. Jhon Mansford Prior. SVD serta P. Piet Petu. SVD - cenderung mengarah kepada perwujudan tunggal (Monotheisme) yang disebut "Du'a Ngga'e - Ema Du'a". Namun, realitanya, tidak sedikit masyarakat Lio menganut paham politheisme dalam bentuk penyembahan-penyembahan dan divinasi kepada roh-roh gaib (animisme) sehingga terdapat pula tuhan-tuhan kecil di wilayah Lio, seperti; Sakasera, Fengge re'e, Ineleke dan lain-lain.

Pada tataran tertua di dalam evolusi religinya, masyarakat suku Lio percaya bahwa mahluk-mahluk halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggal mereka. Mahluk-mahluk halus tadi, yang tinggal dekat sekeliling tempat tinggal mereka, dianggap bertubuh halus sehingga tidak dapat tertangkap oleh pancaindera mereka, yang mampu berbuat hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh mereka, mendapat suatu tempat yang amat penting di dalam kehidupan mereka, sehingga menjadi obyek penghormatan, pemujaan, dan penyembahannya, dengan berbagai upacara keagamaan berupa doa, sajian atau korban.

Du'a Ngga'e  (Tuhan) Dalam Pandangan Lionisme
Oleh masyarakat suku Lio, kerap diagungkan dan dilukiskan dengan beberapa sebutan penghormatan terhadap wujud transcendental Yang Maha Tinggi, "Ria Kai Sa Ela' Meta : KuasaNya tidak terbatas dan tidak ada yang melebihi" - "Ria ata iwa langga : Penguasa yang tidak dilebihi oleh siapapun", Bewa Kai ata iwa Ndore: Kekuasaan yang Tertinggi tidak ada yang melebihi. Dalam sebuah naskah tertulis (Du'a Ngga'e Wujud Tertinggi Masyarakat Suku Lio), Pastor Paul Arndt. SVD melukiskan; Du’a Ngga’e adalah pengasal dari segala mahkluk. Dia menciptakan segala yang ada dan karenanya dia mempunyai kuasa atas mereka. Du’a Ngga’e,  ria, raja ria, Ngga’e riabewa yang artinya; Tuhan yang agung, raja besar, Tuhan yang maha kuasa. Ia dihormati dalam sumpah dan kaul melalui nyanyian dan tarian, dalam kutukan dengan namanya, dalam divinasi dan melalui persembahan-persembahan. Dari sumber - sumber lain, seorang nara sumber di wilayah Lio menyebutkan bahwa; Du'a Ngga'e itu identik dengan "Ema Du'a Tau Tipo", yang berarti Bapa Ilahi yang menjaga. Lantas disebutkan pula. "Ine Ngga'e Tau Pama", yang berarti Ibu Ilahi yang memelihara. Kedua kalimat dari narasumber ini menggambarkan bahwa, hakikat Du'a Ngga'e terdiri dari dua pribadi yaitu Bapa dan Ibu, namun merupakan kesatuan kosmic tak terpisah, seperti yang di kemukahkan oleh Paul Arndt; "Du'a Lulu Wula, Ngga'e Wena Tana" Du’a Ngga’e sebagai yang tertinggi melampaui sifat manusia dengan alasan bahwa wujud tertinggi-nya termasuk dalam astralmythologia, penghormatan dan pengilahian alam. Karena itu, sifat khas dari unsur alam raya dan langit dilekatkan juga pada wujud tertinggi. Melalui beberapa pandangan tersebut diatas, terbesit penyampaian pesan dan kesan, bahwa masyarakat Suku Lio meyakini ungkapan tersebut sebagai pembenar keberadaan Tuhan (Du'a Ngga'e). Du'a Ngga'e mempunyai maksud dan tujuan tertentu untuk mereka dalam memaknai kehidupan. Hasil cipta, karsa, dan rasa , mereka refleksikan dari kekuatan alam sekitarnya dan dikemas begitu rupa, menjadikannya sebuah pertunjukan yang sangat menarik, magis, dan sakral serta mengesankan yang mengandung nilai filosofis sangat luas dan bermakna bagi kehidupan mereka. Pada akhirnya mereka harus tunduk juga pada kekuatan alam sekitarnya.

Bumi dan Semesta Tercipta
Bumi adalah planet ketiga dari delapan planet dalam Tata Surya. Dalam bidang saintis (ilmu pengetahuan) tentang bumi, terdapat Hipotesis Nebula : Hipotesis nebula pertama kali dikemukakan oleh Immanuel Kant (1724-1804) pada tahun 1775. Kemudian hipotesis ini disempurnakan oleh Pierre Marquis de Laplace pada tahun 1796. Oleh karena itu, hipotesis ini lebih dikenal dengan Hipotesis nebula Kant-Laplace. Pada tahap awal tata surya masih berupa kabut raksasa. Kabut ini terbentuk dari debu, es, dan gas yang disebut nebula. Unsur gas sebagian besar berupa hidrogen. Karena gaya gravitasi yang dimilikinya, kabut itu menyusut dan berputar dengan arah tertentu. Akibatnya, suhu kabut memanas dan akhirnya menjadi bintang raksasa yang disebut matahari. Matahari raksasa terus menyusut dan perputarannya semakin cepat. Selanjutnya cincin-cincin gas dan es terlontar ke sekeliling matahari. Akibat gaya gravitasi, gas-gas tersebut memadat seiring dengan penurunan suhunya dan membentuk planet dalam. Dengan cara yang sama, planet luar juga terbentuk. Pada saat itu, tata surya (solar system) belum stabil dan usianya masih muda, sekitar 600 juta tahun. Pada saat ini, bumi panasnya luar biasa. Bumi waktu itu ditabrak oleh asteroid yang besar-besar. Bahkan, ada asteroids yang besarnya seukuran Mars yang menabrak bumi. Akibat tabrakan tersebut, ada pecahan (sempalan) bumi yang membentuk bulan (moon) yang terperangkap oleh gravitasi bumi. Tetapi sempalan tersebut tetap berusaha lari dari bumi kita ini sampai hari ini. Sempalan tersebut kini kita kenal dengan sebutan bulan (moon), sahabat terdekat kita di luar angkasa. Bulan sudah terperangkap oleh gravitasi bumi sekitar 4 billion years. Menurut para ilmuwan, bulan terus menjauhi bumi sekitar empat centimeter per tahun. Hadean Eon merupakan Eon yang pertama di dalam terciptanya bumi ini. Haedan Eon tidak dibagi menjadi “Era” & “Period”. Hadean Eon dimulai sekitar 4,600 juta tahun yang lalu (4.6 billion) dan berakhir sekitar 3,800 juta tahun yang lalu (3.8 billion). Menyimak berbagai teori ilmu pengetahuan, ini tentu sangat berbanding terbalik dengan beberapa pandangan agama dan budaya khususnya budaya Suku Lio tentang bumi.

Sedikit ulasan tentang bumi menurut agama-agama di dunia; Agama Samawi, (Yahudi, Kristen dan Islam), dalam kitab Taurat dikatakan bahwa Bumi itu diciptakan Allah/Yahwe. Pada bab awal disebutkan; Pada mulanya, Allah menciptakan alam semesta, siang dan malam, lautan dan daratan, tumbuh-tumbuhan dan biji-bjian yang dihasilkan oleh tanah itu, matahari-bulan dan bintang yang disebut cakrawala, lalu Tuhan menciptakan mahkluk hidup. Namun ketika bumi itu tercipta, bumi masih gelap gulita, lalu Tuhan menciptakan terang, dan menamai terang itu siang serta gelap itu malam.

Suku Lio pada tataran budayanya selalu mewarisi segala kearifan-kearifan lokal melalui tradisi lisan. Tradisi lisan adalah cerita dan non cerita yang dituturkan secara langsung oleh nenek moyang suku Lio secara turun temurun. Tradisi lisan ini sangat penting bagi kehidupan masyarakat Lio, sebab dari tradisi lisan inilah dapat diketahui pemikiran, sikap, dan perilaku masyarakat Lio. Selain itu dalam tradisi lisan ini mengandung filsafat, etika, moral, estetika, sejarah, seperangkat aturan adat, ajaran-ajaran agama asli suku Lio, ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, serta hiburan rakyat. Bagi masyarakat suku Lio tradisi lisan menghubungkan generasi masa lampau, sekarang, dan masa yang akan datang. Sehingga seorang narasumber menyebutkan; Sejak awal muncul dimuka bumi, budaya Lio tidak akan pernah punah sampai selama-lamanya meski pun terus berevolusi pada sang jaman.

Sejarah terciptanya bumi menurut para narasumber terdapat beberapa unsur yaitu:
Unsur → Tana (Tanah), Angi (Udara), Api,(Api) dan Ae (Air)
Tana (Tanah) : Tana Tau Lita ( Tanah untuk berpijak )
Angi (Angin): Tau rupi ngai (Untuk memberikan nafas kehidupan)
Api : Api Tau Hara ( Api Untuk Menghangatkan )
Ae (Air) : Ae Tau Keta ( Air Untuk Menyejukkan)
Pada saat pembentukan awal di alam ini Du’a Ngga’e/Ema Du’a, menciptakan sesuai kehendak-Nya yang luhur, Agung dan Mulia. Oleh Suku Lio mengatakan ungkapan dalam bahasa Lio sendiri ; diantaranya:
-          Ulu Mila : Semua itu gelap/ Kegelapan meliputi alam raya, seperti yang terdapat dalam teori Emanuel Kant melalui hipotesis Nebula. Atau dalam kitab Taurat yang menyebutkan; semula bumi itu gelap gulita, Tuhan menciptakan terang lalu menamai terang itu siang dan gelap itu malam.
-          Mata Ria : Mata Besar / Keesaan. Tuhan melihat semua itu baik.
-          Ema Du’a Nebu Liru Ngendo- Mesi Deso : Bapa Ilahi sudah lebih dahulu ada di saat langit terbuka, air laut turun.
-          Tana : Tanah terbuka, Nampak pusat bumi. Tana Baru Sa Paga : Ukuran Tanah/ Bumi baru sejengkal, Liru Baru Sa Siku : Ukuran Langit/ Bumi Baru Se hasta
-          Tana Tu’u-Watu Maja : Tanah dan Batu masih kering
-          Unga Sula : Uap muncul
-          Nu Nai : Asap Naik
-          Rubu Nu : Awan Mengepul
-          Angi Mai : Muncullah Angin
-          Uja Poa : Turunnya Hujan

Orang Lio menyatakan” Du’a Nggae, Mera Leka Longgo Leja” dalam arti harafia bahwa Sang Pencipta berada di balik punggung matahari, sehingga matahari {dalam Bahasa Lio “Leja”}, menyinari “Ulu Mila”{Kegelapan}, ini adalah awal dari Penciptaan pertama. Kebenaran ini dbuktikan bahwa di setiap Sa’o Ria Tenda Bewa dimana di depan halaman rumah atau Sa’o Ria, tepat di sudut kanan di pancal batangan pohon keras dan Gera {Bambu Aur} yang menjorok kearah matahari terbit, dan di mana setiap subuh seorang Kepala Adat sudah menunggu kedatangan Sang Penerang {Leja} dan di suguhkan dengan sapaan terhadap Matahari {Leja} dan memberi sesajian berupa butiran beras merah pertanda sapaan hormat terhadap Du’a Nggae dan meminta segala kekuatan agar sepanjang perjalanan hidup ini mereka selalu diberi kekuatan dan panjang umur, cera dalam berpikir dan berhasil dalam setiap usaha mereka. Pada dasarnya dalam pengetahuan apapun, bahwa yang sangat berperan dalam kehidupan ini adalah “Leja”{Sang Surya/Matahari} yang dalam suku kata lio menyatakan bahwa “cahaya tajam”.

Banyak di kalangan geografis sekarang mensalah-artikan dengan kiasan bahasa Lio dan selalu menterjemahkan lurus, dan ini pada dasarnya sampai saat ini “Lionis” belum terjadi Kooperatif dan selalu berdiri sendiri. Atas dasar kebenaran menurut story dan history dikalangan “Lionis”. Tapi penulis ingatkan kepada para pembaca tulisan ini menegaskan bahwa bahasa Lio adalah bahasa yang penuh dengan idiom semata dan pembaca perlu menyimak dn mengerti dan tahu tentang setiap suku kata dalam setiap kata-kata Lio misalnya; Leja terjadi dan asal suku katanya: Le’e dan Leja dimana le’e yang berarti “Tajam” dan Ja yang berarti “Cahaya/Terang” , karena dari dialeg untuk mempercepat atau singkat maka vokalnya “e” diraibkan satu, contoh lain kata-kata Lio yang disuku- katakan; Lio terdiri dari Li berarti “bunyi” dan “O” vocal hidup pertanda persetujuan atau jawaban “Ya”dan juga kata Gawi; terdiri dari kata”Ga” berarti “Segan”- “Wi”berarti “Menarik”untuk bersatu dan masih banyak lagi. Jadi sisi lain Lionis memiliki kekhasan tersendiri dan budaya tersendiri dari Etnik lainnya di muka bumi,Karena Budaya Lio sampai saat ini tidak punah seperti budaya suku dibelahan bumi lainnya. Oleh karena itu “Lionis” beranggapan bahwa “Budaya kami” adalah “Religion kami”dan”Humaniti kami” taat dengan apa yang sudah ditetapkan oleh”Du’a Nggae” sebagai Dua yang Terdahulu (pencipta) dan Sudah ditetapkan oleh “Du’a Nggae” sebagai Du’a yang terdahulu”Pencipta” dan “Nggae” yang menyenangkan memberi kehidupan”Penguasa Bumi” untuk manusia.

Manusia Tercipta
Secara teoritis, parah ahli dalam kajian biologi mengemukakan pendapat bahwa manusa berasal dari mahkluk hidup lain, yang terus berevolusi, seperti dalam teori evolusi Darwin. Meskipun teori evolusi selalu diasosiasikan dengan Charles Darwin, namun sebenarnya biologi evolusioner telah berakar sejak zaman Aristoteles. Namun demikian, Darwin adalah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi yang telah banyak terbukti mapan menghadapi pengujian ilmiah. Sampai saat ini, teori Darwin mengenai evolusi yang terjadi karena seleksi alam dianggap oleh mayoritas komunitas sains sebagai teori terbaik dalam menjelaskan peristiwa evolusi.  Perdebatan mengenai mekanisme evolusi terus berlanjut, dan Darwin tidak dapat menjelaskan sumber variasi terwariskan yang diseleksi oleh seleksi alam. Seperti Lamarck, ia beranggapan bahwa orang tua mewariskan adaptasi yang diperolehnya selama hidupnya, teori yang kemudian disebut sebagai Lamarckisme. Pada tahun 1880-an, eksperimen August Weismann mengindikasikan bahwa perubahan ini tidak diwariskan, dan Lamarkisme berangsur-angsur ditinggalkan. Selain itu, Darwin tidak dapat menjelaskan bagaimana sifat-sifat diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Pada tahun 1865, Gregor Mendel menemukan bahwa pewarisan sifat-sifat dapat diprediksi. Ketika karya Mendel ditemukan kembali pada tahun 1900-an, ketidakcocokan atas laju evolusi yang diprediksi oleh genetikawan dan biometrikawan meretakkan hubungan model evolusi Mendel dan Darwin.

Sebaliknya teori ini tidak kurang mendatangkan pertentangan para saintis dengan agamawan mengenai proses terciptanya manusia. Agama lebih menekankan pada sifat keIlahian Tuhan, yang menciptakan manusia berdasarkan gambar dan rupanya. Dogma dasar Darwinisme menyatakan bahwa makhluk hidup muncul menjadi ada dengan sendirinya secara spontan sebagai akibat peristiwa kebetulan. Pandangan ini sama sekali bertentangan dengan keyakinan terhadap adanya penciptaan alam oleh Allah. Konsep kebetulan seolah telah menjadi sumber keyakinan yang sangat dipercayai di bawah kedok  atheisme.  Konsep yang tidak diberi nama ini secara diam-diam telah disembah.

Manusia, dalam pandangan suku Lio selalu berkaitan dengan Tuhan Sang Pencipta, bumi dan alam sekitarnya. Manusia Lionisme dituntut untuk menghormati ‘Ema Du’a – Ine Ngga’e’ sebagai personifikasi dari langit dan bumi. Lionis meyakini segala hayat dan hidupnya sangat tergantung pada Wujud Sang Pencipta yaitu “Ema Du’a dan Ine Ngga’e”. Kendati demikian, tidak dijelaskan secara detail bagaimana proses terbentuknya manusia Lionis itu. Manusia Lio, hanya sangat yakin bahwa manusia diciptakan Tuhan dari alam sekitarnya. Sehingga terdapat beberapa kutipan dalam bahasa Lio;

Ine eo wuku laja dhana, eo kambu kapa-tembu tiko tana: Ibu/Bumi yang mengandungnya subur Melahirkan dan menumbuhkan di mana-mana”. “Mo Tondo Paga Saga : Memelihara dan membesarkan” “Pemba Iwa Gopi gela- Ka’o Iwa Midho Madho: Mengendong dengan baik sehingga tidak jatuh”.

Namun demikian, manusia Lio berkewajiban untuk memelihara alam ciptaan Tuhan (Du’a Ngga’e –Ema Du’a) disekitarnya sebagi penghormatan kepada alam yang memberikan kehidupan.  Sehingga falsafah “Ema Du’a Tau Tipo : Bapa Ilahi yang menjaga - Ine Ngga’e Tau Pama : Ibu Ilahi yang memelihara, Mo Tondo Paga Saga : Memelihara dan membesarkan”,.melekat sangat kuat dalam diri manusia Lio. Manusia Lio pada tataran hidupnya, haruslah giat bekerja memanfaatkan alam ciptaan Tuhan demi kelangsungan hidupnya.

Hungu Dubu Lima Bita : Giat bekerja
Supu Sai We Mbale : Berusahalah supaya berhasil
Peni Nge Wesi Nuwa: Peliharalah agar berkembang biak
Gaga Bo’O Kewi Ae: Bekerjalah supaya hasilnya berlimpah rua
Tedo Tembu Wesa Wela: Menanam dan menabur agar bertunas

Ungkapan-ungkapan Budaya LIO ini menandakan orang Lio selalu Meluhurkan, memuliakan dan Mengagungkan Ema Du’a- Du’a Ngga’e sebagai Sang Pencipta Alam Semesta dan Bumi yang mereka huni Etnik Lio taat dengan Alam yang merupakan Bagian Utama dalam kehidupan mereka yang selalu ada hidup timbal balik antara ; Alam Bumi dan Manusia. Alam menyatakan yang terdahulu sebelum Bumi dan Manusia ada, yang adalah penguasa jagat raya atau dalam bahasa Lio disebut dengan:”Du’a-Nggae” atau “Sang Pencipta” yang secara riil. Bumi yang OrangLio harafiakan sebagai “Tana-Watu” atau Ine{Ibu}, karena dalan sastra budaya Lio dan ungkapan bahas Lio menyatakan; “Ine eo Wuku Laja Dhana, Eo Kambu Kapa-Tembu Tiko Tana” dalam artinya :“Ibu {Bumi} yang mengandungnya sangat subur, melahirkan dengan menumbuhkan dimana-mana, sehingga kepedulian Orang Lio terhadap Bumi adalah taat dengan geografis setempat di mana mereka berhabit. Mereka selalu hidup bergantungan dengan lingkungannya, dan pada dasarnya ketaatan Etnik Lio benar-benar terjaga sampai saat ini, misalnya di mana tumbuhan pohon-pohon raksasa, mereka selalu menjaga dan menalaritasnya dan memastikan bahwa disitu ada penghuni kehidupan, akan tetapi secara ilmu pengetahuan bahwa tidak, akan tetapi pohon-pohon raksasa dapat mendatang sumber air serta curah hujan yang tinggi. Mungkin Orang Lionis memakai idiom setiap upacara mereka, “Penghuni Kehidupan” bisa saja dimaksud sumber kehidupan , karena Orang Lio selalu memakai bahasa Waga/Ungkapan Kiasan.

Manusia dalam etnik Lio sebagai “Penjaga dan Perawat” atas ciptaan ”Du’a Nggae” yaitu : Bumi / Tana Watu / Ibu. Jadi Manusia punya tanggung jawab penuh atas Tana Watu,juga melestarikan dan menjaga Bumi/Ibu atau Tana Watu tetap subur. Adapun Ungkapan dalam bahasa Lio menyatakan; BHEGHA PUSE TANA yang berarti Tanah terbuka Nampak Pusat Bumi. Ini diartikan bahwa kalau manusia tidak menjaga atau memelihara dengan baik maka Pusat Bumi terlihat, kiasan ini menekankan bahwa manusia tidak memporak-porandakan tanah misalnya menggali dengan seluas-luasnya dan terdalam yang mengakibatkan lempengan- lempengan tanah tidak alot lagi sehingga muda, merembes ambruk bila ada terjadi gempa atau adanya aktifitas ledakan tanah oleh ulah manusia yang dengan sengaja sehingga lempengan tanah yang tidak tebal akibat getaran itu merembet getarannya ke belahan bumi sebelahnya yang bisa mengakibatkan terjadi nya gerakan gelombang permukaan laut naik. Kenyataan di abad terakhir ini akibat dari penggalian mineral alam yang berlebihan maka terjadilah runtuhnya lempengan dasar laut dan fatal-finalnya terjadi Tsunami di beberapa daratan di belahan bumi ini. Ya secara Keyakinan bahwa itu kutukan /murka Maha Kuasa, akan tetapi PENCIPTA ALAM atau SANG PENCIPTA adalah LUHUR, AGUNG dan MULIA akan selalu menyayangi setiap Ciptaan-NYA. Maka dari wacana ini penulis menggambarkan Hubungan Timbal balik antara Sang Pencipta dengan Manusia, antara Alam - Bumi dan Manusia. Betapa penting dan berperannya humanis dalam kehidupan ini maka perlu digaris bawahi ”Hal-hal negative alam/kejadian alam yang mengancam manusia dan habitatnya. Karena manusia tidak merawat dan menjaganya dengan baik, sifat nafsu-ambisi-serakah dan Ego tinggi dari Manusia menyebabkan “Tana Tau Lita”-“Watu Tau Diga”-Tana Tau Gaga Bo’o”-“ Watu Tau Kewi Minu”- “Tana Leka Ola Welu”-“Watu Leka Ola Pa’a”(Idiom Lio), dalam arti Tanah untuk berpijak, memberi hidup, Dari Warisan Leluhur dan Du’aNgga’e telah rusak dan batu untuk kita berpindah dari yang hangat ke yang sejuk dan kehidupan mengalir seperti air dari Warisan Du’aNgga’e telah rusak secara total, maka:
INE EO WUKU LAJA DHANA-EO KAMBU KAPA-TEMBU TIKO TANA (Idiom Lio) berarti : Bumi yang Mengandung subur – Melahirkan dan menumbuhkan dimana-mana telah rusak, akhibat keserakahan Nafsu- Egoistis Manusia saat ini. Lionis hanyalah Raib Cultur di daratan bumi ini, tapi dimata intelektual dunia mereka selalu menjejaki waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan bahkan tahun demi tahun, karena yang tertinggal diantara seluruh Suku di muka bumi ini hanyalah “LIO CULTUR” yang tetap bertahan sepanjang masa. Budaya yang Kental dan punya Hubungan dengan Sang Pencipta. Maka LIONIS CULTUR adalah L I O N I S R E L I G I O N. Ingatlah saja pada slogan orang Lio bahwa; LIO itu PAWE.

Terimakasih


Penulis Marlin Bato
Sumber: Naskah Tertulis, P. Paul Arnd. SVD, P. Piet Petu. SVD. P. Jhon Mansford Prior. SVD
Serta narasumber Nikolaus Nanga sesepuh di desa Woloaro, kecamatan Lio Timur,
Yulius Balu sesepuh  di wilayah Tana Unggu.
(Pierre Paul Grassé, Evolution of Living Organisms, New York, Academic Press, 1977, p.107)
Dan data-data pendukung lainnya
WANES-LISE

  • Facebook Comments
Item Reviewed: KONSEP TUHAN, BUMI, SEMESTA DAN MANUSIA Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi