Kisah Mari Longa
Kita coba mengintip sedikit kisah Mari Longa dan perjuangannya. Mari Longa lahir di sebuah kampung di wilayah utara Lio. Nama kampung itu Watu Nggere. Kampung ini masuk dalam wilayah persekutuan adat Nida. Diperkirakan Mari Longa lahir sekitar tahun 1855, dari pasangan... Longa Rowa dan Kemba Kore. Tahun kelahiran Mari Longa tidak pasti, karena tidak ada yang mencatat.
Waktu masih kecil, Longa Rowa memberih nama pada putra sulungnya itu Leba. Nama ini diambil dari nama sayuran pare (paria) yang rasanya pahit. Longa Rowa berharap anaknya kelak menjadi seorang pemberani, tidak takut pada siapapun dan apapun. Namun nama Leba ini seperti tidak cocok, sehingga Leba kecil selalu menangis dan sakit-sakitan. Longa menduga ada sesuatu yang tidak beres dengan anaknya itu. Suatu malam, Longa Rowa bermimpi agar dia mengganti nama anaknya dengan nama Mari. Mari nama jenis pohon yang kulitnya sangat pahit dan kayunya sangat keras.
Berdasarkan mimpi itu, Longa Rowa segera mengganti nama anaknya Leba dengan nama Mari. Penggantian dan perubahan nama dari Leba menjadi Mari dilakukan dalam suatu upacara adat. Sejak saat itu, Leba yang telah menjadi Mari itu tumbuh sehat dan kuat. Watak pemberani mulai nampak dalam hidup keseharian. Meski masih kecil, Longa selalu mengajak anaknya Mari kemanapun dia pergi, termasuk berburu di hutan. Dengan cara seperti ini longa mengajar dan mendidik anaknya Mari untuk selalu bergaul dan bersahabat dengan banyak orang. Sedangkan berburu, sebagai cara mendidik menggunakan senjata tajam seperti pedang (Sau/Sonda) serta busur panah (Wo’o dan Le’e). Longa juga mengajari anaknya beladiri silat serta ilmu-ilmu gaib lainnya.
Setelah menjadi dewasa ia menjadi Mosalaki di watu Nggere dan terkenal dengan nama Mari Longa. Para Mosalaki di Ende-Lio pada waktu itu sangat membenci pemerintah Belanda yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Maka pada suatu hari, Mosalaki Nggobhe Nggede dan Rapo Oja mengundang sekitar 20 orang Mosalaki dari Ende-Lio untuk bermusyawarah. Mari Longa adalah salah satu Mosalaki yang hadir dalam musyawarah itu diputuskan untuk menyerang kedudukan Belanda di Kampung Detu Kore dan Woloare.
Mulai berperang
Mari Longa tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Di setiap kampung yang dia kunjungi bersama ayahnya, mereka selalu mengajari silat kepada pemuda di kampung itu. Dengan cara itu, Mari Longa memperlihatkan kebolehannya dalam bela diri dan menggunakan sejata tajam pedang dan tombak serta busur panah. Cerita tentang kebolehan Mari Longa mulai tersiar kemana-mana. Suatu ketika, Mari Longa mengembara sampai di Mauria, sebuah kampung yang berbatasan dengan Mego Maumere. Waktu itu di Mauria ada perang antara orang Mauria melawan orang Mego. Orang-orang Mauria meminta bantuan Mari Longa untuk ikut berperang melawan orang Mego.. Perang itu akhirnya dimenangkan orang Mauria atas bantuan Mari Longa. Mari Longa mendapat banyak hadia, seperti emas, kuda, kerbau dan seorang gadis bernama Bela Bajo. Gadis ini dijadikan sebagai istri Mari Longa yang ke 7. Karena sebelumnya Mari Longa telah memiliki enam istri, seperti Nderu Ndoki, Kapi Mbipi, Fai Bilo, Weti Atu, Tidhu, Aru Atu.
Cerita tentang kebolehan Mari Longa semakin meluas. Bukan saja Mari Longa hebat dalam bela diri silat, tetapi, dia juga mampu berperang melawan orang Mego dan memenangkan peperangan itu. Karena itu, Mosalaki Tana Ria, Longga Woda langsung mengundang Mari Longa dan anak buahnya membantu mereka berperang melawan orang Lise Lande. Perang inipun dimenangkan orang Tanaria, atas bantuan Mari Longa. Dari Tanaria, Mari Longa dan anak buahnya yang kebanyakan adik-adik dan ipar-iparnya diundang Mosalaki Pa’o Pala dari Nua Pu. Perang ini dimenangkan orang Nua pu atas dukungan Mari Longa dan anak buahnya. Mosalaki Ndondo juga minta bantuan Mari Longa dan anak buahnya berperang melawan Diko Lawi. Lagi-lagi Mari Longa memenangkan peperangan tersebut.
Bantu Bhara Nuri
Kemenangan demi kemenangan yang diraih Mari Longa menjadi bahan cerita masyarakat di kampung – kampung di wilayah Lio. Cerita-cerita tersebut terdengar pula di telinga Bhara Nuri seorang Mosa Laki di Woloare Ende. Bhara Nuri kabarnya sudah beberapa kali berperang melawan raja Ende yang ingin mengusai wilayah Woloare, atas bujukan Belanda. Bahkan Bhara Nuri pernah ditangkap Belanda dan dibuang ke Kupang. Namun Bhara Nuri bisa melarikan diri.
(Diceritakan di lain kesempatan).
Bhara Nuri kemudian meminta bantuan Mari Longa melalui Mosalaki Saga. Mari Longa dan anak buahnya pun setuju. Perang melawan raja Ende yang dibantu Serdadu Belanda, akhirnya dimenangkan Bhara Nuri. Serdadu Belanda sangat heran atas kemenangan itu. Mereka menduga ada pihak lain yang ikut membantu Bhara Nuri yang saat itu sudah mengungsi ke Manunggo’o, karena Woloare sudah dikuasai serdadu Belanda. Dalam pertempuran itu, putri Mari Longa, Nduru Mari terkena tembangan serdadu Belanda di perutnya. Namun Nduru masih bisa diselamatkan setelah diobati ayahnya Mari Longa.
Perang Lawan Serdadu Belanda
Belakangan serdadu Belanda baru tahu kalau Bhara Nuri dibantu Mari Longa. Serdadu Belanda tentu sangat marah. Karena itu serdadu Belanda mencari cara untuk menangkap Mari Longa dan anak buahnya. Serdadu-serdadu Belanda di Ende meminta bantuan serdadu Belanda di Maumere untuk menangkap Mari Longa. Karena itu Serdadu Belanda di Maumere mencari Mari Longa dan anak buahnya dengan menyusuri perkampungan di pantai utara Maumere, mulai dari Magepanda, Kota Baru, Ndondo hingga ke Detuara, Rate Nggoji. Penduduk-penduduk kampung itu disiksa dan dibunuh. Mari Longa yang mendengar itu, marah. Mari Longa dan anak buahnya kemudian menghadang serdadu Belanda di Bhoasia. Pasukan Serdadu Belanda yang tidak mengusai medan Bhoasia, akhirnya dapat dikalahkan Mari Longa dan anak buahnya dengan mudah. Sebagian serdadu Belanda gugur di Bhoasia, sebagian lagi kembali ke Maumere meminta bala bantuan. Dalam penyerangan di kampung itu Mari Longa sangat terkenal dengan rakyatnya yang berani mati. Asrama tentara Belanda dikepung dan semua tentara terbunuh. Karena kekalahan itu Belanda meminta bantuan pasukan dari Kupang dan Jawa.
Setelah bantuan serdadu dari Kupang dan Jawa tiba di Maumere, para serdadu Belanda itu langsung menuju Ndondo untuk menyerang Mari Longa dan anak buahnya. Mari Longa mencoba melawan, namun kalah dalam persenjataan. Dia kemudian menyuruh anak buahnya bersembunyi di hutan. Sedangkan dirinya sengaja menyerah diri ke Serdadu Belanda. Mari Longa akhirnya dibawa ke Maumere dan dipenjara.
Mari Longa dipenjara hanya beberapa hari. Dia berhasil melarikan diri dan tiba kembali di Watu Nggere. Pembesar Belanda yang mengetahui Mari Longa melarikan diri dari penjara, kembali membentuk tim operasi penangkapan. Mereka mengutus kurir mengahadap Mari Longa. Kurir itu menyampaikan Belanda ingin berunding dengan Mari Longa. Tetapi Mari Longa menolak keinginan Belanda itu. Mari Longa tahu bahwa hal itu hanya siasat busuk untuk menangkap dan memenjarakan dirinya. Pembesar Belanda di Ende sangat marah mendengar penolakan Mari Longa itu. Serdadu Belanda dikirim ke Watu Nggere untuk menangkap Mari Longa. Namun Mari Longa menyambut pasukan Belanda dengan anak panah. Belasan serdadu Belanda tewas dalam penyerangan itu, dan sebagian kembali ke Ende.
Jadi Raja Watu Nggere
Setelah sukses membantu Bhara Nuri, Mari Longa dan anak buahnya, termasuk putrinya Nduru Mari, kembali ke Watu Nggere. Mari Longa yakin, serdadu Bhelada akan menambah jumlah pasukan lalu menyerang mereka di Watu Nggere. Dugaan Mari Longa tidak meleset. Melalui seorang kurir, (oleh Mari Longa dinilai sebagai penghianat) Belanda minta Mari Longa untuk berunding. Tetapi permintaan itu ditolak. Mari Longa sadar, bahwa itu hanya taktik busuk. Serdadu Belanda marah dan langsung mengerahkan pasukan menyerbu Watu Nggere. Mari Longa dan anak buahnya pun menyabut serbuan itu dengan anak panah. Karena persenjataan yang sederhana, Mari Longa mengatur strategi untuk selalu berpindah tempat. Karena itu, selain Watu Nggere, Bhoasia juga dipakai tempat peghadangan pasukan Belanda. Strategi ini membuat serdadu Belanda kewalahan. Karena itu, Pembesar Belanda mengutus lagi seorang kurir menemui Mari Longa, agar mau berunding dengan Belanda. Tetapi Mari Longa menolak. Karena itu, pembesar Belanda di Ende sengaja menarik pasukannya dari Watu Nggere. Setelah itu Pembesar Belanda mengutus lagi seorang kurir menemui Mari Longa di Watu Nggere. Kepada kurir pembesar Belanda di Ende berpesan, bahwa Belanda ingin mengangkat Mari Longa sebagai Raja Watu Nggere. Sedang batas-batas wilayah kekuasaan Mari Longa, akan dibicarakan dalam perundingan di Ende. Atas saran anak buahnya, Mari Longa akhir bersedia berunding dengan Belanda. Mari Longa minta agar selama perundingan, ia tidak ditangkap dan tidak ada penyerangan terhadap anak buahnya, meski mereka berada di Ende. Belanda pun setuju. Hri perundingan disepakati.
Pembesar Belanda di Ende, kemudian mengangkat Mari Longa sebagai raja Watu Nggere, dengan batas kekuasaan, bagian timur dengan Ende Mbawe, bagian barat dengan Watu Bara, bagian utara dengan Laut Flores dan bagian selatan dengan tanah Lise dan Mbuli. Selain itu, pembesar Belanda menghadiahkan Mari Longa dua pasang emas bergambar kuda dan tekukur. Sedangkan Mari Longa membuat sebuah tugu perjanjian dan memberikan seokor kuda belang kepada pembesar Belanda. Acara serah terima hadiah itu disusul pula dengan permintaan dari Mari Longa. Mari Longa minta Belanda agar tidak bertindak semena-mena kepada masyarakat di Detu Soko, Wolo Gai, Pe’i Benga, Lewa Gere dan kampung – kampung lainnya.
Awalnya Belanda patuh pada apa yang telah disepakati. Tetapi setelah bala bantuan dari Kupang dan Batavia tiba di Ende, serdadu Belanda kembali menyiksa penduduk yang tidak bersalah. Mari Longa marah. Karena itu, dia menggalang kekuatan untuk menghadang Belanda. Mari Longa yakin, Belanda akan datang di Watu Nggere. Penduduk Detu Soko, Wolo Gai, Pe’i Benga, Muku Reku, Kanga Nara disiksa. Sebagian bersembunyi di hutan dan menyampaikan ke Mari Longa. Di Kampung Lewa Gere, penduduk sempat memberontak atas sikap kejam Belanda. Tetapi, mereka kemudian lari ke hutan dan bersembunyi, sebagian lagi tewas di aniaya Belanda. Dari Lewa Gere, Serdadu Belanda dengan persenjataan yang modern, terus merangsek Watu Nggere. Mari Longa dan anak buahnya terdesak dan meninggalkan Watu Nggere. Kampung itu pun dibakar. Dalam kondisi terdesak, Mari Longa memberi perlawan seadanya. Namun tidak sedikit pula serdadu Belanda yang terkena anak panah dan tewas. Mari Longa berprinsip “ Ule A mite la’e bara, kai la’e welu seki sue. Seki sue wari leja iwa peto iwa gega (ngenga).” Artinya selama burung gagak belum berubah warna jadi putih, Mari Longa tidak akan melepaskan golok/ pedang bergagangkan gading. Karena gagang gading itu tidak akan retak sekalipun dijemur di matahari. Setelah beberapa hari berperang, Mari Longa menarik anak buahnya ke Bhoasia untuk beristirahat, mengatur strategi penyerangan, menambah persenjataan dan makanan. Setelah semuanya dirasa cukup, Mari Longa kembali menyerang serdadu Belanda yang sudah menguasai Watu Nggere dan beberapa kampung lainnya. Dalam penyerangan ini, serdadu Belanda terdesak dan meninggalkan Watu Nggere.
Bangun Benteng
Mari Longa menyusun kekuatan baru. Anak buahnya yang ada di beberapa kampung seperti Detu Soko, Wolo Gai, Pe’I Benga, diminta selalu member informasi ke Watu Nggere, tentang pergerakan serdadu Belanda. Selain itu, di sepanjang jalan sekitar satu kilo meter sebelum masuk kampung Watu Nggere, telah dipasang anak panah otomatis.
Beberapa hari kemudian, puluhan serdadu Belanda dipimpin Controleur Couverear, menggempur Watu Nggere. Belum sampai di kampung Watu Nggere, serdadu Belanda sudah diserang anak panah otomatis buatan Mari Longa dan anak buahnya. Betapa terkejutnya Controleur Couverear. Dia kemudian perintah anak buahnya membalas serangan itu dengan menembak ke arah datangnya senjata otomatis tersebut.
Serdadu Belanda yang menyusuri jalan masuk itu tidak luput dari anak panah otomatis dan jatuh bersimbah darah. Sebagian serdadu yang mengejar Mari Longa dan anak buahnya di hutan justru dihadang senjata rahasia buatan Mari Longa dan anak buahnya. Melihat banyak serdadunya yang tewas, Controleur Couverear menarik pasukannya kembali ke Ende.
Mari Longa kemudian mengatur strategi baru. Dia merasa strategi perang gerilia yang diterapkan selama ini sudah diketahui serdadu Belanda. Mari Longa rupanya tidak ingin keluar masuk hutan. Muncul gagasan untuk membangun sebuah benteng pertahanan, atau dalam bahasa Lio disebut Potu. Karena itu, Mari Longa dan anak buahnya mulai membangun benteng tersebut. Benteng dibangun dalam 7 lapis atau bagian. Bagian pertama atau bagian dalam disusun batu-batu besar. Bagian kedua, diisi tanah. Bagian ketiga ditanami bambu berisi air. Bagian ke empat berisi bongkahan tanah, bagian ke lima ditanami kayu deo, bagian keenam disusun batu-batu besar dan bagian ke tujuh atau bagian paling luar ditanami bambu yang ujungnya sudah diruncing dan digantung onak dan duri.
Mari Longa kemudian meminta Kelly Nusa seorang anak buah kepercayaannya, untuk menghubungi anak buahnya di Detu Soko, Pe’i Benga, Muku Reku, Detu Nio dan Kanga Nara agar menghadang serdadu Belanda di kampungnya masing-masing. Di Detu Soko anak buah Mari Longa adalah Tani Fedho dan Sari Wara masing-masing dengan anak buahnya. Di Pe’I Benga ada Rega Nggumbe dan anak buahnya, di Muku Reku ada Renggo Fedho dan Lapi Lopi, dan anak buahnya. Di Detu Nio ada Sa Lopi dengan anak buahnya dan di Kanga Nara ada Laja Moja dan Pega Gai masing – masing dengan anak buahnya.
Setelah selesai membangun benteng, Mari Longa mengundang anak buahnya dari Detu Soko, Pe’i Benga, Muku Reku, Detu Nio, Kanga Nara dan beberapa kampung lain untuk mengatur strategi perang, sekaligus meresmikan benteng. Acara peresmian benteng diwarnai dengan tarian gawi atau tandak dan tarian Ha’I Nggaja.
Dalam suasana gembira, Mari Longa meminta para lelaki di Watu Nggere dan kampung-kampung terdekat lainnya untuk membuat anak panah dan senjata sebanyak mungkin. Sedangkan yang perempuan diminta mengumpulkan makanan. Senjata dan makanan itu disimpan di benteng. Sementara Tani Fedho dan Sari Wara, Rega Nggumbe, Renggo Fedho dan Lapi Lopi, Sa Lopi , Laja Moja dan Pega Gai pulang ke kampung mereka masing-masing, agar menghadang serdadu Belanda di kampung masing-masing. Penghadangan harus dilakukan mulai dari Detu Soko. Sementara di sepanjang jalan sebelum masuk Watu Nggere, dipasang anak panah otomatis, sementara di hutan-hutan di seputaran Watu Nggere juga dipasang senjata rahasia.Malam harinya, masyarakat di Watu Nggere menari tandak (Gawi). Kemudian Mari Longa menari Woge, yang diikuti dengan Bhea (deklamasi). Demikian isi deklamasi (Bhea Mari Longa).
Mari Ana Longa, Mamo Rowa Embu Ndota
Iwa Ta’u Iwa Paru, Wela Iwa welu, Pu’u ra ria
Laki tana eo jie, watu eo pawe
Mari Kaju Ba’i mimi goma,
Ana mbendi topo ata bara doga
Ata bara lu le, kala ebe ngere ke
Ata bara ndindo ndando, rago ebe ngere lako
Wela …. Wela ebe ma’e welu du nuwa embu
Pana…. Pana ebe ma’e pa’a du nuwa ana
Bu… kita ma’e rina, ngala kita ma’e ba
Toko kita leka watu, tuka kita leka tana
Bo….. ebe mena…. Bo…. Ebe ghale
Bo… ebe ghele… bo…. Ebe ghawa
Miu wiwi ma’e langga lema mae lo
Lando leka aku Mari Su’u
Wuli leka aku Mari Wangga
Poke re’e…., wela meta ….
Nia bina…. Mata dara….
Semua orang menonton Mari Longa menari dan mendengar Mari Longa Bhea. Usai Bhea (deklamasi), Mari Longa menyampaikan sesuatu tentang mimpinya. Dia mengatakan, bahwa Matahari dan Bulan telah mengajaknya pergi ke Kelimutu dan banyak orang yang mengikuti dia ke Kelimutu. Orang yang mendengar merasa sedih. Mereka sepertinya sudah merasa bahwa kali ini Mari Longa akan kalah. Beberapa saat kemudian, sebuah benda berbentuk bulat turun dari langit yang disusul dengan Guntur dan kilat. Orang-orang yang melihat benda itu menjadi takut. Namun Mari Longa menyambut benda itu. Dalam situasi cemas, Mari Longa mengajak warga dan anak buahnya menari tandak (gawi).
Ditengah keramaian gawi (tandak), Kelly Nusa menerima utusan Belanda. Utusan itu ingin menyampaikan pesan dari pembesar Belanda di Ende untuk Mari Longa. Kely Nusa menghadap Mari Longa dan menyampaikan makasud kedatangan utusan Belanda itu. Suasana saat itu sangat tegang. Warga dan anak buah Mari Longa tak berkedip menatap utusan Belanda itu. Utusan Belanda itu mengatakan kepada Mari Longa bahwa Serdadu Belanda akan segera mengepung Watu Nggere jika Mari Longa tidak mau berunding. Mari Longa tidak menggubris. Dia mengatakan apapun yang akan terjadi mereka tidak akan berunding dengan Belanda. Sebab kalau berunding berarti menyerah. Mari Longa sudah beberapa kali berunding tetapi Belanda selalu ingkar. Setelah utusan Belanda itu pulang, Mari Longa dan seluruh warga serta anak buahnya menuju Tubu Musu Mase di tengah K(h)anga . Mereka membawa berbagai senjata. Senjata-senjata itu dikumpulkan di tubu musu. Upacara adat ra ana mbendi sekaligus penyerahan kepada Dua Lulu Wula Ngga’e Wena Tana segera dilaksanakan. Kepada Dua Lulu Wula Ngga’e Wena Tana, Mari Loinga memohon kekuatan :
Mbeja leka miu embu mamo ku kajo
Kami kira iwa kelo, leku iwa ngadho
Pu’u miu jaga,
kami mbana leka jala eo masa,
soso leka wolo eo molo
Nebu ina, ata bara mo mbou ria rama bewa kami
Pati sai kami ola negi sama ngere kusi mbendi
Pati sai kami ola meno ngere kao kebo
Kami we tu’a ngere su’a,
Kami we maku ngere watu
Setelah upacara adat, mereka semua menuju ke benteng. Mari Longa dan beberapa anak buahnya berdiri di luar benteng. Sedangkan Weti, Bunga dan Nduru berdada di pintu gerbang benteng. Sebagian anak buah Mari Longa berjaga di sekeliling Watu Nggere dengan anak panah. Sementara di dalam benteng ada beberapa anak buah Mari Longa yang siap mensuplai senjata kepada yang lainnya.
Berselang beberapa saat terdengar suara tembakan, semakin lama semakin dekat dengan benteng. Mari Longa dan anak buahnya semakin terdesak. Mereka mundur ke arah benteng. Anak buah Mari Longa yang lain masih terus memberi perlawanan. Mari Longa memerintahkan anak buahnya untuk masuk ke benteng. Banyak anak buah Mari Longa yang terkena tembakan, termasuk Kelly Nusa. Serdadu Belanda terus menyerang benteng. Serdadu Belanda yang ada di luar benteng mengejek Mari Longa. Bahwa yang di dalam benteng hanya perempuan. Serdadu Belanda juga tidak yakin kalau Mari Longa kebal senjata. Mereka meminta Mari Longa tunjukkan bukti kalo memang dia kebal senjata. Ejekan Serdadu Belanda ini membuat Mari Longa terpancing emosi. Mari Longa pun keluar benteng. Peluru serdadu Belanda menyambutnya namun tidak satupun yang bersarang. Mari Longa membantai serdadu Belanda. Sebagian serdadu digiring ke benteng dan dibantai anak buah Mari Longa.
Letnan Jefry yang memimpin penyerbuan itu, ikut memanasi Mari Longa. Dia minta Mari Longa berduel tanpa senjata. Mari Longa pun keluar dari benteng diikuti Weti, Bunga dan beberapa anak buahnya. Hujan peluru meluncur ke tubuh Mari Longa. Mari Longa menyambutnya dengan menari sambil mengejek Letnan Jefry. Saat bersamaan terdengar suara gemuruh diikuti turunnya sebuah benda bundar sebesar nyiru. Letnan Jefry langsung menembak benda bunda itu dan jatuh pencah berkeping ke tanah. Mari Longa mengambil pencahan benda bundar itu lalu menciumnya. Letnan Jefry meminta Mari Longa menyerah. Namun Mari Longa tidak menyerah. Dengan kekuatan seadanya, dia terus membantai serdadu Belanda. Letnan Jefry terus menembak Mari Longa hingga peluru habis. Perkelahian adu pedang pun tak terelakan lagi. Namun nasib sial menimpa Mari Longa. Pedangnya yang tertancap di tubuh seorang serdadu Belanda sulit dicabut. Letnan Jefry dengan cepat menghantam bagian belakang kepada Mari Longa dengan popor senjatanya. Dan seketika itu juga Mari Longa rubuh bersimbah darah ke tanah. Serdadu Belanda kemudian membelah dada Mari Longa dan ditemukan hatinya berbulu serta seekor lebah kuning.
Begitulah kisah perjuangan Mari Longa. Awalnya jasad Mari Longa tidak dikuburkan tetapi di simpan di pohon beringin. Saat ini, tulang belulang Mari Longa dikuburkan di dekat rumahnya di Watu Nggere. Bukti-bukti lain, seperti senjata (anak panah, pedang) masih disimpan cucu keturunan Mari Longa. Satu - satunya Slogan mari Longa yang tidak perna mati hingga kini adalah: "AKU MARI LONGA EO TOPO DOGA, TU'A NGERE SU'A, MAKU NGERE WATU, TE IWA LE, WERU IWA NGGENGGU AE BERE IWA SELE”. Artinya Menggambarkan bahwa Mari Longa adalah Sosok yang sangat Kuat dan perkasa serta tidak mudah menyerah seperti halnya besi dan Batu yang tidak goyah dengan ancaman yang datang bertubi - tubi.
Oleh; Marlin Bato
Hasil suntingan dari: Catatan Bpk. Silver Sega, peminat masalah sejarah dan budaya
Sumber :
1. Dr. Daniel Dhakidae dalam makalahnya berjudul Sejarah Masyarakat Tanpa Sejarah
2. Buku Perang Mari Longa (1893 – 1907) yang ditulis oleh Servas Mario Patty, Drs. Frans Lasa dan Piet Wake, BA, dan diterbitkan Yayasan Servas Mario.
3. Cerita lisan para tetua adat.
Gambar ini adalah Patung Mari Longa di Kota Ende, di Potret oleh Bpk. Joseph Filmon Wongsosetiawan
WANES-LISE