Logo

Logo
Latest News
Wednesday, January 26, 2011

KOHERENSI WUJUD TERTINGGI, DU’A NGGA’E DENGAN MITOLOGI BULAN DAN HINDUISME


Catatan penting; Bagi anda yang merasakan hubungan sangat erat dengan “Du’a Ngga’e”, bacalah tulisan ini karena tulisan ini sangat penting bagi pengetahuan anda kedepan demi mencari jati diri anda.

Tulisan ini didasarkan pada penelitian seorang misionaris asal Rasselwitz, Polandia dulu wilayah Jerman, P. Paul Arndt. SVD yang mendedikasikan diri selama hidupnya di wilayah Flores.

Ketika menganalisa sumber-sumber yang disajikan tentang wujud tertingggi masyarakat Lio Flores Tengah, maka ditemukan pula pemahaman yang berbeda, bahkan ada yang saling bertentangan. Menurut beberapa sumber, wujud tertinggi itu ada dua orang yaitu; Du’a, laki-laki, yang ada dilangit; dan Ngga’e, perempuan, yang ada di bumi.

Kendati pun ada perbedaan, namun tetap ditemukan kesamaan signifikan dalam beberapa narasumber berkaitan dengan sifat wujud tertinggi itu. Sifat-sifat dan jati diri wujud tertinggi itu, selalu dilukiskan melebihi semua mahkluk duniawi, manusiawi tetapi sungguh ilahi.

Du’a Ngga’e adalah roh yang tidak terlihat; yang bersuara atau hanya suara yang dapat didengar. Beberapa narasumber menyebutkan bahwa Du’a Ngga’e ada seperti bayangan orang dicermin, dapat dilihat tapi tidak mempunyai bentuk material. Atau kerap ditemui dalam mimpi, umunya hanya ata nipi (Tukang mimpi) karena mereka mampu menerangkan arti mimpi.

Du’a Ngga’e adalah pengasal dari segala mahkluk. Dia menciptakan segala yang ada dan karenanya dia mempunyai kuasa atas mereka. Ia lebih tinggi berkuasa, menjaga dan menguasai segala sesuatu, termasuk atapolo (Suanggi). Dan karena itu juga, atapolo hanya dapat merugikan orang bahkan mencabut nyawa orang kalau disetujui Du’a Ngga’e.

Penghormatan kepada Du’a Ngga’e adalah keharusan karena dia telah menjadikan kita. Seperti yang terungkap, Du’a Ngga’e,  ria, raja ria, Ngga’e riabewa yang artinya; Tuhan yang agung, raja besar,Tuhan yang maha kuasa. Ia dihormati dalam sumpah dan kaul melalui nyanyian dan tarian, dalam kutukan dengan namanya, dalam divinasi dan melalui persembahan-persembahan.

Sifat-sifat Du’a Ngga’e sebagai yang tertinggi melampaui sifat manusia dengan alasan bahwa wujud tertinggi-nya termasuk dalam astralmythologia, penghormatan dan pengilahian alam. Karena itu, sifat khas dari unsure alam raya dan langit dilekatkan juga pada wujud tertinggi.

Pengaruh terbesar tentang wujud tertinggi adalah berasal dari mitologi  bulan seperti terungkap dalam bahasa Lio; tau dowa kai eo wula (Dia sendiri adalah bulan), atau seperti terungkap, mera ghela lulu wula (Tinggal di kamar belakang bulan). Du’a Ngga’e sering di identikan dengan mataria (Mata besar); Gigi panjang, mata besar, dan telinga lebar. Roh mataria bisa berarti buruk. Dalam mitologi, bulan dianggap sebagai pembawa berkah, harta kekayaan, dan sebagainya. Seringkali, air dihubungkan dengan bulan sehingga alasan selalu dikaitkan perubahaan cuaca yaitu musim hujan. Di Ngada misalnya, dikatakan pada saat bulan baru, bulan mencuci matanya, maksudnya bulan mencuci matanya dengan air hujan. Di wilayah Lio sebaliknya, air emas yang bulan minum adalah bulan itu sendiri ketika bulan semakin mengecil dan menghilang. Selain itu, dalam mitologi, bulan sering tampil sebagai seorang raksasa,  namanya Rabu Ria. Dalam mitologi di Lio, pantat Rabu Ria ditusuk dengan besi panas; Sekali lagi ini dimaksudkan adalah bulan sabit yang muncul di barat. Kerap kali, bulan sebagai raksasa, muncul dalam cerita air bah. Demikian juga, ia menentukan batas air laut yang tak boleh dilanggar seperti juga Oba di Ngada.

Binatang yang berkaitan dengan bulan adalah kerbau, babi, ular dan cacing; kerbau karena tanduknya, babi karena taringnya. Kerbau mewakili sapi jantan yang dikuduskan bagi Shiwa dan adalah binatang tunggangannya. Di Lio, Du’a menunggang binatang yang sama. Ular pada umumnya melambangkan kebahagiaan dan harta, sedangkan cacing dalam mitologi adalah binatang pemakan batu karang dan kotorannya menjadi tanah. Simbol angka bulan selalu dikaitkan dengan angka tujuh dan tiga puluh karena angka ini berhubungan dengan fase bulan.

Mangu (tiang layar); di wilayah Lio adalah tiang utama penyanggah atap rumah, dimana Du’a turun untuk menerima persembahan. Kedua sisi atap dari sa’oria yang di lihat sebagai perahu, juga tempat turunnya Du’a untuk mengambil persembahan. Paru laja adalah tempat penyimpanan barang yang paling tinggi dibawah atap rumah. Tempat ini pun mempunyai arti yang sama dengan lulu wula. Lena adalah balkon yang muncul keluar dari ujung dinding rumah adat Lio, di Ngada juga dinamakan di ‘ketinggian langit’. Di Ngada, susu keri ringa lika artinya alang-alang atap, tungku dan batu tungku, tetapi juga disamakan dengan roh-roh yang tinggal disana.

Selain bulan, gejala alam yang lain dan benda-benda langit ternyata juga berhubungan dengan Du’a Ngga’e. Ngga’e sering digambarkan sebagai roh bumi perempuan, dan pada permulaan adalah bumi itu sendiri dipersonifikasikan sebagai ‘tana watu’,  (Tanah dan Batu). Di wilayah Nage, ucapan ‘ng’ dihilangkan dalam kata Ngga’e, karena itu, Ngga’e di sebut; Ga’e. Bulan mempunyai hubungan yang erat, sesuai dengan mitologi yang sudah digambarkan, sehingga, misalnya cacing di bulan memakan batu karang dan mengeluarkan tanah sebagai kotoran dan kemudian membentuk bumi. Selain Du’a Ngga’e, terdapat pula ‘limabua’ yang berarti tangan berbulu, roh bumi yang kadang diidentifiksikan dengan Ngga’e. Demikian juga ‘ineleke’, roh yang di anggap sebagai roh bumi, sehingga ada pun cerita legenda pada jaman dahulu kala tentang ineleke yang memotong hobaleke (tali balam), yang menghubungkan langit dan bumi sehingga keduanya terpisah sampai sekarang. Dahulu kala, Ineleke menurut cerita masyarakat Lio, kerap juga muncul dalam rupah wanita cantik dan kemudian mengawini orang-orang yang tinggal di wilayah itu, serta beranak pinak lalu kemudian dia mengilang dengan sendirinya. Masyarakat Lio, kerap meyakini bahwa, orang yang mengawini sosok ineleke adalah orang yang mempunyai kesaktian luar biasa dan tidak tertandingi oleh siapapun.

Pada umumnya di wilayah Lio, wujud tertinggi diidentifikasikan dengan langit atau dijelaskan, bahwa ia menunjukan dirinya di langit khususnya dalam warnanya yang biru. Hitam adalah symbol gelap dan juga bumi, sedangkan merah adalah symbol matahari. Di Ngada, sering dikatakan dalam  lagu-lagu; ‘Kita ine se susu mite, kita ema se lalu toro’ (Kita anak dari ibu yang hitam, kita keturunan dari ayah yang merah). Dari beberapa kesaksian, dikemukakan dapat ditemukan bermacam-macam unsure khas yang dikenal di India muka, khususnya dalam Hinduisme. Di Lio, gunung yang tinggi di hormati sebagai yang bersifat ilahi sehingga mereka membawahkan persembahan untuk menghormati nitu yang tinggal di gunung itu. Demikian pula di India, para imigran zaman purbakala menghormati gunung dengan cara membawahkan persembahan sebagai yang bersifat ilahi. Karena itu saya berpendapat, bahwa kata Ndu’a untuk wilayah Lio dan Ngada serta Du’a untuk wilayah Nage (pegunungan, daerah gunung yang berhutan), adalah sama dengan; Du’a wujud tertinggi. Di India, ular sangat di hormati, dan di Lio juga penghormatan itu sangat kuat. Tak jarang pula orang menceritakan tentang legenda atau penampakan ular yang diperkirakan mendatangkan keuntungan besar. Ketika itu terjadi, maka mereka harus mempersembahkan kepala kerbau. Dengan dasar inilah sehingga ular sering diabadikan melalui ukiran yang di pahat pada bagian dalam dan luar dari ‘heda’ (Rumah untuk roh-roh).

Dalam Hinduisme, bulan di pandang sebagai perahu, demikian juga di Lio. Di Lio, orang percaya bahwa ada satu pohon beringin yang tumbuh di bulan. Bagi orang Hindu, bulan itu sendiri adalah pohon beringin. Begitu juga di Riung, (wilayah Flores tengah, bagian barat). Baik Lio dan Hindu, sama-sama mengidentifikasikan Wujud Tertinggi dengan gejala alam, dan benda langit khususnya dengan bulan. Dalam artikelnya, Hardy mengatakan; Vedisch-brahmanische Periode der Religion des alten Indiens (Periode Brahmanisme Veda dalam Agama India Purba):  “Orang-orang Aria yang pertama menginjakkan kakinya ditanah India, menemui dan menaklukan suku asli India”, sehingga orang-orang asli India terpinggirkan dan terpecah menjadi beberapa komunitas serta menyebar ke beberapa wilayah. Dengan dasar itu dan beberapa kaitan lain, P. Paul Arndt. SVD mencoba membuat hipotesa bahwa suku Lio adalah salah satu suku dari India Muka. Beliau mengungkapkan tentang penghormatan yang khas terhadap ular seperti yang terdapat pada suku Lio dan penduduk India kuno.

Tentang Du’a dan Ngga’e, banyak pandangan yang menyimpulkan bahwa Du’a dan Ngga’e adalah langit dan bumi itu sendiri. Dalam artikelnya, Hardy menulis, “Kedua dunia ini (Langit dan bumi) pada mulanya bersama-sama, lalu mereka terpisah. Sesudah itu, tak ada lagi hujan dan matahari”. “Acvin-acvin ini mengoyak mereka”, dalam Hinduisme Acvin adalah dua saudara bulan. “Barangkali langit dan bumi adalah fenomena tertua, dari pandangan-pandangan sekarang yang dinamakan pandangan dualistis. Hal yang menjadi determinan pada pandangan dualistis mungkin hanya fenomena dua warna atau dua bentuk yang berbeda. Misalnya “Dewa-dewa membuat malam dan fajar dalam bentuk yang berbeda, warna hitam dan merah mereka hubungkan”. Dan patut diperhatikan, jati diri Dyaus yang tinggi memiliki, segala kuasa yang kemudian diidentikan dengan Indra, Asura yang paling kenamaan. Jadi, Di India terdapat cerita mengenai proses yang sama seperti yang diceritakan di wilayah Lio.

Ngga’e, menunggangi seekor gajah. Gajah adalah kata dari bahasa Sanskrit. Di India, hingga kini gajah putih masih sangat dihormati hampir persis seperti yang Ilahi. Di wilayah Lio, dalam sebuah doa persembahan dikatakan, Ngga’e naik dari dasar bumi menunggangi seekor sapi. Rumusan doa ini sangat bersifat India. Di India, ada pandangan, bahwa bumi di pikul seekor sapi. Hal ini patut mendapat perhatian khusus, karena hingga waktu yang belum terlalu lama ini (1930-an), sapi tidak di kenal di wilayah Lio, sehingga doa ini pasti berasal dari jaman kuno.

Mengenai arti kata “Du’a Ngga’e”. Du’a berarti pribadi, pemilik, asal, penyebab, wujud, yang pertama, diri. Semua arti ini sangat sinkron untuk mengungkapkan jati diri Wujud Tertinggi. Arti nama Ngga’e sangat mirip dengan Du’a, yaitu; mulia, kaya, bahagia, tuan, pemuka. Kedua nama ini juga dapat dihubungkan dengan nama Dewa dalam agama Hindu. Ngga’e Dewa, yang berarti Tuhan yang besar, raja, sendiri, pemilik, sesungguhnya, kebenaran. Frase ‘mbale ngga’e’ dalam bahasa Lio berarti menjadi. Du’a dewa berarti sendiri.

Dalam penelitiannya, P. Paul Arndt mengemukakan bahwa kata Dewa, Dua dan Ngga’e adalah berasal dari bahasa Sanskrit. Sehingga jika diuraikan kata Du’a mempunyai akarnya pada nama Dewa Dyaus dari bahasa Indogerman yang sangat tua. Karena bahasa Lio bersifat terbuka, dalam arti hanya berakhiran dengan vocal, sehingga sebutan ‘S’ pada akhir kata ini menghilang. Selain itu, dalam bahasa Lio tidak terdapat diftong. Jadi 'ua' disebut ‘a’, demikian juga ‘y’ tidak dikenal lalu disebut ‘u’ akhirnya hasilnya adalah Du’a.

Menurut pandangan Arndt, jika penjelasan ini benar, maka tidak mungkin, bahwa nama dan pandangan tua semacam ini diperoleh dari para pengembara Hindu atau para pedagang, karena ketika orang Hindu memasuki wilayah kepulauan ini pada abad pertama, nama Dyaus sudah tidak dipergunakan lagi melainkan nama Wishnu dan Shiva seperti terbukti di pulau Jawa.  Selain itu, tampaknya arti dari kedua nama Du’a dan Ngga’e kembali mencerminkan keseluruhan agama di India hingga pada spekulasi-spekulasi teologis dari Brahmanisme. Dan meresapnya pemahaman dari agama asing sedalam itu hanya mungkin terjadi melalui hubungan yang mendalam dan lama sekali antara kedua kebudayaan ini. Hal ini hanya bisa terjadi kalau masyarakat Lio jaman dahulu hidup bersama pengembara dan pengungsi Aria dari India Muka  bagian utara  dan tetap berhubungan selama ratusan tahun, kira-kira sampai pada saat Buddhisme mempengaruhi mereka.
Dengan demikian, ditemukan contoh dari hal yang berulang kali diperlihatkan dalam antropologi, yaitu bahwa unsur kebudayaan yang diterima dari kebudayaan asing dipandang sebagai harta baru yang dipelihara lebih setia dan tetap, dari pada oleh mereka yang memilikinya terlebih dahulu.

Jakarta, 26 Januari 2011


Penulis, Marlin Bato
Sumber; Du’a Ngga’e Das, Hochste Wesem In Lio Oleh P. Paul Arndt
Serta beberapa informasi lisan dari orang tua di wilayah Lio.
Gambar tersebut, hanya sebagai ilustrasi...
 WANES-LISE
  • Facebook Comments
Item Reviewed: KOHERENSI WUJUD TERTINGGI, DU’A NGGA’E DENGAN MITOLOGI BULAN DAN HINDUISME Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi