Dalam sejarah perjalanan hidup, manusia pada hakekatnya sangat bergantung kepada alam sekitarnya. Oleh karena itu, hanya manusialah yang mempunyai kesadaran dan meyakini kekuatan semesta. Manusia cenderung melakukan dialektika terhadap alam melalui berbagai ritual pemulihan alam dan lain sebagainya. Proses-proses semacam ini kerap terjadi ketika manusia berada pada kondisi yang kritis sehingga dibutuhkan kekuatan lebih, yang datang dari luar dan tidak terbatas, serta mampu mewakili jiwa agar dapat meyakini sesuatu tidak terbatas itu.
Berkaitan dengan masyarakat Suku Lio, proses dialektika alam kerap muncul ketika adanya fenomena-fenomena alam atau ketika alam menunjukan kedasyatannya, sehingga masyarakat dituntut untuk melakukan ritual-ritual khusus serta berkomunikasi secara langsung melalui bendah-bendah yang di anggap keramat. Tentu saja bendah-bendah tersebut diyakini sebagai wujud manifestasi dari alam itu sendiri.
Mitos masyarakat Lio tentang dan Ine Pare misalnya, adalah satu dari sederet mitos yang masih di yakini sebagai proses dialektika alam yang hingga kini masih menjadi pandora. Relasi vertikal antara kekuatan alam dengan kehidupan masyarakat Lio melalui reinkarnasi Ine Pare dapat memberih gambaran jelas adanya keterkaitan yang erat sehingga masyarakat hendaknya menjaga harmonisasi dengan alam sekitar. Disatu sisi alam memberihkan penghidupan bagi masyarakat Lio melalui Ibu Padi (Ine Pare), tetapi disisi yang lain masyarakat harus memohon, mensyukuri, menjaga dan berusaha agar bertahan hidup. Seiring dengan evolusi peradaban, masyarakat Lio cenderung kreatif , inovatif dan beranalogi mendayaciptakan ritual istiadat yang dipercaya secara berkelangsungan sejak berabad-abad silam. Kecenderungan meyakini Ine Pare sebagai reinkarnasi dari permulaan munculnya padi, masyarakat Lio secara sadar terdorong untuk menjaga serta berkomunikasi dengan ungkapan permohonan (suasasa) sebagai berikut:
Pare nge ghawa mai.- Padi datang dari tanah seberang.
Dhoa mbotu ndota;- Datang melewati puncak gunung Ndota.
mbi'a ghawa ki ria;- tersebar dipadang luas penuh ilalang;
nggera ghawa soko bewa; - terbagi di rerumputan gelagah yang tinggi;
sadha watu manu;- melewati watu manu;
mbembu tana toro.- menetap ditanah merah.
Siso no'o wunu nio; - datang lewat daun kelapa;
doko no'o keba` ndera; - membawa serta pikulan;
leta no'o uba neta; - melintasi batang rotan;
doi no'o au mera. - memikul beban dengan bambu aur dibahunya.
Moru-moru no'o uja angi; - Tebang turun bersama hujan dan angin;
lela`-lela` se'a no'o kila bela. - hinggap bersama guntur dan kilat.
Gudu Woda budu, - Terkejut karena diusir Woda,
fu gere nora kuru; - rambut seperti ilalang yang terbakar;
biga Siga rago' - terperanjat karena dihalau Siga.
longgo ngere wawi koi. - punggung seperti babi yang dikerik (ditanah asing ibu padi mengalami bermacam-macam kesengsaraan karena itu datanglah kemari).
Kote ngere repi bobe, - Pakaian begitu rusak,
menga liri loge, - cuma menutupi pantat;
tae mere dere wele talo. - kain penutup kelamin sudah terlalu kecil.
Soko ngere goru,- Rumput gelagah sepertinya tergaris-garis.
ingga ngere nggia. - rumput ingga sudah terbuka (Ibu padi telah datang melewati rumput yang tinggi).
Nuka wolo, gole kobhe, dage ae - Mendaki bukit, menuruni lembah, menyeberangi kali.
Ghele mai leka Lengo Mbeke ! - Datang dari utara, dari Lengo Mbeke !
Ghale mai leka Mbete Wangge Ende Mbawe. - Datang dari barat, dari Mbete Wangge Endo Mbawe.
Lau mai Ratu Kabu Wio Mbau.- Datang dari selatan, dari Ratu Kabu Wio Mbau.
Mena mai Kiwa ana Resa Mego ana Rega. - Datang dari timur, dari Kiwa putera Resa & Mego putera Rega.
(Ibu padi datang dari timur, barat, utara, dan selatan)
Moru-moru mai, lela lela se'a. - Terbang turun kemari, hinggaplah disini.
Kio toto keto, ngere manu mesa meta muri, - Berciap-ciap seperti ayam yang baru menetas,
nggu toto nggeke, ngere wawi geju jebu. - Bercuit-cuit seperti babi yang keluardari kandangnya.
Mai lenggesai ngere lako, rewosai ngere manu.- Bebaringlah melingkar seperti ajing, duduk seperti ayam yang melindungi anaknya.
Mai gha tau pake pawe, - Datanglah kesini untuk memakai pakaian indah,
Mai gha tau pake pawe, - Datanglah kesini untuk memakai pakaian indah,
tau kando nago. - dan mengenakan perhiasan.
Tulisan syair permohonan diatas adalah kearifan budaya masyarakat Lio terhadap eksistensi Ibu Padi secara nyata dalam proses penanaman benih jenis perladangan lahan kering. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi ekologi dan topografi kawasan Lio yang tergolong sulit dan menantang itu telah membangun budaya dan etos kerja serta keterampilan khusus yang menopang kehidupan komunitas peladang Lio. Penggalan ungkapan diatas merupakan warisan leluhur berupa sastra lisan yang berkembang ditengah masyarakat dengan menggunakan bahasa sebagai media utama serta memilki makna tersendiri sehingga tidak mudah untuk dimahami. Biasanya ungkapan akan dimunculkan pada saat upacara Peso Wini, upacara penyimpanan benih padi menjelang penanaman. Pada penghujungnya, kini ritual-ritual semacam ini pula terancam lekang dibawah kaki sang waktu.
Terimakasih !!!
Penulis, Marlin Bato
Pustaka, " Der kult der Lionesen (mittel-Flores)", Annali Lateranensi (1944) . Upacara keagamaan Masyarakat Lio. Pusat Penelitian Candraditya yang bersumber dari penelitian P.Paul Arndt. SVD
WANES-LISE