Logo

Logo
Latest News
Sunday, June 6, 2010

RITUAL JOKA JU

Upacara Tolak Bala dan Hama di kampung Ranggase

Seperti yang telah diketahui, definisi dari Joka Ju adalah terdiri dari kata Joka dan Ju. Dalam pengertian orang Lio, Joka berarti; tolak atau juga menolak, menampik dan sebagainya, sedangkan Ju bermula dari pengertian harfia yaitu Juangi/Nuangi yang berarti awan dan angin yang dipersonifikasi dan ditakuti sebagai pembawah penyakit dan kematian (berkaitan dengan roh-roh jahat) sehingga kadang muncul juga ungkapan Ju'seka. Ungkapan ini mengandung kutukan atas nama roh jahat.

Dalam seremonial ini, tentunya bertujuan untuk melakukan ritual tolak bala terhadap hama perusak tanaman, penyakit, kematian dan lain sebagainya.

Ketika waktu menanam benih akan tiba, tua-tua adat utama dari kampung Ranggase mengumumkan hari pesta Joka Ju kepada masyarakat. Semua penduduk, khususnya orang mudah mengusahakan dan membeli pakaian yang baru. Yang berpakaian lama dan kumal tidak diijinkan untuk turut menari. Selain itu, orang umumnya merasa malu dengan sendirinya dan tak akan muncul dimuka umum dengan mengenakan pakaian yang tidak teratur rapih. Sesudah bulan sabit pertama, para atalaki berkumpul dirumah pemuka kampung untuk merencanakan dan menentukan waktu yang tepat, juga untuk mempersiapkan semua perlengkapan yang diperluhkan untuk seremonial tersebut. Setelah itu, para atalaki memaklumatkan tanggal pesta kepada semua orang dari kampung-kampung tetangga atau orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan mereka. Orang yang memberih pengumuman itu pergi ke tengah-tengah hanga/kanga dan berdiri sambil berseru:

Ebe' mena !   -               Wahai, kamu yang ada disebelah timur !
Ebe' ghale !   -              Wahai, kamu yang ada disebelah barat !
Ebe' lau    !    -             Wahai, kamu yang ada disebelah selatan !
Ebe' ghele !   -              Wahai, kamu yang ada disebelah utara !

So lele'sai leisawe' !  -    Dengarlah semua !
Wengi telu ka api te'u - Tiga hari lagi kita akan mengadakan -                                         upacara api te'u
Ghale' lowo  -                  Dikali !

Semua berteriak -  Hooooooooo !!

Kemudian masyarakat pergi ke ladang untuk menggali ubikayu (singkong) dan mengeringkannya agar bahan makanan tersedia secukupnya pada waktu pesta. Pada waktu pesta, masyarakat dilarang untuk bekerja. Hanya orang yang memiliki bahan makanan secukupnya dirumah, akan memakainya pada waktu pesta itu.

Pada hari sebelum pesta dimulai, Keli, pemimpin pesta tersebut mengirim dua orang pemuda yang masing-masing membawah sebuah bakul besar dan sebuah tempurung kelapa kecil kekampung-kampung sekitar. Kedua pemuda tersebut harus melakukan perjalanan karosel yaitu menghampiri dari rumah yang satu kerumah yang lain untuk mengumpulkan beras putih. Setiap rumah  harus menyumbang satu piring beras bagi setiap jenis binatang yang mereka miliki: Satu rantang untuk babi-babi, satu untuk ayam-ayam dan seterusnya serta satu rantang untuk para penghuni rumah. Selain itu, mereka juga meminta sumbangan berupa telur ayam dan bawang. Ketika pengumpulan sumbangan itu sudah selesai, maka mereka membawanya ke hanga/kanga dan meletakkannya diatas pekuburan. Atalaki Keli dan Bawi masing-masing memperoleh senyiru beras dan seekor ayam. Kedua pemuda yang berjalan keliling mengumpulkan beras tadi lalu membuat sebuah kotak dari pelepah pinang untuk merendam beras agar menjadi lembek. Kedalam rendaman itu ditaruh juga tiga potong kulit pohon 'Seko' dan 'Jita' agar nasi nantinya terasa agar pahit. Kemudian beras itu dibawah ke kali. Sesampainya disana, mereka memotong dua ruas bambu betung (Peri Bheto) yang akan digunakan sebagai alat masak. Beras itu diisi kedalam ruas-ruas bambu tersebut dengan sedikit air. Lalu mereka meletakkan ruas-ruas bambu itu disamping sebuah batu dan memasang api yang besar.

Waktu nasi itu sudah masak, bambu itu dimasukan kedalam air kali untuk didinginkan. Setelah dingin, bambu itu diangkat kembali lalu dibelah sedikit dan mereka mengambil segenggam nasi dari kedua bambu tersebut sebagai kurban dan sedikit lagi untuk mereka sendiri makan. Kemudian mereka kembali sekali lagi ke sungai untuk membawahkan persembahan. Segenggam nasi tadi bersama buntut dan sayap ayam diletakkan didalam sebuah perahu kecil yang mereka taruh diatas air. Kedua ruas bambu tersebut dengan sisa nasi yang ada didalamnya, bersama dengan sayur-sayuran digantung di atas pohon belimbing. Kemudian mereka kembali ke kampung. Sepanjang jalan, mereka selalu berseru: Ui, hi, hi

Kira-kira pukul empat soreh, diadakan upacara makan untuk semua orang dikali. Para atalaki mengajak semua orang agar ikut menujuh ke kali. Nasi-nasi yang sudah di masak dikampung dibawah di dalam baku-bakul. Setibanya di kali, Sodha (solo tarian tandak) dinyanyikan:

Gaga we'e bo'o; -  Hendaknya ladang menghasilkan panen 
                                yang melimpah;
Kewi we'e ae.    -   Enau meneteskan banyak nira.

Kema we'e gena ! - Agar pekerjaan senantiasa berhasil !
Ho..ho..hui !        -  Ho..ho..hui !

Sesudahnya, ketujuh atalaki menyuru orang agar menghantar tujuh buah nyiru; yang di taruh berbaris ditanah. Lalu nyiru-nyiru itu di isi dengan nasi dari bakul yang paling besar. Setiap atalaki mengulurkan kedua tangannya, yang langsung diisi penuh dengan nasi itu. Sesudah itu,kepada semua orang yang hadir dibagikan nasi yang ditamabh dengan sayur-sayuran, daging, ikan dan mereka langsung memakannya. Sementara itu hari sudah gelap. Api dinyalakan pada ikatan daun kelapa kering dan dengan penerangan itu ditangan mereka kembali kekampung.

Setibanya dikampung, Keli pergi ke sebuah hutan sempit yang keramat sambil membawah emping (hibi/kibi), kue, sebuah telur, buntut dan sayap ayam, sirih pinang dan dengan tiruan emas yang terbuat dari daun lontar. Disana dia membawahlan persembahan bagi Juangi/nuangi. Pukulan gong dan gendang (tambur) mengiringi perjalanannya kesana. Dihutan sempit dan keramat itu, terdapat sebuah pondok kecil dengan sebuah meja yang terbuat dari bambu. Sebuah tangga dengan tujuh anak tangga menhantar orang kemeja itu. Persembahan itu lalu ditaruh ditaruh diatas meja. Kemudian ia berseru kepada Juangi/nuangi (roh jahat);

Leka nua temu nuka ! - Janganlah sekali-kali
                                         memasuki kampung !
Joka ji'e sumba pawe dowa. - Kami mengusirmu
                                                   sebagaimana layaknya.
Leka nua temu se'a !    - Jangan lagi menginjak
                                          halaman kampung !
Lo temu ro, tebo' temu baja !  - Semoga tubuh kami tidak menjadi sakit, badan tidak menjadi lema !

Selama dalam perjalanan kembali ke kampung, ia tidak boleh diajak bicara, seperti juga waktu pergi kehutan keramat itu. Kalau mereka tidak mengindahkannya, maka akibatnya adalah datanglah wabah penyakit, terjadinya kematian dan bencana-bencana lain.

Sesudah ia tiba dikampung, orang memukul gendang lagi. Bapak-bapak keluarga mengedarkan sedikit nasi untuk dimakan oleh anggota keluarganya, katanya; Mo'o tebo miu temu ro (supaya tubuhmu tak akan lagi sakit). Orang-orang tua dan orang yang sakit menghancurkan nasi tersebut dan mencampurinya dengan kunyit dan melaburkannya pada mereka masing-masing supaya supaya terlindung dari penyakit. Sepanjang malam itu, masyarakat tidak boleh memasang lampu atau nyalakan api di tungku dapur. Dalam kegelapan itu, para orang tua menasehati anak-anak, bahwa selama empat hari pepohonan, rerumputan, dedaunan, dan lain sebagainya tidak boleh disentuh dan juga tanah tidak boleh dilukai atau ditusuki. Selama empat hari itu, orang-orang akan bernyanyi, menari, dan melakukan berbagai macam permainan. Masyarakat dari kampung lain datang silih berganti merayakan ritual itu. Mereka selalu membentuk empat kelompok, yang masing-masing terdiri dari empat orang tua dan seorang anak, baik mereka yang datang bertamu maupun yang tinggal dikampung itu. Seluruhnya berjumlah enam belas orang. Pada siang hari diadakan santapan siang, waktu itu disediakan delapan piring besar dan delapan piring kecil untuk anak-anak. Tetapi seluruhnya hanya ada tujuh potong daging. Pada waktu itu mereka hanya minum arak sebagai pengganti air. Sebagai penutup disodorkan sirih pinang. Sesudah santapan, orang-orang masih menari dan minum arak. Setelah semuanya selesai, mereka pulang kerumah masing-masing.

Terimakasih !!
Oleh; Marlin Bato
Sumber, Data tertulis, P. Paul Arndt. SVD

WANES-LISE
  • Facebook Comments
Item Reviewed: RITUAL JOKA JU Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi