Mungkin pembaca merasa lucu menyimak judul diatas. Lewat judul ini penulis secara naluriah mencoba membuka cakrawala, agar lebih memahami makna judul diatas. Judul tersebut dikutip dari buku berjudul "KITA LEBIH BODOH DARI GENERASI SOEKARNO HATTA" Oleh Suwidi Tono yang diterbitkan PT. Perspektif Media Komunika. Nah.. dari judul diatas penulis merasa terispirasi untuk membentang sejuta harapan kepada generasi - generasi Ende Lio dimanapun berada agar tetap melestarikan berbagai macam tradisi budaya Ende Lio yang kaya akan hasil daya cipta 'Babo Mamo'. Beberapa dekade terakhir, kebudayaan Ende Lio telah mengalami berbagai fenomena memprihatinkan.
Hal itu ditandai dengan masuknya sebuah era baru yang disebut 'era milenium' dan juga bergeser terus ke era yang sering dikumandangkan saat ini adalah era globalisasi. Secara logis, kita patut berbangga bahwa kita dapat mencapai kedua era itu, era dimana kita dapat berinteraksi satu sama lain tanpa batas ibarat 'jalan bebas hambatan (TOL)'. Kita boleh berbangga, karena kita dapat bergaya, bernecis, menikmati kemewahan global. Kita boleh berbangga, setidaknya kita tidak di berih stempel 'JADUL' (Jaman Doeloe), atau 'KUPER' (Kurang Pergaulan) atau juga NORAK (Kolot) dan lain sebagainya. Kendati demikian, kita harusnya menyadari suatu saat Jalan 'TOL' pun kadang terjadi kemacetan panjang. Gaya/Style pun akan luntur termakan usia, pakaian necis pun akan ternoda. Semua kemewahan juga tentu akan lenyap dalam sekejap. Yang berlabel JADUL pun akan dicari atau yang KUPER pun akan membawah keberuntungan dan yang KOLOT pun terpancar kepolosan.
Pertanyaannya, mengapa kita tidak sanggup menjaga, melestarikan sekaligus turut mewariskan hasil daya cipta Babo Mamo yang kaya akan nilai magis dan estetika ? Pada hal mereka dengan kejeniusan terbatas sanggup menciptakan khazana budaya seperti tarian Mure, tarian Ha'i Nggaja, tarian woge, tembikar dari tanah liat, kerajinan tangan seperti anyaman, ritual-ritual adat dan masih banyak lagi yang semuanya telah mengalami ancaman degradasi akibat milenium dan globalisasi.
Mengutip tulisan Silver Sega di forum Diskusi mengenai Tarian 'Ha'i Nggaja'.
Ha'I Nggaja adalah salah satu jenis tarian adat. Tetapi tarian ini hanya diketahui khusus warga di kampung Woloara (Moni), kecamatan Kelimutu....Warga di kampung lain.... di wilayah
Moni... juga tidak tahu... tarian ini juga hampir punah, karena hanya ditarikan pada saat-saat tertentu. Tarian ini unik terutama pada nyanyiannya yang disebut Dodo. Di Woloara.... sekarang tidak ada lagi orang yang bisa dodo..... sehingga untuk menari Ha'i Nggaja... penduduk woloara mencari lagu yang mirip dengan lagu dodo...Tarian Ha'I Nggaja dimainkan oleh kaum perempuan (ibu-ibu), untuk menyambut para suami atau kaum bapak (Pria) yang baru pulang dari medan perang. Setelah ibu-ibu menyambut dengan tarian Ha'i Nggaja.... bapak-bapak pun membalas dengan Woge Mbaku.... dengan bhea sebagai tanda kemenangan........
Setelah menyimak tulisan tersebut, penulis bertanya; Segitu tegakah moralitas kita hingga meninggalkan cara-cara lama yang sering dikobarkan oleh pendahulu kita ? Sungguh tidak bisa dibayangkan !! Disaat peradaban terancam sirna, muncul sosok Bung Karno yang dengan keterbatasan sarana dapat mengilhami Pancasila menjadi dasar negara. Hanya sosok beliau yang mampu melakukan meditasi di danau kelimutu karena beliau mampu menjiwai dan menyatu dengan alam sekitar. Beliau mampu membentuk berbagai teater seni peran yang dinamakan 'Kelimutu' disertai beberapa naska Tonil. Selain itu, muncul pula tokoh sentralistik sekaliber, P. Arndt. SVD yang menulis buku "Du'a Ngga'e Wujud Tertinggi Suku Lio (Flores Tengah) atau sosok P. Piet Petu. SVD yang mendedikasikan diri sebagai peneliti sekaligus penjaga museum Blikon Blewut, dan juga sosok Profesor Yosep Glinka (Fisik Antropologist) yang mempelajari tentang penduduk lokal di Nusa Tenggara Timur, Jhon mansford Prior serta Stein
Kristiansen (Traditional houses and duties of Musalaki) dan masih banyak lagi tokoh-tokoh penting yang tidak disebutkan.
Semua para peneliti yang disebutkan tadi didominasi oleh tokoh-tokoh barat, yang mampu melewati jalan setapak (bukan jalan TOL) menyusuri lorong-lorong. Bangga mengenakan pakaian adat Lio (Bukan pakaian necis), mereka bosan dengan kemewahan karena itu akan lenyap, mencari performa yang berlabel 'JADUL' untuk diabadikan. Mereka terlihat seperti orang yang kurang pergaulan (KUPER), dan mereka ingin merasakan menjadi orang yang 'KOLOT' sehingga mampu melebur dalam ketulusan alam. Sudah tentu, semua yang mereka lakukan untuk didedikasikan untuk dunia supaya dunia tahu apa yang ada dalam kandungan Peradaban Ende Lio.
Kita lebih Bodoh dari Babo Mamo, karena kita hanya bisa berteriak - Ganyaaaaannggg !! dikala semua keragaman yang kita miliki di-klaim oleh negara-negara tetangga kita. Mengapa mereka demikian ? Karena mereka tahu, kebudayaan itu adalah cermin kepribadian bangsa. Apalah artinya negara tanpa kepribadian ???
Sekian !!!!
Oleh Marlin Bato
Sumber Inspiratif
WANES-LISE