Logo

Logo
Latest News
Friday, May 7, 2010

FESTIVAL 'KA - POKA' DI KAMPUNG RANGGASE (CENTRAL FLORES)

 'Upacara menjelang panen'

Ketika saat panen padi sudah mendekat, sebagai pendahuluan orang merayakan pesta Ka Poka. Atalaki (Sesepuh adat) dari Ranggase pergi ke 'Jopu' dan menyampaikan kepada ketiga atalaki disana, bahwa tiga hari lagi; tiga hari sesudah bulan purnama, pesta Ka Poka sudah harus dirayakan. Pada hari yang sudah ditentukan atalaki utama dari Ranggase pergi ke Hanga sambil membawa sebuah gendang. Ia memukul gendang, pergi ke kali sambil berseru: 'Dalam waktu tujuh hari lagi kita akan merayakan pesta Ka Poka !' Sesudahnya, Ia memukul lagi gendangnya. Ia mengatakan tujuh hari tapi sesungguhnya yang dimaksudkan hanya dua hari lagi. Seruan ini diulang sebanyak empat kali.

Pada hari kedua sesudah pengumuman tersebut, para wanita dan gadis-gadis dikampung adat itu menjemur padi pada pagi hari serta menumbuknya pada soreh hari, sedangkan wanita lain menimbah air. Dilain pihak, para lelaki sibuk menangkap ayam. Pada soreh hari para atalaki (Pemangku adat) dari kampung 'Mbuliwaralau' datang sambil membawa beras, ayam, potongan kulit kerbau, dan tujuh dendeng kerbau yang akan menjadi kurban di gunung yang ada di belakang kampung Ranggase. Berdasarkan cerita sejarah sejak dahulu kala dari kampung tersebut, ketika terjadi air bah, sejumlah orang lari dan berlindung di gunung tersebut. Pada waktu air semakin naik, gunung itupun semakin meninggi dan karena itu selamatlah orang-orang itu. Setelah fenomena alam tersebut, mereka mendirikan sebuah hanga diatas gunung yang hingga kini selalu dirayakan pesta Ka Poka, dengan seremoni adat istiadat setempat.

Mengawali ritual tersebut, orang-orang tersebut memasak nasi dan daging ayam di kampung. Nasi yang matang itu di isi dalam 'wati' (Sebuah anyaman dari daun lontar) sedangkan daging di isi dalam sebuah kuali tanah. Hanya sebagian kecil masakan itu dipersembahkan di 'wisululu' (Bagian dalam rumah yang paling belakang sebelah kanan tempat untuk mempersembahkan sesajen). Seorang anggota keluarga diminta untuk pergi membawakan persembahan ke heda dan hanga, kepekuburan, serta bhaku (tempat penyimpanan tulang-tulang para Leluhur. Sesudahnya mereka baru diperbolehkan bersantap bersama.

Pada hari berikutnya, pagi-pagi buta sekitar jam empat, seorang anggota keluarga membawa sebuah bakul kecil berisi penuh nasi dan daging kerbau yang sudah dimasak menjadi lembek dan mengantarkannya keatas gunung tersebut untuk 'keli wolo' (harfia; gunung dan bukit). Orang yang pertama mencapai puncak gunung tersebut beruntung, karena tidak dicaci maki dan diejek. Sedangkan orang yang datang kemudian disambut dengan kata-kata makian dan gestikulasi kotor. Tetapi orang yang dikatai itu menentangnya dengan sebuah obor bernyala di pegangnya. Menurut aturan dan hukum tidak tertulis (adat), tidak seorangpun dari mereka boleh menjadi marah atau menaruh dendam kepada yang lainnya.

Apabila semua orang yang harus datang sudah tiba diatas gunung tersebut, pergilah mereka ke hanga untuk meletakan persembahan berupa segenggam nasi dan sepotong kulit kerbau. Siapapun yang tidak hadir akan didenda seekor kerbau supaya dia mendapat bagiannya dalam persembahan tersebut. Lalu mereka semua bernyanyi:

Io ela, io ela,io ela, io ela !!
Ebe gheta,
Ebe mena,
Are mera o mbui somba
Dhera-dhera se ke'a kaka kena

Terjemahan;

Io ela, io ela,io ela, io ela !!
Wahai kamu yang ada di sebelah utara !
Wahai kamu yang ada di sebelah timur !
Inilah beras merah yang kami persembahkan,
Terimalah dari semua piring, mangkok dan tempurung.

Sesudah itu, sedikit bagian dari persembahan tersebut mereka santap. Orang yang membawakan persembahan pertama dapat memberikan nasinya sedikit kepada yang lain. Nasi itu dinamakan "Are Ae Uja", (Harfia; Nasi air hujan). Selanjutnya, seseorang dari mereka harus lari secepatnya kekampung untuk membawa "Are Ae Uja" itu sebelum matahari terbit, supaya sinar matahari tidak mengenai nasi tersebut. Seandainya sinar matahari mengenai nasi tersebut maka, (diyakini bahwa) semua benih padi akan mati. Dua hari berikutnya, orang tidak boleh menyentuh tumbuhan hijau dan juga tanah tidak boleh dilukai. Sisa nasi dari persembahan tersebut hanya boleh dimakan oleh anggota keluarga dari orang yang membawakan kurban itu. Orang asing dan hamba-hamba tidak diijinkan untuk memakannya. Sesudah perayaan tersebut, orang boleh memulai panen padi dan jagung. Upacara ini sudah diwariskan secara turun temurun dan selalu dilakukan oleh generasi ('Ana pa'a ana, pi  welu pi') sejak kelampauan, kekinian dan akan datang. Semoga generasi sekarang sadar betul, dengan kehadiran istiadat di tengah hegemoni peradaban global.

Sekian !!

Penulis, Marlin Bato
Sumber, Literatur Sejarah Lisan & Data,  P. Paul Arndt. SVD
WANES-LISE
  • Facebook Comments
Item Reviewed: FESTIVAL 'KA - POKA' DI KAMPUNG RANGGASE (CENTRAL FLORES) Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi