Logo

Logo
Latest News
Saturday, January 23, 2010

RITUAL PEMULIHAN ALAM DI PULAU PALU'E




Musim kemarau panjang, hasil pertanian dan laut kurang menggembirakan, serta wabah penyakit melanda menjadi tanda serius bagi tetua adat untuk segera melakukan 'pendinginan' atau pemulihan alam. Ritual Pua karapau merupakan jawabannya. Pua karapau (muat kerbau) merupakan salah satu ritual adat yang telah dilakukan turun temurun oleh warga dusun Cawelo dan Tudu Desa Rokirole di pulau Palu'e, kabupaten Sikka Nusa Tenggara timur. Pulau sendiri sekitar dua jam dengan morot laut dari Maumere (Kab. Sikka) atau satu jam dari Ropa (pesisir utara Kab. Ende). Warga dua dusun itu yang berada diluar palu'e pun berdatangan sebelum rangkaian Pua Karapau mulai dilakukan hingga puncaknya, yakni berupa pemotongan kerbau sebagai persembahan kepada Rawula Watu Tana (Tuhan Penguasa Alam Semesta) dan  para leluhur. Tahun ini acara puncak jatuh pada awal bulan November 2009. Termasuk Lakimosa (tetua adat) Cawelo, Cosmas Himalaya yang tinggal di Larantuka, Kab. Flores Timur, jauh - jauh hari sudah tiba di Palu'e, pulau kecil dalam kepungan laut Flores itu. "Dalam Tradisi di Cawelo,  Pua Karapau digelar dua kali dalam lima tahun", dan kali ini yang kedua, kata Cosmas. Pua Karapau tahun ini memang agak unik kerna semestinya hanya memuat dua kerbau. Namun berhubung seekor kerbau yang di persiapkan sejak tahun 2006 mati maka pada bulan juni 2009 meka perlu dipersiapkan gantinya tahun ini sehingga yang dipersiapkan menjadi tiga ekor. Pasalnya, untuk Pua Karapau tahap pertama akan dipersiapkan dua kerbau, seekor diantaranya akan dipotong pada ritual tersebut, sedangkan seekor lainnya dipersiapkan untuk dipersembahkan pada masa pati Karapau (potong kerbau) pada tahun kelima. Sementara pada Pua Karapau tahap kedua juga dimuat lagi dua kerbau, seekor dipotong saat itu, sedangkan seekor lainnya untuk pati Karapau. Dengan demikian, saat pati Karapau tahun 2011 akan dipotong dua kerbau untuk persembahan bagi Rawula. "Persembahan kerbau pada waktu Pua Karapau dimaksudkan sebagai  pemberitahuan bahwa masyarakat Cawelo telah mempersiapkan persembahan (dua kerbau) untuk Rawula dan para Leluhur, yang akan diberihkan pada saat pati Karapau", kata Cosmas. Dari delapan desa di pulau Palu'e, tradisi Pua Karapau dan pati Karapau dilakukan turun temurun ole komunitas adat di empat desa, yaitu Nitunglea, Rokirole, Tuanggeo, dan Ladolaka. Namun tata cara ritual antara satu wilayah adat dan wilayah yang lain berbeda - beda. Sebagai contoh di Rokirole yang berpenduduk 1.500 jiwa - yang meliputi tiga dusun - memiliki dua wilayah ke-Lakimosa-an, yaitu wilayah adat Cawelo dan Tudu, serta wilayah Lakimosa Koa. Di Cawelo, Pua Karapau dalam lima tahun dilakukan dua kali, sedangkan di Koa dilakukan sekali saja.

Serba Lima,
Satu hal yang menarik dalam Pua Karapau sejumlah ritual yang di lakukan serba lima. Begitu pula Pati Karapau digelar setiap lima tahun sekali. Bagi komunitas pendukung ritual tersebut, angka lima menyimbolkan keberuntungan. Sebelum Pua Karapau dilaksanakan tanmgal 28 Oktober, masyarakat Cawelo harus menjalani masa pantang, yaitu tidak melakukan pekerjaan dikebun, melaut, atau pekerjaan lain, selama lima hari. Selama hampir sepekan itu, sejumlah warga menyeberang ke Ropa, desa Keliwumbu, kecamatan Maurole Kabupaten Ende di daratan Flores untuk membeli tiga kerbau sebagai hewan kurban. Sebelum berangkat ke Ropa, rombongan adat masing - masing harus mengelilingi TUBU CA (tugu besar) dan TUBU LO"O (tugu kecil) di tengah kampung. Selanjutnya perahu yang juga bermuatan gendang dan gong harus berputar lima kali  di sekitar pelabuhan sebelum bertolak ke Ropa. Selama perjalanan juga di lantunkan lima lagu adat. Begitu juga ketika rombongan hampir tiba di Ropa, perahu kembali berputar lima kali sebelum lego jangkar. Setelah kerbau di naikan kedalam perahu di pantai Ropa, perahu kembali perputar lima kali sebelum bertolak pulang ke pulau Palu'e. Cosmas menjelaskan, dalam ritual Pua Karapau akan terbangun relasi yang baik, terutama dengan Rawula, lalu persahabatan dengan alam, serta hubungan yang harmonis dengan sesama. Ritual itu menuntut yang berkonflik menjadi rukun kembali karena didalamnya ada proses perdamaian dan pemulihan. Kerbau yang dipotong sebagai persembahan dalam ritual tersebut, ujar Lakimosa Cawelo yang lain, Bernadus Ratu juga berperan sebagai korban penebusan sebagai ganti kesalahan yang di buat oleh manusia atau warga setempat. Karena itu, tak heran, begitu kerbau yang telah di potong tersungkur karena kehabisan darah, warga berebut menyentuhkan kakinya kebadan kerbau yang berlumuran darah. Tentu dengan harapan segala penyakit yang di derita juga tertumpah atau di tanggung kedarah kerbau tersebut. Karena fungsi sebagai korban penebusan kesalahan, daging kerbau tidak di konsumsi oleh semua Lakimosa dan keluarganya, serta warga Cawelo dan Tudu. Sebaliknya warga dusun atau desa lain di perbolehkan mengambil dan mengkonsumsi daging kerbau itu. Namun, pengambilan daging kerbau itu harus di lakukan secara diam - diam seolah mencuri atau tanpa di ketahui oleh masyarakat Cawelo. Warga juga berkeyakinan, posisi kepala kerbau setelah jatuh dan tewas mempunyai makna sendiri. Arah kepala hewan kurban itu diyakini menunjukan kawasan yang akan memberihkan hasil panen berlimpah pada musim mendatang. Pada ritual senin (3/11), kepala kerbau sebenarnya menghadap ke gunung di bagian selatan, posisi yang tidak mendatangkan rejeki karena menghadap kawasan berbatu atau bukan lahan pertanian. Karena masih bernapas, kepala kerbau itu oleh sejumlah tetua cepat - cepat di geser dan diarahkan ke utara mengahadap areal kebun  dan perairan pantai tempat para nelayan memburu ikan. "Lewat ini diharapkan hasil dari kebun maupun laut berlimpah. Kalau demikian, masyarakat berkecukupan dan dijauhkan dari penyakit. Juga mereka yang bekerja di luar pulau akan mendapatkan perlindungan", kata Lakimosa Cawelo, Neno Toni, seusai pemotongan kerbau.

Ketahanan Pangan Baik
Tradisi tua itu menunjukan, betapa masyarakat Cawelo masih berpegang kuat pada akar budaya mereka. Ritual Pua Karapau dan Pati Karapau juga menunjukan masyarakat Cawelo adalah masyarakat yang Religius. Tradisi itu berdampak positif pada pertanian mereka. Masyarakat Palu'e tidak menanam padi untuk kebutuhan pangan. Mereka hanya menanam jagung, umbi - umbian, kacang - kacangan dan pisang. Penunjang ekonomi mereka yang lain adalah dari tanaman perdagangan seperti kelapa, vanili, jambu mete, kakao serta hasil melaut. Mereka tidsak pernah mengalami krisis pangan alias kelaparan. Ketahanan pangan warga Palu'e pada umumnya baik, sebagaimana  warga Cawelo, karena di tunjang oleh istiadat setempat. Setelah masa Pua Karapau berakhir dalam lima tahun, yang ditutup dengan Pati Karapau, masyarakat adat Cawelo akan memasuki phije, yakni masa haram atau pantang selama lebih kurang lima tahun. Selama itu mereka dilarang melakukan aktivitas yang merusak alam, juga melukai tanah. Sebagai contoh memetik daun, apalagi menebang pohon, merupakan larangan keras. Begitu pula penggalian, pengerukan dan pembuatan jalan maupun fondasi rumah juga dilarang. Penguburan orang mati pun tak bisa dilakukan dalam masa Phije. Orang mati pada masa itu terpaksa tidak dikubur dalam tanah melainkan dibaringkan saja di pemakaman. Pada masa Phije, yang diperbolehkan adalah aktivitas untuk menunjang dan memberikan kehidupan seperti bertani. Jika masa pantang itu dilanggar, warga akan dikenai sanksi adat. Yang lebih fatal, sebuah pelanggaran diyakini dapat mengakibatkan korban jiwa atau kesialan. Itu sebabnya pada masa itu warga menjadi fokus pada kegiatan pertanian. Bahkan kelestarian lingkungan juga terjaga dengan baik. Namun, pengaruh adat itu juga berdampak kurang baik pada aspek pembangunan, salah satunya pembuatan jalan Kabupatenpada bulan Oktober lalu menjadi terhambat. Hal itu terjadi untuk pembuatan jalan sepanjang satu kilometer lebih, yang menghubungkan dusun Cawelo dan Koa. Pembangunan tidak bisa berjalan karena di dusun Koa telah dilakukan Pati Karapau pada bulan Januari sehingga saat ini telah memasuki Phije lebih kurang hingga tahun 2014. Camat Palu'e Fernades Woda pun kemudian mengusulkan kepada Bupati Sikka Sosimus Mitang agar proyek rabat jalan beton Cawelo - Koa dialihkan dahulu ke daerah lain dalam wilayah Palu'e. Dari pengalaman kasus inimemang sudah tidak ada jamannya lagi penetapan dan pengalokasian anggaran pembangunan desa dilakukan dari atas (Top Down), melainkan harus dari aspirasi arus bawah (Bottom Up). Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Sikka sebelum menetapkan alokasi anggaran pembangunan desa perluh berkomunikasi terlebih dahulu dengan lembaga adat sehingga program pembangunan desa tidak terbengkalai.

Sekian dan Terima kasih..

Marlin Bato
Sumber; Kompas sabtu 23 Januari 2010

WANES-LISE
  • Facebook Comments
Item Reviewed: RITUAL PEMULIHAN ALAM DI PULAU PALU'E Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi