Logo

Logo
Latest News
Friday, December 18, 2009

INDONESIA KINI KEHILANGAN JIWA, MAMPUKAH KITA MENEMUKANNYA KEMBALI ?



( Refleksi Perjalanan Bangsa )

Oleh: Kornelis Wiriyawan Gatu



Bung Karno dalam Buku Dibawah Bendera Revolusi Jilid I Cetakan ke-5 yang dibedah Bung Asvi Warman Adam dibagian pembuka yang mengacu pada pendapat Ernest Renan mengatakan bahwa, “Bangsa adalah Satu Djiwa. Tulisan asli itu secara tuntas menggambarkan jiwa Bangsa Indonesia. Marilah kita kembali kepada djiwa kita sendiri. Djangan kita menjadi bangsa tiruan ! Djiwa Indonesia adalah djiwa gotong-royong, djiwa persaudaraan, djiwa kekeluargaan. Kita telah merumuskan djiwa yang demikian itu dengan apa yang dinamakan Pantja Sila. Hanya Pantja Sila yang sesuai dengan djiwa Indonesia. Marilah kita setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945, - Proklamasi yang bernafas Pantja Sila” . Pesan moral diatas kelihatan sederhana namun bermakna sangat dalam dan jika diperbandingkan dengan kondisi bangsa kita saat ini maka, pantaslah kita melakukan refleksi atas perjalanan bangsa pasca kepemimpinan Bung Karno Mr. Presiden pertama RI itu.
Pemikir jenius serta penjasa besar bagi bangsa itupun pernah menitipkan pesan lain yakni Jangan Sekali-kali meninggalkan Sejarah atau lebih trendnya “ JASMERAH”. Kita tahu dan sadar betul bahwa kita telah kehilangan kendali dan melupakan segala sesuatu yang telah ditetapkan sekaligus diwarisi untuk selanjutnya dilaksanakan serta sejarah masa lampau itu dapat kiranya dijadikan sebagai acuan untuk membangun negara bangsa atau nation and state masa kini sampai selama bangsa kita masih berdiri tegak seperti karang ditengah lautan yang tidak usik walau dihempas gelombang dan angin badai.
Rupanya dewasa ini fakta empiris membuktikan bahwa kita semakin jauh meninggalkan ajaran-ajaran sakral para founding fathers. Sepintas kutipan biografinya, semenjak lahir, Bung Karno manusia 1.000 julukan awalnya diberi nama Kusno oleh kedua orang tuanya. Kusno kecil sering sakit dan berdasarkan kepercayaan suku Jawa namanya harus diganti lagi menjadi Soekarno Sosroadijoyo seperti terdaftar di Hogere Burger School Surabaya dan Technische Hoogeschool Bandung. Keluarga sederhana paduan darah Jawa dan Bali, yakni ayahnya Raden Soekemi ( Blitar Jawa Timur ) serta ibunya Ida Ayu Nyoman Rai ( Bali ) Soerkarno lahir penuh sakral, hidup dalam situasi keras penuh ancaman akibat penjajahan. Bersyukur karena dibesarkan dilingkungan yang bermental baja, dibawah bimbingan H.O.S Tjokroaminoto. Aktivis politik yang cerdas abad XX itupun sangat disegani ditengah tokoh dunia pada zamannya termasuk Jhon F. Kennedy Presiden Amerika saat itu. Konsep serta gagasan briliannya kini tengah dipakai di Afrika Selatan dan sejumlah negara Amerika Latin. Keberanian tokoh Soekarnopun diteladani Mahatir Muhammad dari Malaysia yang beberapa tahun silam sempat mengklaim diri sebagai Soekarno kecil dari Asia. Sedangkan kita diluar kesadaran menjadikan Bung Karno serta konsep sekaligus gagasan besarnya sebagai sesuatu yang tidak penting dan harus dijauhkan dari bumi Indonesia. (Maafkan saya) Kita telah mengkhianatinya.
Sang pemilik tunggal Pantja Sila ideologi bangsa Indonesia ternyata tampil penuh pikiran kritis, brillan sehingga mengecok konstelasi politik dunia pada masa itu. Harus diakui bahwa kemampuan dan polpularitasnya menembus batas etnis, benua, agama dan budaya. Buktinya, Afrika sangat sanjung ketokohannya yang peduli nasib kemanusiaan sebagaimana tulisan Dr. Ben Mboi mantan Gubernur NTT dalam buku Bung Karno Bapakku, Gurukku, Sahabatku dan Pemimpinku (hal. 655). Mereka menyatakan, bahwa orang Afrika memiliki harga dan kepercayaan diri karena Soekarno , dan itu merupakan modal dasar berjuang untuk kemerdekaan bangsanya. Kolega-kolega Afrika “mencaci maki” kami dari Indonesia ( Demikian lanjut Ben Mboi ) yang saat itu belajar di Belgia. Masih pada kisah pengalaman mantan Gubernur NTT, Bangsa Indonesia dinilai telah menyingkirkan seorang yang membawah bangsanya kepada kemerdekaan. Lihat saja, orang Afrika sangat menghargai Bung Karno sang peletak dasar bangsa ini.
Sementara itu, Achmad Tirtosudiro mengutip pesan Bung Karno dalam buku yang sama (hal.47) menyinggung 3 hal yakni;

1. Memelihara dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa
2. Perlunya nation and charácter building
3. Menumbuhkan kehidupan poltik yang sehat

Penulis kurang yakin, jika dominan rakyat kita khususnya kaum intelectual muda berpegang teguh pada pemikiran serta gagasan beliau. Kita telah bergerak membangun bangsa ini dengan arah yang keliru dan tidak sesuai cita-cita luhur pendahulu, serta mengacu pada djiwa kita sendiri. Layaknya jatuh tertimpa tangga, karena yang ada kini adalah kita membangun djiwa dengan penuh kekacauan syaraf. Sejarah bangsa bagi kita nampaknya hanya sebuah slogan belaka yang tanpa sadar sering kita injak-injak ditengah intevensi kepentingan negara bangsa tertentu. Adalah wajar jika kita memotret kembali tiga pesan Bung Karno diatas agar dijadikan sebagai refleksi individu masing - masing. Ya..mungkin tiga gagasan itu dapat diterima namun ketokohan Bung Karno dinilai sejumlah pihak telah keliru dengan munculnya konsep NASAKOM atau Nasionalisme, Agama dan Komunisme. Ini dinilai betentangan. Bagaimana mungkin, nasionalisme, agama serta komunisme dipadukan sekaligus dalam satu konsep oleh Bung Karno. Penulis menilai bahwa hal itu sangat wajar sebab beliau sangat gandrung akan persatuan bangsa yang masih terancam penjajahan. Menurut Bung Karno, NASAKOM bukan titik tolak utama, asalkan persatuan rakyat tidak terpecah belah.
Sepintas kisah sejarah pengasingan sosok orator sekaligus diplomat ulung, oleh pemerintahan kolonial, Bung Karno diasingkan di Endeh Pulau Flores (Tahun 1934-1938 ) sebelum akhirnya diasingkan lagi ke Bengkulen.




Mutiara dari Endeh untuk Nusantara

Kota kecil Endeh ditengah Pulau Flores menjadi tempat bersejarah dalam proses penting demi menyelamatkan bangsa. Mari kita telusuri sejauh mana kontribusi yang telah disejarahkan itu. Sebelumnya, nama kotanya adalah Endeh ( istilah Jerman berarti terakhir ) merupakan daerah kekuasaan raja.
Buku dibawah Bendera Revolusi serta buku-buku lain yang menulis sari perjalanan perjuangan Bung Karno dengan segala kenyataannya masih membuat penulis kurang puas dan ingin menggali lebih dalam lagi. Selama masa pengasingan di kota yang saat itu hanya bisa dijangkau kapal-kapal kecil sebagai mediator yang digunakan untuk mengirim surat via pos, situasinya memang amat sangat sulit. Berkat kerja keras bersama, Ende kini telah menjadi kota lebih berkembang dari sebelumnya. Sang Maestro memiliki ikatan emosional sangat khusus dalam hubungan Perenungan Panca Sila. Dibawah Pohon Sukun ditengah Kota itulah, beliau menemukan Mutiara bagi bangsanya. Selama masa pengasingan, aktivitas politik melalui pertunjukan drama sering dilakukan bersama kawan-kawannya. Bukti sejarah Pohon Sukun dan Rumah Tinggal atau lebih dikenal dengan Situs Bung Karno masih segar dan berdiri tegak hinggá kini dan dirawat pemerintah daerah serta penjaga keluarga Endeh yang siap memberikan akses informasi seputar masa pengasingan tahun 1934-1938 itu. Atas kenangan peristiwa sakral inilah, pasca peninggalan Bung Karno sering terjadi kunjungan sejumlah tokoh besar nasional ataupun wisatawan mancanegara.
Selama di Endeh, Bung Karno belajar banyak hal dan sering melakukan semedi yang ruangan khususnya hinggá saat ini masih tetap terjaga juga. Bekas dan tanda pada lantai ruangan itu pasti membuat pengunjung merinding sekaligus merasa Bung Karno ada disekitarnya. Praktis di Jalan Perwira Ende, Ruangan kecil itu berada dibagian belakang rumah dekat sumur tua yang masih terdapat air dan diyakini memiliki nilai sakral pemberi kehidupan beliau. Dengan penuh kesederhanaan, kesahajaannya, beliau diterima masyarakat lokal yang saat itu masih sangat primitif dan jauh dari jangkauan akses informasi tentang perkembangan situasi global nasional. Tidak jarang, jambu mede dijadikan makanan kesukaannya.
Sosok politisi kawakan dunia yang satu ini sangat berbeda karena penuh kharismatik dalam dirinya yang membuat pemimpin dunia segan serta takluk pada pemikiran sekaligus gagasan besarnya. Di Ende, Bung Karno bergaul bersama rekan-rekan dan melakukan pementasan drama dengan kelompok yang diberi nama Kelimutu. Sebuah nama diambil dari kawah Danau Tiga Warna merupakan salah satu keajaiban dunia karena tanpa rekayasa manusia. Kerinduannya untuk memerdekakan bangsa Indonesia telah melewati penderitaan panjang dan akhirnya menjadikan Pohon Sukun ditengah kota kecil itu sebagai satu-satunya tempat perenungan hingga akhirnya menemukan Panca Sila sebagai dasar negara yang kini tercabik-cabik oleh kepentingan global.
Endeh dulu adalah kota yang kotor penuh nyamuk malaria. Tokoh besar itupun tidak luput dari serangan nyamuk malaria dan sempat jatuh sakit yang akhirnya pemerintahan kolonial kemudian membuangnya lagi ke Bengkulen. Sejak berada di pengasingan Endeh, Dr. (HC) Soekarno juga membangun hubungan pribadi dengan alam gunung Kelimutu yang terkenal sakral adanya, sekitar 56 km kearah bagian Timur dari letak kota. Meyakini kekuatan Tuhan sebagai fondasi utama dalam kemerdekaan bangsa, konon seorang sopir taksi (orang Surabaya baru berkenalan, 15 September tahun 2005), mengkisahkan kepada penulis demikian fasihnya, Bung Karno suatu ketika saat itu didatangi manusia titisan bersayap (malaikat) adalah seorang anak perempuan mengaku bernama Garudia. Sang malaikat itu akhirnya membawakan wahyu Panca Sila kepadanya. Ini mungkin sekilas pintas dan sejarah lepas yang terlihat sepele namun pasti membuat kita penasaran dan ingin menggali sedalam-dalamnya tentang kebenaran peristiwa itu. Menurut hemat penulis, inilah sesungguhnya sari dari seluruh sejarah yang sudah ditulis tentang Panca Sila yang maha haibat itu. Ternyata, Endeh pun pernah mempunyai kontribusi terbesar untuk kemerdekaan bangsa diantara kontribusi dari saudara-saudara Bovendigul serta Bandanaira selama masa pengasingan. Artinya, boleh dikata Tanpa Soekarno, tanpa Endeh dan tanpa Panca Sila, pasti sejarah bangsa Indonesia lain perjalanannya.
Era Orde Baru zaman kekuasaan penuh masalah ?

Bagian ini bukan bermaksud membuat perbandingan untuk mengukur takaran sistem pemerintahan mana yang lebih baik melainkan hanya sebagai sebuah refleksi lintas era atau zaman. Pasca kepemimpinan Bung Karno jatuh, bangsa Indonesia yang kini menjadi Bangsa kuli, kuli diatas bangsa – bangsa lain atau “nation of coolies, coolies of any nation” saat itu dikendalikan penuh oleh Soeharto berlatar belakang militer yang kemudian dipolitisasi istilahnya menjadi “militerisme” kondisi negara tampak tenang tidak ada kekacauan akibat sengketa Pilkada. Maklum saat itu pemlihan Presiden masih menjadi kewenangan musyawarah legislatif melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat.. Kerjasama luar negeri Indonesia meningkat dalam hal utang piutang sehingga pembangunan infrastruktur benar – benar fokus pada sasaran sekalipun tidak dalam hal kepantasan ideologi. Gerakan pencanangan program REPETITA dan REPELITA sangat gencar yang dijamin keamanannya sekalipun dibagian timur Indonesia mendapat perlakuan kurang adil didalamnya. Situasi era orde baru jauh dari kritikan serta demonstrasi layaknya saat ini. Negara nyaris mencapai total tujuan bersama sebagaimana cita-cita dasarnya.
Soeharto yang dikenal ahli strategi itu punya resep yang berbeda dalam membangun bangsa tanpa ada tekanan dari pihak manapun dalam negerinya sendiri. Beliau adalah Pemimpin produk Amerika Serikat yang juga sangat gandrung akan persatuan, artinya penulis boleh mengatakan bahwa Bung Karno menggagas, Soeharto melaksanakan dari sisi tersebut. Memang tidak semua pilar ter implementasi namun setidaknya ada warna kearah itu. Selama 32 tahun rezim orde baru berkuasa, konstelasi politik nasional relatif stabil karena seluruh elemen bangsa diperintahkan tunduk kepada sang Jendral. Yang jelas, zaman orde baru bukanlah zaman penuh kegelapan atau jahilia.





Era Reformasi dalam Refleksi

Tahun 1998, mahasiswa bersama komponen rakyat melakukan gerakan dasyat yang tujuannya mendesak Presiden Soeharto mengundurkan diri dari kursi Presiden. Keadaan negara menjadi guncang tidak menentu. Elite politik dan lapisan berkepentingan merayakan pesta kemenangan Pasca pengunduran diri Soeharto( 20 Mei 1998 ). Gegap gempita, sorak – sorai “rakyat” terjadi di seluruh jagad nusantara dan sebagian kelompok tertentu menderita penuh tangisan piluh. Siapa peduli ?
Daftar sejarah bangsa menjadi bertambah dan dunia memotret kilas balik kisah yang menggegerkan belahan bumi tersebut. Kemudian lahir sang pilot baru yakni Prof. B. J Habibie dengan masa tugas (21 Juni 1998 – 23 Juni 2001) arsitek jebolan Jerman mem - piloti pesawat bangsa Indonesia. Namun, tetap tidak bertahan lama karena pada tahun 1999 B. J Habibie dinilai secara nyata telah membuat salah satu kesalahan fatal karena menawarkan opsi kepada rakyat Timor Timur (saat ini Negara Timor Leste) untuk memilih sendiri Merdeka atau Integrasi. Dan ternyata, pilihannya adalah Merdeka yang akhirnya propinsi ke-27 itu resmi lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agenda pergantian pemimpin dipercepat yang praktis jatuh pada tahun itu juga dilaksanakan PEMILU Perdana dan beliau tidak mencalonkan diri dalam tahun yang sama. Harapan rakyat terwujud melalui PEMILU perdana dan ternyata rakyat mengubah situasi dengan memenangkan Megawati Soekarno Putri namun, karena syarat kepentingan pro kontra politik terkait wacana larangan pemimpin perempuan dalam kegentingan negara pada masa itu maka, lahirlah poros tengah yang dibangun kelompok Amin Rais dan melalui voting MPR berhasil mengangkat K.H Abdurahman Wahid ( 20 Oktober 1999) tokoh moderat untuk memegang kendali negara demi menetralkan situasi. Inipun tidak bertahan lama. Presiden Gusdur diberhentikan melalui Sidang Istimewa MPR ( 1 Agustus 2001 ) dengan alasan tertentu dan akhirnya juga tidak mencapai puncak masanya.
Selanjutnya, Megawati yang sebelumnya menjabat Wapres gandeng Gusdur secara otomatis naik satu peringkat menjadi Presiden Perempuan RI yang pertama dengan masa jabatan ( 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004). Sedangkan Pemilu 2004 rakyat memilih SBY mantan Menkopolkam bersama JK sebagai Wapres yang sekalipun tertimpa banyak tantangan namun masih bertahan hingga kini. Mulai dari permasalahan Bencana Tsunami Aceh hingga kepada crisis keuangan global yang kini sedang kita alami bersama. Berbagai peristiwa sulit telah menimpa sang presiden namun, di komunitas tertentu, malah dianggap belum mampu menyelesaikan multi problem bangsa. Lalu, mampukah rakyat menentukan pemimpin baru paling tepat 2009 mendatang ditengah konstelasi politik negara yang kian memanas ? Kita tunggu waktunya dan mudah – mudahan demokrasi semakin tumbuh sehat dengan dilandasi politik yang sehat pula.


Masih Perlukah Pancasila sebagai Dasar Negara ?

Sebagai bukti dari kekesalan, pertanyaan diatas sepatutnya ada agar dapat kita jadikan sebagai awal untuk berefleksi bersama sehingga kita tahu diri dan tahu jalan yang benar menuju tercapainya tujuan nasional sebelum bangsa ini dikuasai, dikendalikan total oleh kaum kapitalis, imperialis. Mungkin telah terlambat jika penulis mengatakan; Mari membangun diri dengan memegang prinsip, sekali Panca Sila tetap Panca Sila sampai kembali ke sang khalik. Engkau kapitalis global yang merusak bangsaku, Aku ingin sekali meninju mukamu dengan Panca Silaku..!!
Ideologi besar dan luar biasa ini sangat cocok dipakai untuk bangsa yang majemuk dengan berbagai warna suku, adat istiadat serta bahasa. Satu pilar penting adalah sarana komunikasi pemersatu yakni bahasa Indonesia yang kini dilecehkan, diperkosa melalui dialektika ala Jakarta seperti; tidak menjadi nggak, atau Saya menjadi Gue yang kemudian dipertontonkan kepada seluruh masyarakat Indonesia segala umur lewat layar kaca. Adegan-adegan “seronok” tidak mendidik pun sering dilakukan yang menjurus sangat jauh kedalam gaya barat seolah tanpa koreksi Komisi Penyiaran Indonesia. Hal tersebut adalah bukti nyata dari fenomena kehancuran bangsa, sedangkan kita sendiri semakin bersikap apatis atau masa bodoh. Padahal Ideologi warisan pendahulu mempunyai kekuatan pasti demi perbaikan nasib bangsa ini. Sayangnya, sendi-sendi kehidupan yang menjiwai semangat Panca Sila nampaknya juga telah sirna dimakan waktu. Tidak terelakan lagi, ini bahkan terjadi dari Sabang hinggá Merauke. Selama ini kita telah tercair tradisi dengan menghafalkan sila-sila yang hanya merupakan Abunya Panca Sila bukan Apinya. Sedangkan founding father itu mengharapkan agar kita menggunakan Api Panca Sila sebagai tonggak dasar dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
Dizaman penuh teknologi canggih ini, rasanya sejumlah besar warga bangsa telah mulai menilai bahwa Panca Sila adalah ideologi yang kurang cocok karena dianggap terlalu primitif atau kolot. Panca Sila 1 Juni 1945 yang dipaparkan secara gamblang dihadapan sidang BPUPKI kala itu sarinya kini hanya diajarkan pada tingkat perguruan tinggi, yang jelas dimana pemikiran generasi muda telah tercampur ideologi – ideologi lain. Sedangkan mulai dari tingkat SD hingga Sekolah Tingkat Menengah, kita belum diberikan kesempatan oleh negara untuk menguasai sari-sari dan apinya Panca Sila yang kiranya dapat mendoktrin pikiran generasi sejak usia dini.
Hemat penulis lagi, mungkin kebiasaan pola pendidikan ajaran Panca Sila dalam bangsa kita salah kaprah yang akhirnya berimbaskan kedangkalan pemahaman terhadapnya. Sungguhlah sebuah kenyataan, kita telah membuat diri kita menjadi miskin kepercayaan dan jauh dari akar. Artinya, hubungan antara akar dengan pohon yakni, Panca Sila dengan pola kebijakan pembangunan tidak ada kaitan satu sama lainnya. Bahteranya Indonesia butuh kapten yang memiliki Djiwa Panca Sila. Kita telah kehilangan kendali, bung……!!! Mari Bangkit dengan semangat baru, dengan senjata yang kita namakan Panca Sila itu, menyongsong perubahan bersama lebih baik demi kepetingan perjalanan generasi serta tanah air. Salam dan semoga bermanfaat bagi khalayak pembaca !

Penulis adalah;
Pemerhati Masalah Sosial Kec.Lio Timur Ende
Mahasiswa Administrasi Negara smtr Akhir
Universitas Krisnadwipayana (UNKRIS) Jakarta
Tinggal di Rt.02 Rw.03 Kawasan METRO TV
  • Facebook Comments
Item Reviewed: INDONESIA KINI KEHILANGAN JIWA, MAMPUKAH KITA MENEMUKANNYA KEMBALI ? Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi