Kekayaan Kain Tenunan dan Belis di Wilayah Lio, Flores Tengah.
Judul : LUKA, LAWO, NGAWU – Kekayaan Kain Tenunan dan Belis di Wilayah Lio, Flores Tengah
Penulis : Prof. Dr. Willemijn de Jong
Penerbit : Penerbit Ledalero, Cet. 1 Oktober 2015
Jumlah Hlm : xiv 456 hlm
Ukuran buku : 150 x 230 mm
ISBN : 978-602-1161-14-2
Harga : Rp.95.000
Kategori : Sosio Antropologi
Penulis : Prof. Dr. Willemijn de Jong
Penerbit : Penerbit Ledalero, Cet. 1 Oktober 2015
Jumlah Hlm : xiv 456 hlm
Ukuran buku : 150 x 230 mm
ISBN : 978-602-1161-14-2
Harga : Rp.95.000
Kategori : Sosio Antropologi
Pokok pembicaraan dalam buku ini ialah perempuan-perempuan penenun di
Lio, Pulau Flores, serta arti sosial yang menyeluruh dari tenunan mereka
yang bernilai tinggi dari segi prestise dan seni, yang kebanyakannya
ditenun dengan pola ikat yang indah, yang dikerjakan dengan cara rumit
dan kompleks. Tenunan-tenunan itu, dipandang sebagai kekayaan kain
(clothwealth), yang penting untuk dipakai, dijual, dan dihadiahkan,
terutama sebagai pemberian balasan untuk belis. Yang hendak ditelaah
selanjutnya ialah arti penting dan nilai dari kain tenunan itu dalam
bidang pekerjaan, perkawinan, dan apa pengaruhnya untuk posisi perempuan
serta hubungan antara jenis kelamin di dalam masyarakat kampung mereka.
Di dalamnya terungkap pendapat dari perempuan-perempuan penenun dengan
latar belakang sosial yang berbeda-beda, serta keterikatan mereka dengan
anggota-anggota keluarga terdekat dan juga pendapat dari tokoh-tokoh
lokal yang mempunyai kewenangan.
Buku ini berusaha menyoroti suasana kehidupan petani dari sebuah wilayah dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang pada umumnya dipandang miskin, jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain Indonesia.
Buku ini berusaha menyoroti suasana kehidupan petani dari sebuah wilayah dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang pada umumnya dipandang miskin, jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain Indonesia.
Dengan memusatkan perhatian
pada tenunan sebagai sebuah bentuk kekayaan lokal yang penting, sebagai
karya seni budaya, dan sebagai objek harta dan prestise, kiranya buku
ini dapat mewakili suatu pandangan yang menyeluruh, tanpa hendak
meremehkan masalah-masalah ekonomi yang sudah sangat tersebar, yang juga
dikemukakan sebagai tema dalam hubungan dengan pekerjaan menenun.
Edisi karya penelitian ini, sudah terbit hampir dua puluh tahun lalu dalam Bahasa Jerman. Edisi kedua ini diterbitkan dalam bahasa Indonesia mencakup bagian etnografis yang kiranya menarik perhatian pembaca Indonesia. Satu edisi lengkap membutuhkan pengolahan ulang dari bagian pertama, yaitu bagian teoretis dari karya ini.
Suatu diskusi teoretis
mengenai kekayaan tenunan, belis dan hubungan antar jenis kelamin ada
pada bab penutup buku ini. Ini adalah diskusi dan telaahan dari
perspektif sosio-antropologis, yang dibuat dengan cara melakukan beragam
pengamatan, wawancara, pembicaraan informal hingga informasi, dan data
dianalisa. Tesis-tesis, konsep-konsep serta pengertian-pengertian utama
dari studi ini dikemukakan dalam bentuk yang singkat dalam bab
pendahuluan yang telah dikerjakan ulang. Dalam hubungan dengan posisi
penelitian, buku ini terutama mencerminkan perdebatan-perdebatan dari
tahun 1980-an dan tahun 1990-an. Hanya beberapa publikasi yang terpilih,
yang sudah terbit sesudah tahun 1998 dimasukkan lagi di dalam bab
pendahuluan dan bab penutup. Hanya sedikit sekali perubahan yang
diadakan dalam hubungan dengan etnografi itu sendiri.
Perubahan-perubahan ini berhubungan terutama dengan aspek-aspek formal
dan di beberapa tempat diadakan perbaikan-perbaikan kecil untuk
melindungi para narasumber, baik perempuan maupun laki-laki.
Beberapa pengertian yang digunakan dalam karya ini, membutuhkan suatu
uraian yang lebih tepat dari sudut pandang sekarang. “Tradisi-tradisi”,
“cara tradisional” pada umumnya menunjuk pada jaman kolonialisme sampai
tahun 1945 dan masa pemerintahan Presiden Soekarno sampai pertengahan
tahun 1960-an.
Namun dalam banyak konteks pengertian-pengertian
ini digunakan dalam hubungan dengan modernitas. “Tradisi-tradisi” dari
sudut pandang pribumi pada waktu diadakan penelitian ini, sangat
sentral, dan tetap sentral sampai sekarang. Tradisi-tradisi lokal yang
kerapkali diasosiasi dengan seluruh kompleks norma-norma hukum adat dan
praktek-praktek adat yang berkaitan, bersama membentuk keterikatan
historis – dan demikian bagian-bagian yang penting – dari bentuk-bentuk
yang spesifik dari modernitas di Indonesia. Juga Orde Baru dari Presiden
Soeharto yang mengarah kepada perkembangan telah mendorong timbulnya
bentuk-bentuk khusus dan regional yang baru dari modernitas ini.
Terutama dengan perkembangan pertanian, kerajinan tangan, pendidikan dan
kesehatan oleh Misi Katolik dan Pemerintah Indonesia, di Flores, telah
berkembang bentuk-bentuk modernitas tersendiri, di mana tradisi-tradisi
tetap memainkan peranan yang penting.
Penulis memandang publikasi
ini sebagai suatu penghormatan kepada budaya yang hidup dari kerajinan
tangan di Indonesia dan khususnya sebagai penghormatan untuk
perempuan-perempuan penenun, yang memiliki pengetahuan khusus dan
kemampuan yang luar biasa – dan didukung oleh keluarga mereka – serta
mempesona para pemerhati lokal dan asing. Namun “seni ikat” tidak mudah
terpantau oleh mata yang tidak terlatih, seperti yang dikemukakan oleh
peneliti asal Flores, P. Sareng Orinbao, dalam bukunya yang diterbitkan
pada tahun 1972 dengan judul “Seni Tenun suatu Segi Kebudayaan Orang
Flores”.
Kekhususan dan arti tenunan baru dapat terbuka melalui
pembahasan yang mendalam. Kita berharap kekayaan tenunan di Flores,
latar belakangnya, gerakannya, dan implikasinya oleh sebuah publikasi
lebih lanjut dalam bahasa Indonesia dapat terbuka untuk suatu kelompok
pembaca yang lebih luas dan dengan demikian makin diperkenalkan kepada
masyarakat luas. Dengan itu, pengetahuan dan kemampuan
perempuan-perempuan penenun di Indonesia Timur ini semakin dikenal.
Untuk anda yang domisili di wilayah Jabodetabek, silahkan dapatkan bukunya di Gramedia Matraman..