Sejak Jumat pekan lalu, karya mutakhir Garin Nugroho, Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, ditayangkan di layar bioskop. Selama 90 menit penonton berhadapan
dengan Papua, ranah yang hampir selalu muncul di televisi dengan
laki-laki berkoteka dan perempuan telanjang dada, dengan tas akar kayu
disangkutkan di jidat.
Tapi, Papua yang dihadirkan Garin Nugroho
bukan belantara lindap atau liang tambang tembaga. Papua di sini adalah
rumah petak dengan televisi dan gayung plastik, remaja tanggung yang
menyanyikan Bob Marley dan menulis puisi. Seperti biasa, film Garin
Nugroho bukan film bertutur. Film ini adalah mosaik simbol-simbol yang
dirangkai bersama potongan narasi tokoh-tokohnya.
Alur logis
sebuah cerita tak diberi tempat penting, penonton diberi tugas memahami
cerita dengan menyusun sendiri potongan-potongan yang ia rangkaikan. Di
sepanjang rangkaian inilah kita bersirobok dengan Arnold (Octavianus R.
Mabuay), Sonya (Sonya S. Baransano), dan seorang perempuan bukan Papua
(Lulu Tobing)—yang turun dari kapal dengan wajah murung.
Berbagai
pertanyaan dan pernyataan soal cinta dan seksualitas pun diangkat,
bergulir secara wajar. Remaja akil balig yang mulai merasakan kebutuhan
mengekspresikan seksualitasnya ditunjukkan lewat keinginan Arnold
mencium air mata perempuan yang selalu menangis, dan lewat puisi-puisi
Sonya yang terinspirasi Kidung Agung.
Pembacaan Kidung Agung dalam
misa di gereja, dan pemilihan Maria Magdalena sebagai identifikasi diri
tokoh perempuan yang selalu menangis, pun menempatkan seksualitas tidak
berlawanan dengan agama, tapi sebagai bagian yang melengkapi. Masalah
cinta yang bertepuk sebelah tangan diangkat dan diperlakukan berbeda
menurut tiap tokoh.
Cinta Minus yang bertepuk sebelah tangan dan
diutarakan dengan kekanak-kanakan menjadi sampiran komedi film ini.
Sementara pada Sonya dan Arnold, ia tampil lebih obsesif dan serius.
Arnold yang mengikuti obsesinya hingga berhadapan langsung dengan
perempuan yang dipujanya, dan Sonya yang meremas tangkai mawar
berduri....
Dunia remaja yang rumit ini berjalan di depan latar
cita-cita kemerdekaan Papua, sehingga mewarnai pergulatan identitas
pribadi mereka. Baik remaja maupun orang dewasa mengalami tarik-menarik
nasionalisme dengan cara berbeda, membuat narasi besar itu kelihatan
membumi. Kali ini, hal yang tak bisa dicapai Garin dalam Puisi Tak Terkuburkan (2000) tampil lebih mulus.
Tekanan
yang dialami masyarakat Papua muncul lewat krisis akil balig yang
dialami Arnold, Sonya, Minus, dan Dickson. Soal identitas dan kultur
Papua (kulit hitam) yang tertindas muncul dalam kemarahan Sonya, yang
menyatakan kebenciannya pada kulit putih dalam pengakuan dosa, yang
justru ironis karena dilakukan kepada pastor yang bukan kulit hitam
pula.
Mungkin kesadaran menarik garis antara tokoh "hitam" dan
"putih" jugalah yang membuat tokoh-tokoh bukan Papua yang memegang peran
penting dalam film ini—si perempuan dan pastor (Adi Kurdi)—tidak
kelihatan larut dalam persoalan masyarakat Papua. Rakyat Papua yang
sedang berusaha menggapai cita-cita itu berjuang sendirian, tanpa
dukungan orang-orang bukan Papua di sekeliling mereka, meskipun
komunitas mereka cukup plural, seperti tampak lewat ragam etnik
murid-murid Berthold (Philipus Ramendei Thamo), ayah Arnold. Di sini,
keputusan Garin untuk tidak "memberi nama" karakter-karakter non-Papua
boleh diacungi jempol, sebagai ketelitian terhadap detail sekaligus
membuka ruang interpretasi pemirsa tanpa harus menggurui.
Film ini
ditutup dengan muka-muka cerah yang kembali pada kehidupan "normal"
masing-masing. Sang perempuan meninggalkan Papua, Arnold berjingkrakan
di jalan mendengarkan orkes yang lewat. Obsesinya mencium air mata si
perempuan, yang mungkin menjadi satu di antara pertautan penting dan
metafora berbagi penderitaan antara yang Papua dan bukan Papua, tidak
muncul sentral dan tidak meninggalkan kesan mendalam.
Kontras
dengan Puisi Tak Terkuburkan (2000), yang hitam-putih, film ini muncul
berwarna-warni. Masalah Papua diangkat lewat gambar demi gambar lanskap
yang memanjakan mata dan komposisi warna yang cenderung pop dan
perfeksionis. Keindahan visual simbol dan metafor yang dipilih Garin
tidak lagi bermewah-mewah pada eksotisme, melainkan pada warna dan
komposisi yang kelihatan benar digarap serius.
Gambar-gambar ini
pun tetap dipadukan dengan kekerasan yang tak tampak—tapi terasakan
lewat akibat. Tokoh-tokohnya tidak selalu langsung menjadi korban fisik
kekerasan, tapi mengalami dan merasakannya dengan melihat. Tokoh
Berthold, yang mengalami trauma karena pernah menyaksikan kekerasan di
sekitarnya, tetap bergabung dengan parade bendera Bintang Kejora dan
menarikan tarian kasuari.
Trauma itu datang kembali ketika dia
menyaksikan kekerasan sekali lagi pada kawan-kawannya yang ikut parade.
Ia pun bersembunyi sambil sesekali muncul dan menceritakan kisahnya
kepada istri yang datang menemui. Trauma Berthold muncul secara lisan
dalam cerita, tapi tidak kelihatan dalam sikap dan hubungannya dengan
istri dan anaknya. Berthold justru mendorong Arnold untuk ikut
memperhatikan perkembangan politik, dan tidak kelihatan berusaha
mengajarkan tari kasuari—penolak bala—kepada anaknya, untuk
melindunginya dari trauma yang sama.
Di luar gambar, musik garapan
Fahmy Alatas yang diolah dari lagu-lagu rakyat Papua dan kidung
religius berhasil memberi karakter dan meninggalkan sesuatu yang
menancap di kepala. Nada-nada tertentu yang sengaja dinaikkan (sehingga
terkesan "fals") membuat pengulangan lagu dan melodi di sepanjang film
ini tidak membosankan.
Sebagai usaha menarik perhatian kepada
Papua, film ini berhasil membuat konflik identitas masyarakat Papua
modern—sisi yang jarang sekali muncul—terangkat ke permukaan dengan cara
yang cerdas dan tidak verbal. Namun, Garin tetap "kecolongan", ketika
dia tak bisa menahan diri untuk tidak menampilkan tari kasuari (di
materi promosi tarian yang disebut "tarian penis" ini sangat
ditonjolkan). Akibatnya, tarian ini terkesan gratis tanpa makna, selain
eksotisme. Betapa kontras dengan "kenormalan" yang sudah dia kukuhkan
sejak adegan pertama.