MB.com, OPINI --- Ini bukan kali pertama presiden Indonesia batal ke Belanda. Kalau sekarang karena RMS, dulu karena Purwodadi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
membatalkan kunjungannya ke Negeri Belanda pada menit-menit terakhir.
Tersiar kabar aktivis Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda
mengajukan gugatan ke pengadilan lokal di Den Haag atas pelanggaran HAM
berat yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap aktivis RMS di
Indonesia. Mereka pun menuntut agar Presiden Yudhoyono ditahan demi
kepentingan peradilan. Walhasil Yudhoyono membatalkan kunjungannya
kendati berbagai pihak mengatakan kalau pembatalan itu malah makin
membesarkan RMS saja
Itu bukan cerita baru. Presiden Soeharto
pun pernah menunda kunjungannya ke Belanda. Seharusnya Soeharto terbang
ke Belanda April 1969 dan mengundurkan jadwal kunjungannya sampai
dengan tahun 1970. Ia menunda kunjungan bukan saja karena RMS yang saat
itu sedang marak-maraknya menuntut kemerdekaan melainkan pula karena
skandal pembunuhan massal anggota dan simpatisan Partai Komunis
Indonesia (PKI) dalam kurun tahun 1965-1969 yang tercium oleh media
massa asing.
Mulanya adalah Romo Wignyosumarto,
pastor gereja Katolik di Purwodadi, Grobogan yang mendengar pengakuan
dosa Mamik, anggota Pertahanan Rakyat (Hanra) yang mengaku terlibat
dalam pembunuhan 50 lebih anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi. Kabar
itu kemudian diteruskan kepada Poncke Princen yang berkunjung ke
Purwodadi bersama dua wartawan Belanda, Henk Colb dan E. van Caspel.
Berdasarkan informasi awal dari Romo
Sumarto, mereka bertiga mengunjungi berbagai kamp penahanan yang ada di
Purwodadi, termasuk di Kuwu, di mana mereka menemukan bukti-bukti
pembantaian terhadap 860 tahanan. Poncke dan dua wartawan Belanda itu
pun mengumpulkan keterangan dari warga sekitar yang memperkuat informasi
tentang adanya pembunuhan massal di Purwodadi. Di antara mereka ada
yang bercerita bahwa pelaku membunuh orang-orang PKI dengan cara memukul
tengkuk korban dengan tongkat besi.
Kabar itu pun segera tersiar. Poncke
mengadakan jumpa pers di Jakarta pada 26 Februari 1969. Berdasarkan
pengakuan Poncke dalam memoarnya Kemerdekaan Memilih ia tak
berencana membeberkan persoalan Purwodadi itu di hadapan wartawan
nasional. Kepada Henk Colb ia berjanji untuk membiarkan berita ekslusif
itu jadi milik koran De Haagsche, tempat Colb bekerja. Namun
batin Poncke bergejolak. Ia memutuskan untuk membuka saja kasus itu di
Jakarta betapapun sangat berbahayanya. “Kemanusiaan jauh lebih penting,”
kata dia dalam bukunya. Colb pun sempat kecewa pada Poncke yang
membocorkan berita ekslusifnya itu. Sementara itu Mamik, anggota Hanra
yang mengaku pada Romo Sumarto, ditangkap oleh tentara dan tak jelas
bagaimana nasibnya.
Sehari setelah jumpa pers media nasional memberitakan tentang peristiwa di Purwodadi. harian KAMI yang dikelola oleh para aktivis mahasiswa angkatan 1966 menurunkan headline
“Purwodadi dalam Ketakutan”. Berbagai media massa yang terbit di
ibukota pun segera berlomba-lomba menyiarkan kabar ihwal skandal
pembunuhan massal yang dibongkar oleh Poncke. Wartawan Sinar Harapan Yopie Lasut dan wartawan Indonesia Raya Maskun Iskandar menuliskan serial laporan langsung dari Purwodadi.
Seperti disiram bensin, berita panas skandal Purwodadi pun menjalar kemana-mana. Henk Colb menurunkan tulisannya di koran De Haagsche.
Ia menyoroti soal tahanan politik di kamp Purwodadi yang
memprihatinkan: berdesak-desakkan dalam kamp dan diperlakukan tidak
manusiawi. Laporan Colb membuat sejumlah kelompok di Belanda geram.
Mereka pun turut menyampaikan protesnya terhadap pemerintahan Soeharto
yang dianggap menjadi dalang pembantaian massal jutaan kaum kiri.
Suratkabar Trouw, 19 April 1969
menyiarkan “surat terbuka” dari Het Comite Indonesie (Komite Indonesia)
yang dipimpin oleh sosiolog terkemuka W.F. Wertheim menyebutkan bahwa
kalangan rakyat Belanda merasa resah atas niat beberapa pengusaha
Belanda dan pemerintahnya yang bermaksud mengadakan hubungan kerjasama
ekonomi dengan Indonesia. Menurut komite tersebut, menjalin kerjasama
berarti melegalkan pembunuhan massal yang telah dilakukan Indonesia.
W.F. Wertheim dalam sebuah wawancara dengan majalah Vrije Nederland
juga menyatakan ketidaksetujuannya atas bantuan finansial pemerintah
Belanda bagi pemerintah Soeharto. Dalam wawancara lain dengan sebuah
stasiun TV di Belanda, dia kembali menegaskan, “Tidak ada kerjasama
dengan rezim yang membiarkan pembunuhan massal terhadap 80.000 hingga
100.000 orang tahanan politik.” Pemerintah Orde Baru yang dibuat berang
oleh pernyataan Wertheim melarangnya mengunjungi Indonesia.
Tulisan tentang skandal Purwodadi di De Haagsche
itu juga mengundang reaksi keras sekelompok mahasiswa Belanda.
Kemarahan mereka tumpahkan kepada Menteri Keuangan RI Drs. Frans Seda
saat datang memberi ceramah dalam rangka lustrum pada tanggal 17 April
1969 di Universitas Katolik Nijmegen. Begitu Frans Seda naik ke panggung
untuk berceramah, seorang mahasiswa, Y. van Herte menyela dan bertanya
perihal peristiwa pembunuhan massal anggota PKI. Frans menyanggupi untuk
menjawab pertanyaan itu setelah ia diberi kesempatan untuk memberikan
ceramah terlebih dahulu. Ternyata Herte menolak dan meminta
pertanggungjawaban Frans atas pembunuhan massal di Indonesia. Suasana
jadi kacau, bahkan mahasiswa meneriaki Frans Seda sebagai moordenaar (pembunuh) dan lafaard (pengecut). Ceramah pun dibatalkan dan Frans Seda keluar meninggalkan aula universitas lewat pintu belakang.
Melihat perkembangan situasi di Belanda
dan pemberitaan yang semakin kritis kepada pemerintah Orde Baru,
Soeharto memutuskan untuk membatalkan lawatannya ke Belanda dan negara
Eropa lainnya yang sejatinya akan dilakukan pada medio April 1969.
Kunjungan ke Belanda baru dilakukan Soeharto pada awal September 1970
dan itu pun bukan berarti sepi dari demonstrasi. Sejumlah demonstran RMS
berunjukrasa setelah beberapa hari sebelumnya sempat menduduki gedung
Kedutaan Besar RI di Wassenaar dan menyandera keluarga duta besar.
Dalam kunjungannya ke parlemen Belanda,
Soeharto yang didampingi Menteri Luar Negeri Adam Malik pun tak lepas
dari pertanyaan para anggota parlemen soal tahanan politik. Tentu saja
pertanyaan itu dilontarkan setelah koran-koran Belanda ramai
memberitakan temuan Poncke Princen dan dua wartawan Belanda di
Purwodadi. Video kunjungan Soeharto itu masih bisa disaksikan di situs Youtube berjudul "Bezoek van President Soeharto (1970)."
Persoalannya sekarang apakah penundaan
kunjungan Presiden Yudhoyono ke Belanda akan menyurutkan langkah para
aktivis RMS untuk menuntut keadilan atas kematian saudara-saudaranya di
Maluku? Kita lihat saja nanti.