Logo

Logo
Latest News
Saturday, June 22, 2013

Tangisan Ine Mbu dan Pergulatan Petani




(Sebuah Refleksi Kedaulatan Pangan)
Gambar hanya ilustrasi dari film Ria Rago tahun 1930 di Ndona

Oleh: Klemens Makasar - Cllems Ghawa

Sumber naskah tertulis P. Piet Petu. Svd





Eh..Nara, ele ke kau pali –pali mawe roa labi - He, saudara, walau kau ayunkan parang tapi janganlah dulu belah

Ele ke kau sisa –sisa neku ngere sisa ika - biarlah kau cincang bagai cincang ikan


Ta mawe roa wela - tapi janganlah bunuh dulu (terjemahannya mungkin tidak sesuai yang ada dalam buku P.Piet Petu)


Tangisan Ine Mbu atau Bobi Nombi tidak menjadi luar biasa bila saja tangisannya bukan tangisan kelimpahan, tangisan kebahagian. Tangisan Ine Mbu tidak menjadi sesuatu yang dipuja bila saja tubuhnya tidak menggetarkan daya penghidupan. Bahkan sebaliknya tangisan Ine Imbu hanya sekedar tangisan wanita biasa pada zamannya dalam Suku Lio yang mungkin mengalami luka batin akhibat kawin paksa seperti tangisan Ria Rago (Film ria rago). Mungkin juga tangisan Ine Mbu adalah tangisan penderitaan seperti beberapa wanita desa Suku Lio akhibat perlakukan tak bersahabat dari beberapa kaum laki-laki.


Tangisan Ine Mbu justru memberikan tanda relung batin yang siap menyuguhkan peristiwa pengubahan dirinya menjadi makanan/padi.Secara singkat peristiwa itu merupakan peristiwa asal muasal, cikal –bakal padi dalam suku Lio. Kemudian dalam tradisi masyarakat tani suku Lio tersebut, muncul beberapa nama padi yakni Padi Raja, Padi Sipi dan Padi Ine Mbu. Legenda asal muasal, cikal bakal Padi dalam suku Lio ini juga menyebar sampai ke beberapa suku di Flores seperti suku Sika, Nage ( bdk,P.Sareng Orin bao, Tata cara berladang Suku Lio).

 
Rangkaian gerak ritus sakral berkaitan tubuh Ine Mbu di Kelindota, disaksikan para saudaranya ( bdk. Tata cara berladang Suku Lio) yang akhirnya menumbuhkan harapan akan pemenuhan makananan, padi bagi masyarkat. Kisah ini secara turun temurun dituturkan kepada anak cucu walau ada ragam versi, interpretasi dan terjadi reduksi sesuai perjalanan waktu. Sehubungan dengan ritus tersebut, beberapa suku –suku di Flores secara khusus Suku Lio mengadakan serangkaian upacara pemujaan demi menghormati Ibu Padi. Upacara-upacara tersebut bisa dilihat dalam upacara siklus tata cara berladang, sistem pertanian dalam masyarakat Lio. Secara garis besar ada upacara pra penanaman, upacara saat penanaman dan upacara syukuran pasca panen. Upacara ini dilakukan demi mengenangkan kembali Ibu Padi sambil memanjatkan permohonan dan mengucap syukuran kepada penguasa alam raya.


Namun Aktivitas atau upacara penghormatan terhadap Ine Mbu atau Bobi Nombi ini lebih dilihat sebagai upacara mistis ketimbang kearifan lokal yang mengendapkan makna yang sangat dalam bagi perubahan masyarakat. Ine Mbu dipandang sebagai dewi penyelamat masyarakat yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memberikan dirinya dicincang supaya bisa menghasilkan padi dan makanan lainnya. Bila tradisi masyarakat tani semakin menjauh dari penghormatan terhadap Ine Mbu; melanggar, melalaikan dan mengabaikan Ine Mbu maka akan terjadi bencana alam, bencana paceklik, puso , gagal panen, terserang hama wereng yang berkaitan dengan nuansa mistis tadi. Maka pilihan untuk mengembalikan lagi keadaan yang dicintai Bobi Nombi atau Ine Mbu adalah pendekatan kuratif-mistis ;memelihara tradisi penghormatan, membuat upacara adat, mempersembahkan sesajian dan lain-lain.


Kearifan Lokal


Tangisan Ine Mbu meninggalkan pesan , mengendapkan makna yakni merefleksikan kesediaan , ketulusan untuk berkorban (totalitas,) suatu daya kelimpahan demi kebaikan bersama (Petani). Tangisan Ine Mbu bukanlah tangisan pilu kehinaan melainkan tangisan lepas bebas dirinya dari keterbatasan wanita pada zamannnya demi kesejahteraan masyarakat. Bukan pula tangisan penindasan, walau wanita -wanita pada zamannya bercucuran tesesan air mata karena pengekangan dan penindasan. Tangisan ine Mbu adalah tangisan getaran perasaan yang berlimpah kepada masyarakat yang mendambakan pemenuhan kebutuhan.Bukanlah tangisan gerundelan, keluhan tapi tangisan kepasrahan pemberian diri, dari tubuhnya memberi energi, daya kehidupan bagi masyarakat khususnya masyarakat Lio. Tangisan Ine Mbu adalah tangisan daya kegembiraan demi pemenuhan kebutuhan masyarakatnya.


Tangisan Ine Mbu secara turun temurun menggema dalam penghayatan dan perayaan masyarakat khususnya suku Lio. Di dalam relung batin petani/ tetua adat bersemayam luapan rasa syukur dengan harapan tanaman padi subur hijau bagai pakis & rumput raja. Dalam kalbu petani, dipanjatkan mantra/doa supaya tersambung dengan energi yang lebih tinggi, Sang Energi Alam. Petani/tetua adat menengadah ke angkasa pemberi hujan –panas sudi kiranya tanah dan tanaman tak akan lekang oleh panas,tak akan lapuk oleh hujan..Mereka berpasrah dalam ayunan tiupan arah angin, mengikuti ke mana arah angin pergi, di situ harapan tertautkan.

 
Petani/Tetua adat menghidupi nilai –nilai dari pergulatan mereka hari demi hari, bulan demi bulan dalam siklus pertanian; komunikasi magis dan percaya pada kekuatan yang lebih tinggi, bakti utuh, pasrah, waspada, sigap dalam ritme alam yang kadang-kadang bersahabat, kadang-karang berwatak bencana. Mereka sudah terjaga kala fajar menyinari flora dan fauna. Mereka segera bergegas ke tempat ladang pergulatan hidup sehari –hari: membungkuk ke ladang bakti utuh untuk mengolah, membersihkan ,menanam, menuai. Mereka membiarkan cairan dalam tubuhnya melalui keringat mengalir, membasahi lahan pergumulan sehari-hari kala terik panas matahari atau Mereka menikmati dingin menusuk tulang sum-sum saat hujan turun.


Tak lupa pula, petani berjalan ke sudut – sudut ladang sambil memikirkan hal – hal teknis;jarak tanaman, membendung air/tanah manakala hujan,jangka waktu tanaman pada musim panas supaya tidak terjadi mati/layu sebelum panen,dan lain-lain. Selain gelombang otak aktif para petani, mereka hening dan menyepi guna berkomunikasi dengan alam pemberi kesuburan, penjaga kehangatan taman dan sebagainya. Kala malam tiba, aktivitas dan harapan –harapan petani ingin mereka endapkan/ satukan dalam frekuensi kreatif dan inspiratif kala mimpi dalam tidur.


Rasa jujur tubuh seperti letih, capek, panas, terluka, semakin hitam dan tebal kulit, bangga, syukur mengalir mengikuti ritus harian mereka. Keadaan ini tak dapat dihindarkan namun diasah dalam semangat memikul tanggung jawab dari tangisan Ine Mbu menjadi nyanyian sujud syukur panen berlimpah. Rasa badan ini tak dapat dielak namun itu menyulutkan tekad menghidupkan momen perubahan dari tangisan Ine Mbu menjadi kidung kesejahteraan. Itulah ritus bakti utuh para petani


Bakti utuh, kerja keras para petani sedari awal merefleksikan kearifan lokal yang mesti diambil hikmahnya demi kesejahteraan bersama. Bakti utuh petani dengan alamnya mengendapkan butir –butir kebijaksanaan dalam tradisi petani. Mereka telah mencanangkan kemandiran hidup sejak fajar menyingsing sampai senja tiba bahkan di malam kelam. Mereka telah mencontohkan kebijaksanaan dalam hidupnya yakni hukum tabur tuai. Siapa yang bekerja keras akan mendapatkan hasil yang berlimpah. Mereka berpikir alami dan lestari; dari alam kembali alam sehingga pengolahan, cara produksi, penggunaan teknologi pun memperhatikan kesuburan tanah secara alami. Dengan demikian kearifan lokal dapat menyumbangkan sesuatu yakni kemandirian hidup dan berpikir lestari serta mentalitas kelimpahan.


Kedaulatan pangan


Kearifan lokal di atas ini semakin hari semakin tak bermakna, ketika semua sisi kehidupan manusia ini dibangun hanya berdasarkan persoalan untung dan rugi. Kemandiran masyarakat, petani, nelayan, buruh (tani) menjadi semacam jargon belaka ketika relasi manusia hanya dibingkai kelihaian pasar.Ukurannya adalah nilai ekonomis tanpa memperhatikan sisi keadilan, kelestarisan, kearifan lokal dan lain-lain.


Pada tahun 1996 ketika FAO mengadakan World Food Summit dan mengeluarkan Deklarasi Roma mengenai Ketahanan Pangan (food security), organisasi dunia buruh tani dan petani dunia La Via Campesina mengeluarkan konsep alternatif yang disebut kedaulatan pangan (food sovereignty). Kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak sebuah negara dan petani untuk menentukan kebijakan pangannya dengan memprioritaskan produksi pangan lokal untuk kebutuhan sendiri, menjamin ketersediaan tanah subur, air, benih, termasuk pembiayaan untuk para buruh tani dan petani kecil serta melarang adanya praktek perdagangan pangan dengan cara dumping (Tejo pramono)


Hak menentukan kebijakan pangan sendiri yang dimaksud oleh kedaulatan pangan adalah bahwasanya para buruh tani dan petani itu sendiri yang menentukan pemilihan cara produksi, jenis teknologi, hubungan produksi, distribusi hingga menyangkut masalah keamanan pangan. Karena itu melalui kedaulatan pangan semua jenis aktivitas produksi pangan harus dikerjakan oleh para petani itu sendiri, sehingga yang dinamakan kedaulatan pangan tersebut dimiliki oleh petani.

Namun kita bisa melihat kenyataan, Kemandirian petani terusik, mereka harus mengejar target dan sumber daya yang diimpor demi kelangsungan produksinya. Lebih jauh dari situ, berpikir lestari dan bertindak alami berubah ke berpikir instan dan tidak organik, pola pengelolaan produksi pertanian yang melestarikan alam ke pola produksi konsumtif.


Pada tingkat ini, berpikir lestari, bertindak bakti utuh alami sewajarnya dicanangkan kembali, dihidupkan kembali sehingga petani tidak terjebak dalam „intimidasi proses produksi modern“. Tangisan Ine Mbu menyulutkan kobaran semangat kemandirian masyarakat, petani lokal untuk berhadapan dengan dan mengantisipasi membanjirnya produk negara lain.Tangisan Ine Mbu menggetarkan Pemimpin panutan masyarakat, Penggerak lembaga swadaya masyarakat, petani dan pemuka masyarakat lainnya untuk berhenti memandang produk luar sesuatu yang hebat serta meninggalkan produk dalam petani lokal.


Pada level ini, tangisan Ine Mbu merefleksikan tangisan kedaulatan pangan, kedaulatan petani menghadapi ancaman globalisasi dan kebijakan – kebijakan agen publik yang membelenggu mereka.


Berikut, ratapan lengkap Ine Mbu:



TANGISAN/RATAPAN INE MBU – IBU PADI (RATAPAN PAMIT/PERPISAHAN)

(Pembunuhan Ritual oleh Ndale (Kakak kandungnya) )



NARA, ELE KAU PALI-PALI MAWE ROA LABI

****biar kau sudah asah (tajam) jangan dulu sobek/bilah (sprt; potong daging)



ELE KAU WELU-WELU MAWE ROA WELA

****biar kau sudah ancang-ancang  tapi jangan dulu belah



ELE KAU NDOTA NGERE NDOTA MBONGA

****biar kau cincang-cincang seperti cincang mbonga



ELE KAU NDAI NGERE NDAI PARI

****biar kau bilah seperti bilah ikan pari



ELE KAU SISA NGERE SISA IKA

****biar kau bersihkan seperti bersih sisik ikan



……………TA GHELE ROA ……(NARA)

****tapi di atas dulu..



GHELE LEKA SAO RIA TENDA BEWA

****dia atas rumah besar, (tenda=tempat duduk di rumah)



GHELE LEKA TANGI SEA LEKE SERE

****diatas di tangga berdiri, tiang rumah kokoh



GHELE LEKA EMBU WELU KAJO PA’A

****diatas tempat peninggalan nenek moyang



…………….LEKA KUWU LEKA JEBU

****di tempat (kuwu=tempat penyulingan arak), (jebu=kandang)



LEKA TENDA INE EO JILA NGERE NENU SINA

**** (tenda=tempat duduk di rumah) ibu bersih bercahaya



GHELE LEKA TANGI BABA EO MASA NGERE PINGGA BHA

**** tiang rumah ayah yang datar (melambangkan keterbukaan)



AKU TA’U RA NEKU LOKA LEKA TANA ONGGA

**** saya takut darahku alir di tanah ONGGA



GETO OLA MESU LEKA WATU EMBU

darah kental (sedang mendaging) jatuh di batu EMBU (eyang)


  --------------------------------------------------------------------------------------------------


Terjemahan lain dari Gervas Rado



Sementara pada Tangisan terakhir.........



RATAPAN TERAKHIR INE MBU



RATU NEKU MBALE DOWA AWU

FARA MBALE DOWA TANA

SO AKU PENO DOWA NO’O NEBO

PIDO NO’O BITA, NGERE EMBU RARA

KOBE LIMA RUA AKU TEI TONDO

WULA TELU AKU SULA NIA LANGGA WULA SUTU AKU NUKA NUA

SAI RENGGI AKU TAU NEI (NAI MAGA)

SA RIPI SA BUKU SA LARU

BEKE KAU TANGGO

NUWA KOBE, NUWA LEJA



TERJEMAHANNYA :



BADANKU MENJADI ABU

DEBU JADI TANAH

BAGIKU DISIAPKAN NEBO (idiom kotoran)

AKU DILUMURI LUMPUR

NAMUN SELANG TUJUH MALAM AKU TUMBUH

SELANG TIGA BULAN AKU DATANG,

LEWAT EMPAT BULAN AKU MASUK KAMPUNG

SIAPAKAH MENGGANGKAT DAN MENONGGAK AKU

AKU RUNDUK KARENA PADAT BERISI

BEKE (Idiom kesulitan) JAMINLAH

AGAR BULIRKU MEKAR SIANG DAN MALAM




Tabe Wuamesu!! Semoga bermanfaat…


  • Facebook Comments
Item Reviewed: Tangisan Ine Mbu dan Pergulatan Petani Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi