Logo

Logo
Latest News
Sunday, June 23, 2013

PENCARIAN PRESTISIUS : JEJAK LIO

Gambar hanya ilustrasi

Oleh: Marlin Bato
Jakarta, 23/06/2013

(Analisis dekonstruksi terhadap sistem sejarah suku Lio)

Kontroversi mengenai figur Lio masih menyimpan misteri yang sulit dipecahkan hingga kini. Hal ini tentu membuat versi sejarah Lio semakin rumit ibarat benang kusut dan sulit terjawab. Tak ada satupun sumber sejarah yang dapat menjadi referensi utuh yang mengarah ke sosok Lio sebagai manusia sesungguhnya sehingga memicu masing-masing masyarakat Lio secara egocentris mengemukakan sejarah dengan caranya sendiri-sendiri. Sosok Lio memang menjadi pertanyaan paling krusial di era yang semakin cerdas dan terbuka ini. Benarkah Lio itu manusia? Ataukah hanya cerita epos versi masyarakat Lio?

Sungguh, hal ini seperti mengail di air keruh dan tak akan pernah bisa dipecahkan kecuali oleh sang empunya [figur Lio] itu sendiri. Hubungan masyarakat asli Lio (Flores) yang sudah berlangsung berabad-abad silam bahkan sejak milenium perdana Brahmanisme muncul [cf. Wujud Tertingi Masyarakat Lio - P. Paul Arndt SVD] dengan masyarakat luar menjadikan Lio sebagai legenda yang sangat prestisius. Legenda yang sudah berusia beratus-ratus bahkan ribuan tahun silam hanya bisa direkah secara imajinatif, sebab budaya masyarakat Lio yang berasimilasi ke sub-sub kultur terkecil masih terjadi hingga kini, sehingga sejarah tentang figur Lio pun berkembang menurut keberlangsungan sub kultur itu sendiri.

Seperti kata pepata; Siapa yang terkuat, dialah yang menang!!
Hal itu terjadi pula dalam budaya Lio dimana proses penyebaran sejarah dan budaya akan terus berevolusi, berkembang seiring dengan perubahan perilaku serta olah pikir manusia etnik Lio, sehingga budaya Lio hanya bisa bertahan apabila manusia etnik Lio mampu menancapkan eksistensinya dengan karakter dan keunikan yang dimiliki di dalam langgam-langgam hidup maupun berinteraksi dengan masyarakat lain di muka bumi ini. Manusia Lio hanya dapat bertahan jika ia mampu bersemai dalam alam pikiran bahwa tradisi Lio adalah Lionis Culture [budaya Lio] atau Lionis Religion [Agama Lio] ; "Lionis hanyalah Raib Cultur di daratan bumi ini, tapi dimata intelektual dunia mereka selalu menjejaki waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan bahkan tahun demi tahun, karena yang tertinggal diantara seluruh suku di muka bumi ini hanyalah “LIO CULTUR” yang tetap bertahan sepanjang masa". [bdk. ungkapan P. Jhon Mansford Prior SVD - Daya Hening Upaya Juang]. Jhon Mansford Prior menyebut orang Lio sebagai 'Lionis' berasal dari kata serapan tertua untuk mendeskripsikan manusia-manusia dan budaya Lio sebagai kekuatan daya hening maha dasyat yang selalu menjejaki waktu demi waktu. Sehingga ungkapan tersebut sangat berkorelasi dengan sikap afirmatif, karakter serta fanatisme budaya masyarakat Lio terhadap segala bentuk perubahan jaman.

Di sisi lain, pada era kekinian menguatnya pengaruh inkulturasi budaya luar yang masuk dan berkembang di Flores [Lio secara khusus] seperti budaya Jawa, Bali, Bugis, atau budaya barat sekalipun tentu akan sangat mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat lokal. Maka secara perlahan namun pasti terjadi pula degradasi budaya yang justru akan memperlemah peta kekuatan dan fanatisme masyarakat Lio terhadap budayanya sendiri, sehingga pepata tadi [Siapa yang terkuat, dialah yang menang] akan menjadi sangat relevan dengan kondisi yang terjadi saat ini. Tak dapat dipungkiri Lionis Cultur akan segera raib dan menggantikan kedigdayaan neo-cultur yang dapat mengaburkan sejarah asli suku Lio seperti raibnya jejak prestisius sang founding father Lio [figur asli manusia Lio].

Pendekatan dekonstruksi dari berbagai literatur yang menekankan pada jejak-jejak manusia Lio yang terdapat dalam tuturan lisan, naskah dan manuscrip lainnya belum dapat diproyeksikan secara nyata antara figur Lio yang sesungguhnya ataukah hanya cerita legenda atau epos, sebab latar belakang utama sejarah masyarakat Lio hanyalah berupa tuturan lisan yang diwariskan secara turun temurun. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang akan menjadi tanggung jawab besar bagi wajah-wajah asli yang mengklaim diri sebagai keturunan Lio.

Asal Usul Suku Lio Versi Sejarahwan Lio

Petrus Wake, dalam sebuah artikelnya mengemukakan bahwa: Keturunan suku Lio bermula dari pasangan suami istri [pasutri] bernama Lepe [wanita] dan Mbusu [lelaki] yang menurunkan ke dua belas anak bernama:

1. Unggu, si sulung yang mendiami wilayah Unggu, Nua Pu, Wolomuku dan Wologai
2. Nggesa, mendiami wilayah Nggesa dan Detubeu
3. Mbele, mendiami wilayah Nggesabidi, Watunggere, Wolobalu dan Numba
4. Sega, mendiami wilayah Nida, Niopanda dan Tanaria
5. Papu, mendiami Moni, Koanara dan sekitarnya
6. Pera, mendiami wilayah Wolopau, Tenda, Nggela, Pora dan sekitarnya
7. Sega [2], ---- Missing link
8. Tani, mendiami wilayah Lise dan sekitarnya
9. Sari, mendiami Nuaone dan Detubuga
10. Semba, mendiami wilayah Jopu dan Mbuli
11. Rongge, mendiami Ende dan
12. Rangga, si bungsu yang mendiami wilayah Nangapanda dan sekitarnya.

Di tinjau dari historical sejarah suku Lio, Lepe Mbusu adalah nama sebuah pegunungan setinggi 1560 meter dari permukaan laut. Petrus Wake mengklaim bahwa ke dua belas keturunan diatas adalah wajah asli pribumi Lio [Ana Nggoro] yang hidup abadi dari waktu ke waktu. Namun beliau tidak menampik bahwa ada keturunan lain yang ada di wilayah Lio selain Lepe dan Mbusu diatas seperti: Keturunan Seko, Sigaria dan sebagainya. Dalam artikel tersebut, Perus Wake tidak mendiskripsikan secara jelas figur Lio sebagai manusia prestisius [terhormat] seperti yang diklaim "Ata Raju Ria" oleh sebagian besar masyarakat Lio lainnya dalam berbagai kesusasteraan Lio. "LIO", memang unik dari segala suku di muka bumi. Sosok Lio, sangat misterius!! Namun dari segala keunikan dan kemisteriusan, Lio menyiratkan sosok keperkasaan dan karakter khas yang membuat kecintaan tak terbendung dari generasi-generasi Lio masa kini sehingga dengan bangganya mereka mengklaim diri sebagai "The New Lionis Generation".

Dari versi yang berbeda, Leo Wihelmus Misa Wasa menafsirkan bahwa figur Lio itu hanya sebagai "Sulu Penerang/Obor", seperti yang terdapat dalam idiom; "Lise Ila Obo" dimana Lise merupakan figur wanita [Matrilineal] yang di anggap sebagai "Founding Mothers" orang Lise sehingga muncul pula idiom "Lise Tana Pire" [Lise Tanah Terlarang]. Idiom ini perluh mendefinisian secara terperinci sebab mengandung beberapa makna dan daya magis. Lise yang dimaksud Leo Misa Wasa diatas mempunyai keturunan/keluarga besar mendiami tiga wilayah besar pula yaitu;

1. Tana Bajo Wawo [Lise Detu dan Lowo Bora] dengan cakupan wilayah; Kelisoke, Wolowaru dan sekitarnya.

2. Tanah Kune Mara atau biasa disebut; "Tana Kune Watu Mara" [Lise Kurulande] dengan cakupan orang Kurulande, Orang Bu, orang mego, Mbengu dan sekitarnya.

3. Tana Tu [Lise Nggonderia] dengan cakupan wilayah Wololele, Mulawatu, Watuneso, Woloaro, Nua Tola dan sekitarnya.

Penjelasan Leo Misa Wasa tersebut diatas dapat dikatakan merupakan endapan sejarah menurut penafsirannya sendiri sebab tidak semua keturunan Lise mengakui apa yang menjadi pemikiran beliau. Hal itu dapat dicermati dari lagu ciptaan Eman Bata Dede sang pionir musik/lagu Gawi yang mengisahkan silsilah suku Lio yang konon di anggap sebagai pengembara/pejuang dari tanah Malaka yang terdampar dan menurunkan keturunan besar suku Lio di Flores dengan sebutan; "Tiwa Ma'u Mbuli - Wa'u Wewa Ria". Disini butuh pendalaman ekstra. Apakah Ma'u Mbuli dapat di sebut sebagai Wewa Ria?? - Wewa Ria yang dimaksud disini merupakan pintu masuk dan gerbang perhelatan interaksi suku-suku bangsa Lio dan ruang terbuka isolasi fisik dengan pihak luar seperti yang terungkap dalam artikel [saya/penulis] beberapa waktu lalu berjudul; "WEWA RIA - GAPURA BANGSA-BANGSA BAGI SUKU LIO".

Berbeda dengan beberapa narasumber di atas, Frans Dale Ghawa justru berpandangan bahwa nama Lio hanya merupakan endapan dari sebuah idiom yang disebut: LIO = saLi, saIne, SaOne yang berarti sebaya, seibu dan seatap. Akan tetapi pandangan Frans tersebut ditampik oleh Petrus Wake yang seolah meneguhkan pendapatnya bahwa makna dari Lio merupakan; "saLi dan O" yang jika didefinisikan, 'SA' berarti Sebaya, 'LI' berarti Bebunyian dan 'O' berarti setuju/sepakat. Pandangan Petrus Wake tersebut dikuatkan dengan pencermatan logisnya terhadap kecenderungan konstelasi kultur dan budaya Lio yang mempunyai kesamaan ritualitas dan karakter. Hal ini sangat terlihat dari simbol-simbol penghormatan masyarakat suku Lio terhadap Musu Mase [Tugu pemujaan], Lodo Nda [Batu ceper tempat pemujaan], K/Hanga [Pelataran suci rumah adat], K/Heda [Rumah kecil tempat pemujaan] dan Sa'o Nggua [Rumah utama adat Lio tempat interaksi clan-clan suku Lio].

Keterkaitan Epos Sosok Lio Dengan Mitos Jawa Dalam Hinduisme

Berdasarkan kajian-kajian dari berbagai sumber tersebut di atas, dengan cara menggunakan skala perbandingan tuturan lisan, pola kehidupan masyarakat Lio serta sastra-sastra lisan dari budaya-budaya lain di nusantara maupun dunia sejak masa-masa lampau, penulis mencoba mengungkapkan sebuah hipotesis bahwa sosok Lio yang diyakini sebagai manusia hanya merupakan endapan sebuah mitos/legenda hasil akulturasi dari budaya lain [pengembara]. Bisa juga Lio merupakan nama sebuah kampung/suku atau legenda dunia yang dibawah masuk oleh para pengembara seperti lazimnya kisah-kisah kuno ke wilayah Lio, mengingat pola hidup masyarakat Lio purba yang selalu bermirgrasi dari satu tempat ke tempat lain dengan membawah ciri khas serta pranata sosialnya, bahkan ketika berpindah ketempat baru clan-clan suku Lio selalu menggunakan nama kampung baru mereka sebagai tempat tinggalnya dengan kampung asalnya yang lama, misalnya: "Nua Tu" di Lio sendiri kampung ini ada di dua tempat yang berbeda. Atau kampung 'Wolofeo', juga terdapat di dua tempat yang berbeda. Kesamaan seperti ini sudah lazim terjadi di wilayah Lio yang sudah tentu ada korelasi sejarahnya.

Analisis lain yang dapat menguatkan hipotesis ini adalah banyaknya nama-nama kampung di wilayah Lio merupakan hasil manifestasi dari nama seorang tokoh [pendiri] misalnya; kampung Nua Roi, kampung Nua Lise, kampung Nua Bari dan lain sebagainya. Jika dikaitkan dengan peristiwa retroaktif [berlaku surut] di masa lalu, tak dapat di pungkiri bahwa figur Lio hanya merupakan mitos/legenda masa lalu. Mitos/legenda yang dibawah masuk oleh para pengembara yang tidak akan dapat dipecahkan. Bisa jadi, Lio hanya tokoh karakter seperti dalam pewayangan semacam pria yang gagah perkasa, sesungguhnya tak pernah ada sosok nyata. Hal semacam ini juga kerap terjadi dalam cerita-cerita pewayangan Jawa atau di belahan dunia lain seperti cerita Sang Arjuna dan Srikandi dalam mitos Jawa era Hinduisme. Arjuna dan Srikandi merupakan cerita rekaan [sosok fiksi] yang karakternya sengaja dibentuk untuk mengubah mindset dan paradigma tatatan dunia baru bagi manusia dalam cerita epos. Pembentukan karakter seperti ini sangat efektif mengubah perilaku manusia.

Selain mitos Arjuna dan Srikandi, terdapat pula mitologi-mitologi lain seperti Brahma dan Sinta, Bima Sakti, Semar Petruk, Gareng, Bagong dan lain sebagainya yang hanya merupakan tokoh fiksi, dibentuk oleh sang dalang sesuai karakter masing-masing berdasarkan perilaku hidup manusia pada masa itu. Kisah manusia Lio, jika dicermati melalui peristiwa retroaktif tampaknya hampir sejalan dengan kisah-kisah yang lahir di Jawa dimana Hinduisme dan Brahmanisme menjadi keyakinan umat manusia di berbagai penjuru dunia pada masa itu sebelum agama samawi menyelinap masuk ke Nusantara.

Kesimpulan [penulis]

Jika dicermati dari berbagai sumber di atas, tampaknya generasi Lio saat ini maupun yang akan datang disuguhkan ambiguitas sejarah, samar terdengar juga tidak menemukan satu nokta merah [titik/benang merah] kesepahaman antara satu dengan yang lain sehingga secara eksplisit dapat mereduksi rasa cinta dan bangga manusia-manusia Lio terhadap bumi pertiwinya. Sebab munculnya berbagai spekulasi berupa pikiran, tindakan tokoh, dialog, monolog, narasi dan deskripsi tentang figur Lio di atas, menurut penulis hanya merupakan skema analisis instrinsik. Seharusnya skema analisis tersebut dilakukan menggunakan strategi membaca retroaktif, pereduksian data, penyajian data berdasar kategori, penafsiran dekonstruksi, dan penyimpulan data. Penyimpulan-penyimpulan data tersebut harus direpresentasi dekonstruksi terhadap sistem stratifikasi sosial masyarakat Lio seperti:

1. Nama tokoh [Lio]
2. Rekonstruksi jejak [runut]
3. Fakta atau bukti-bukti otentik
4. Sastra-sastra lisan kuno
5. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat Lio sejak tarik masa munculnya cerita Lio
6. Perbandingan hipotesis
7. Kesimpulan

Poin-poin tersebut sengaja dipaparkan agar berbagai akumulasi sejarah-sejarah Lio dapat terkuak dibarengi dengan penelitian yang akurat agar tidak menimbulkan perbedaan pandangan dikemudian hari.

Menurut penulis, idiom-idiom yang mengandung makna ke-LIO-an diatas seperti ungkapan Petrus Wake, Leo Misa Wasa maupun Frans Dale Ghawa hanya merupakan ciptaan pelaku - pelaku sejarah bersamaan dengan masuknya sistem tata tulis bahasa Lio dalam kurun waktu tahun 1930-an [bdk. Sistem Tata Tulis Bahasa Lio - P. Paul Arndt SVD] sebab masyarakat Lio purba sama sekali tidak mengenal istilah-istilah idiom seperti diatas. Masyarakat Lio purba hanya mengenal tuturan sastra lisan yang mengandung petuah-petuah, nasihat, syair-syair serta dogma-dogma luhur yang diajarkan lewat permenungan [manifestasi] dalam hubungan timbal balik dialektis secara vertikal [manusia dengan wujud tertinggi] maupun hubungan horisontal [manusia dengan makluk lain disekitarnya] lewat berbagai ritual-ritual magis. Hakikat utama kehidupan manusia adalah menciptakan sejarahnya sendiri, baik sejak kelampauan, kekinian dan akan datang.

Terimakasih, semoga bermanfaat. Salam wuamesu iwa du'u!!
  • Facebook Comments
Item Reviewed: PENCARIAN PRESTISIUS : JEJAK LIO Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi