(Analisis dekonstruksi terhadap sistem sejarah suku Lio)
Kontroversi mengenai figur Lio masih menyimpan misteri yang sulit
dipecahkan hingga kini. Hal ini tentu membuat versi sejarah Lio semakin
rumit ibarat benang kusut dan sulit terjawab. Tak ada satupun sumber
sejarah yang dapat menjadi referensi utuh yang mengarah ke sosok Lio
sebagai manusia sesungguhnya sehingga memicu masing-masing masyarakat
Lio secara egocentris mengemukakan sejarah dengan caranya
sendiri-sendiri. Sosok Lio memang menjadi pertanyaan paling krusial di
era yang semakin cerdas dan terbuka ini. Benarkah Lio itu manusia?
Ataukah hanya cerita epos versi masyarakat Lio?
Sungguh, hal
ini seperti mengail di air keruh dan tak akan pernah bisa dipecahkan
kecuali oleh sang empunya [figur Lio] itu sendiri. Hubungan masyarakat
asli Lio (Flores) yang sudah berlangsung berabad-abad silam bahkan sejak
milenium perdana Brahmanisme muncul [cf. Wujud Tertingi Masyarakat Lio -
P. Paul Arndt SVD] dengan masyarakat luar menjadikan Lio sebagai
legenda yang sangat prestisius. Legenda yang sudah berusia beratus-ratus
bahkan ribuan tahun silam hanya bisa direkah secara imajinatif, sebab
budaya masyarakat Lio yang berasimilasi ke sub-sub kultur terkecil masih
terjadi hingga kini, sehingga sejarah tentang figur Lio pun berkembang
menurut keberlangsungan sub kultur itu sendiri.
Seperti kata pepata; Siapa yang terkuat, dialah yang menang!!
Hal itu terjadi pula dalam budaya Lio dimana proses penyebaran sejarah
dan budaya akan terus berevolusi, berkembang seiring dengan perubahan
perilaku serta olah pikir manusia etnik Lio, sehingga budaya Lio hanya
bisa bertahan apabila manusia etnik Lio mampu menancapkan eksistensinya
dengan karakter dan keunikan yang dimiliki di dalam langgam-langgam
hidup maupun berinteraksi dengan masyarakat lain di muka bumi ini.
Manusia Lio hanya dapat bertahan jika ia mampu bersemai dalam alam
pikiran bahwa tradisi Lio adalah Lionis Culture [budaya Lio] atau Lionis
Religion [Agama Lio] ; "Lionis hanyalah Raib Cultur di daratan bumi
ini, tapi dimata intelektual dunia mereka selalu menjejaki waktu demi
waktu, hari demi hari, bulan demi bulan bahkan tahun demi tahun, karena
yang tertinggal diantara seluruh suku di muka bumi ini hanyalah “LIO
CULTUR” yang tetap bertahan sepanjang masa". [bdk. ungkapan P. Jhon
Mansford Prior SVD - Daya Hening Upaya Juang]. Jhon Mansford Prior
menyebut orang Lio sebagai 'Lionis' berasal dari kata serapan tertua
untuk mendeskripsikan manusia-manusia dan budaya Lio sebagai kekuatan
daya hening maha dasyat yang selalu menjejaki waktu demi waktu. Sehingga
ungkapan tersebut sangat berkorelasi dengan sikap afirmatif, karakter
serta fanatisme budaya masyarakat Lio terhadap segala bentuk perubahan
jaman.
Di sisi lain, pada era kekinian menguatnya pengaruh
inkulturasi budaya luar yang masuk dan berkembang di Flores [Lio secara
khusus] seperti budaya Jawa, Bali, Bugis, atau budaya barat sekalipun
tentu akan sangat mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat lokal.
Maka secara perlahan namun pasti terjadi pula degradasi budaya yang
justru akan memperlemah peta kekuatan dan fanatisme masyarakat Lio
terhadap budayanya sendiri, sehingga pepata tadi [Siapa yang terkuat,
dialah yang menang] akan menjadi sangat relevan dengan kondisi yang
terjadi saat ini. Tak dapat dipungkiri Lionis Cultur akan segera raib
dan menggantikan kedigdayaan neo-cultur yang dapat mengaburkan sejarah
asli suku Lio seperti raibnya jejak prestisius sang founding father Lio
[figur asli manusia Lio].
Pendekatan dekonstruksi dari berbagai
literatur yang menekankan pada jejak-jejak manusia Lio yang terdapat
dalam tuturan lisan, naskah dan manuscrip lainnya belum dapat
diproyeksikan secara nyata antara figur Lio yang sesungguhnya ataukah
hanya cerita legenda atau epos, sebab latar belakang utama sejarah
masyarakat Lio hanyalah berupa tuturan lisan yang diwariskan secara
turun temurun. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang akan menjadi
tanggung jawab besar bagi wajah-wajah asli yang mengklaim diri sebagai
keturunan Lio.
Asal Usul Suku Lio Versi Sejarahwan Lio
Petrus Wake, dalam sebuah artikelnya mengemukakan bahwa: Keturunan suku
Lio bermula dari pasangan suami istri [pasutri] bernama Lepe [wanita]
dan Mbusu [lelaki] yang menurunkan ke dua belas anak bernama:
1. Unggu, si sulung yang mendiami wilayah Unggu, Nua Pu, Wolomuku dan Wologai 2. Nggesa, mendiami wilayah Nggesa dan Detubeu 3. Mbele, mendiami wilayah Nggesabidi, Watunggere, Wolobalu dan Numba 4. Sega, mendiami wilayah Nida, Niopanda dan Tanaria 5. Papu, mendiami Moni, Koanara dan sekitarnya 6. Pera, mendiami wilayah Wolopau, Tenda, Nggela, Pora dan sekitarnya 7. Sega [2], ---- Missing link 8. Tani, mendiami wilayah Lise dan sekitarnya 9. Sari, mendiami Nuaone dan Detubuga 10. Semba, mendiami wilayah Jopu dan Mbuli 11. Rongge, mendiami Ende dan 12. Rangga, si bungsu yang mendiami wilayah Nangapanda dan sekitarnya.
Di tinjau dari historical sejarah suku Lio, Lepe Mbusu adalah nama
sebuah pegunungan setinggi 1560 meter dari permukaan laut. Petrus Wake
mengklaim bahwa ke dua belas keturunan diatas adalah wajah asli pribumi
Lio [Ana Nggoro] yang hidup abadi dari waktu ke waktu. Namun beliau
tidak menampik bahwa ada keturunan lain yang ada di wilayah Lio selain
Lepe dan Mbusu diatas seperti: Keturunan Seko, Sigaria dan sebagainya.
Dalam artikel tersebut, Perus Wake tidak mendiskripsikan secara jelas
figur Lio sebagai manusia prestisius [terhormat] seperti yang diklaim
"Ata Raju Ria" oleh sebagian besar masyarakat Lio lainnya dalam berbagai
kesusasteraan Lio. "LIO", memang unik dari segala suku di muka bumi.
Sosok Lio, sangat misterius!! Namun dari segala keunikan dan
kemisteriusan, Lio menyiratkan sosok keperkasaan dan karakter khas yang
membuat kecintaan tak terbendung dari generasi-generasi Lio masa kini
sehingga dengan bangganya mereka mengklaim diri sebagai "The New Lionis
Generation".
Dari versi yang berbeda, Leo Wihelmus Misa Wasa
menafsirkan bahwa figur Lio itu hanya sebagai "Sulu Penerang/Obor",
seperti yang terdapat dalam idiom; "Lise Ila Obo" dimana Lise merupakan
figur wanita [Matrilineal] yang di anggap sebagai "Founding Mothers"
orang Lise sehingga muncul pula idiom "Lise Tana Pire" [Lise Tanah
Terlarang]. Idiom ini perluh mendefinisian secara terperinci sebab
mengandung beberapa makna dan daya magis. Lise yang dimaksud Leo Misa
Wasa diatas mempunyai keturunan/keluarga besar mendiami tiga wilayah
besar pula yaitu;
1. Tana Bajo Wawo [Lise Detu dan Lowo Bora] dengan cakupan wilayah; Kelisoke, Wolowaru dan sekitarnya.
2. Tanah Kune Mara atau biasa disebut; "Tana Kune Watu Mara" [Lise
Kurulande] dengan cakupan orang Kurulande, Orang Bu, orang mego, Mbengu
dan sekitarnya.
3. Tana Tu [Lise Nggonderia] dengan cakupan wilayah Wololele, Mulawatu, Watuneso, Woloaro, Nua Tola dan sekitarnya.
Penjelasan Leo Misa Wasa tersebut diatas dapat dikatakan merupakan
endapan sejarah menurut penafsirannya sendiri sebab tidak semua
keturunan Lise mengakui apa yang menjadi pemikiran beliau. Hal itu dapat
dicermati dari lagu ciptaan Eman Bata Dede sang pionir musik/lagu Gawi
yang mengisahkan silsilah suku Lio yang konon di anggap sebagai
pengembara/pejuang dari tanah Malaka yang terdampar dan menurunkan
keturunan besar suku Lio di Flores dengan sebutan; "Tiwa Ma'u Mbuli -
Wa'u Wewa Ria". Disini butuh pendalaman ekstra. Apakah Ma'u Mbuli dapat
di sebut sebagai Wewa Ria?? - Wewa Ria yang dimaksud disini merupakan
pintu masuk dan gerbang perhelatan interaksi suku-suku bangsa Lio dan
ruang terbuka isolasi fisik dengan pihak luar seperti yang terungkap
dalam artikel [saya/penulis] beberapa waktu lalu berjudul; "WEWA RIA -
GAPURA BANGSA-BANGSA BAGI SUKU LIO".
Berbeda dengan beberapa
narasumber di atas, Frans Dale Ghawa justru berpandangan bahwa nama Lio
hanya merupakan endapan dari sebuah idiom yang disebut: LIO = saLi,
saIne, SaOne yang berarti sebaya, seibu dan seatap. Akan tetapi
pandangan Frans tersebut ditampik oleh Petrus Wake yang seolah
meneguhkan pendapatnya bahwa makna dari Lio merupakan; "saLi dan O" yang
jika didefinisikan, 'SA' berarti Sebaya, 'LI' berarti Bebunyian dan 'O'
berarti setuju/sepakat. Pandangan Petrus Wake tersebut dikuatkan dengan
pencermatan logisnya terhadap kecenderungan konstelasi kultur dan
budaya Lio yang mempunyai kesamaan ritualitas dan karakter. Hal ini
sangat terlihat dari simbol-simbol penghormatan masyarakat suku Lio
terhadap Musu Mase [Tugu pemujaan], Lodo Nda [Batu ceper tempat
pemujaan], K/Hanga [Pelataran suci rumah adat], K/Heda [Rumah kecil
tempat pemujaan] dan Sa'o Nggua [Rumah utama adat Lio tempat interaksi
clan-clan suku Lio].
Keterkaitan Epos Sosok Lio Dengan Mitos Jawa Dalam Hinduisme
Berdasarkan kajian-kajian dari berbagai sumber tersebut di atas, dengan
cara menggunakan skala perbandingan tuturan lisan, pola kehidupan
masyarakat Lio serta sastra-sastra lisan dari budaya-budaya lain di
nusantara maupun dunia sejak masa-masa lampau, penulis mencoba
mengungkapkan sebuah hipotesis bahwa sosok Lio yang diyakini sebagai
manusia hanya merupakan endapan sebuah mitos/legenda hasil akulturasi
dari budaya lain [pengembara]. Bisa juga Lio merupakan nama sebuah
kampung/suku atau legenda dunia yang dibawah masuk oleh para pengembara
seperti lazimnya kisah-kisah kuno ke wilayah Lio, mengingat pola hidup
masyarakat Lio purba yang selalu bermirgrasi dari satu tempat ke tempat
lain dengan membawah ciri khas serta pranata sosialnya, bahkan ketika
berpindah ketempat baru clan-clan suku Lio selalu menggunakan nama
kampung baru mereka sebagai tempat tinggalnya dengan kampung asalnya
yang lama, misalnya: "Nua Tu" di Lio sendiri kampung ini ada di dua
tempat yang berbeda. Atau kampung 'Wolofeo', juga terdapat di dua tempat
yang berbeda. Kesamaan seperti ini sudah lazim terjadi di wilayah Lio
yang sudah tentu ada korelasi sejarahnya.
Analisis lain yang
dapat menguatkan hipotesis ini adalah banyaknya nama-nama kampung di
wilayah Lio merupakan hasil manifestasi dari nama seorang tokoh
[pendiri] misalnya; kampung Nua Roi, kampung Nua Lise, kampung Nua Bari
dan lain sebagainya. Jika dikaitkan dengan peristiwa retroaktif [berlaku
surut] di masa lalu, tak dapat di pungkiri bahwa figur Lio hanya
merupakan mitos/legenda masa lalu. Mitos/legenda yang dibawah masuk oleh
para pengembara yang tidak akan dapat dipecahkan. Bisa jadi, Lio hanya
tokoh karakter seperti dalam pewayangan semacam pria yang gagah perkasa,
sesungguhnya tak pernah ada sosok nyata. Hal semacam ini juga kerap
terjadi dalam cerita-cerita pewayangan Jawa atau di belahan dunia lain
seperti cerita Sang Arjuna dan Srikandi dalam mitos Jawa era Hinduisme.
Arjuna dan Srikandi merupakan cerita rekaan [sosok fiksi] yang
karakternya sengaja dibentuk untuk mengubah mindset dan paradigma
tatatan dunia baru bagi manusia dalam cerita epos. Pembentukan karakter
seperti ini sangat efektif mengubah perilaku manusia.
Selain
mitos Arjuna dan Srikandi, terdapat pula mitologi-mitologi lain seperti
Brahma dan Sinta, Bima Sakti, Semar Petruk, Gareng, Bagong dan lain
sebagainya yang hanya merupakan tokoh fiksi, dibentuk oleh sang dalang
sesuai karakter masing-masing berdasarkan perilaku hidup manusia pada
masa itu. Kisah manusia Lio, jika dicermati melalui peristiwa retroaktif
tampaknya hampir sejalan dengan kisah-kisah yang lahir di Jawa dimana
Hinduisme dan Brahmanisme menjadi keyakinan umat manusia di berbagai
penjuru dunia pada masa itu sebelum agama samawi menyelinap masuk ke
Nusantara.
Kesimpulan [penulis]
Jika dicermati dari
berbagai sumber di atas, tampaknya generasi Lio saat ini maupun yang
akan datang disuguhkan ambiguitas sejarah, samar terdengar juga tidak
menemukan satu nokta merah [titik/benang merah] kesepahaman antara satu
dengan yang lain sehingga secara eksplisit dapat mereduksi rasa cinta
dan bangga manusia-manusia Lio terhadap bumi pertiwinya. Sebab munculnya
berbagai spekulasi berupa pikiran, tindakan tokoh, dialog, monolog,
narasi dan deskripsi tentang figur Lio di atas, menurut penulis hanya
merupakan skema analisis instrinsik. Seharusnya skema analisis tersebut
dilakukan menggunakan strategi membaca retroaktif, pereduksian data,
penyajian data berdasar kategori, penafsiran dekonstruksi, dan
penyimpulan data. Penyimpulan-penyimpulan data tersebut harus
direpresentasi dekonstruksi terhadap sistem stratifikasi sosial
masyarakat Lio seperti:
1. Nama tokoh [Lio] 2. Rekonstruksi jejak [runut] 3. Fakta atau bukti-bukti otentik 4. Sastra-sastra lisan kuno 5. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat Lio sejak tarik masa munculnya cerita Lio 6. Perbandingan hipotesis 7. Kesimpulan
Poin-poin tersebut sengaja dipaparkan agar berbagai akumulasi
sejarah-sejarah Lio dapat terkuak dibarengi dengan penelitian yang
akurat agar tidak menimbulkan perbedaan pandangan dikemudian hari.
Menurut penulis, idiom-idiom yang mengandung makna ke-LIO-an diatas
seperti ungkapan Petrus Wake, Leo Misa Wasa maupun Frans Dale Ghawa
hanya merupakan ciptaan pelaku - pelaku sejarah bersamaan dengan
masuknya sistem tata tulis bahasa Lio dalam kurun waktu tahun 1930-an
[bdk. Sistem Tata Tulis Bahasa Lio - P. Paul Arndt SVD] sebab masyarakat
Lio purba sama sekali tidak mengenal istilah-istilah idiom seperti
diatas. Masyarakat Lio purba hanya mengenal tuturan sastra lisan yang
mengandung petuah-petuah, nasihat, syair-syair serta dogma-dogma luhur
yang diajarkan lewat permenungan [manifestasi] dalam hubungan timbal
balik dialektis secara vertikal [manusia dengan wujud tertinggi] maupun
hubungan horisontal [manusia dengan makluk lain disekitarnya] lewat
berbagai ritual-ritual magis. Hakikat utama kehidupan manusia adalah
menciptakan sejarahnya sendiri, baik sejak kelampauan, kekinian dan akan
datang.